Alur Langsat,
wih, kampungku itu! Segar nian udara paginya, indah tutur kata orang-orangnya. Senyum dan sapa kala berjumpa, saling memberi nasihat dan musyawarah jika ada masalah, sepakat segenep sesama. saling tolong menolong dalam senang dan susah. Adat dan hukum masih terjaga lah.
Nasihat orang tua dan cakap tengku peneduhnya, alhamdulillah, di situ, di pinggir jalan mengarah ke gunung itu, berdiri masjid terbarunya, tempat beribadah tentunya.
Meskipun belum banyak yang sembahyang jama'ah, adzan selalu berkumandang, salat lima waktu senantiasa didirikan dan diimami ayahanda.
Bahkan walau pun dia yang datang duluan, membuka pintu, menyalakan lampu, membuka jendela-jendela, mengumandangkan adzan dan iqamat, dia berdiri sebagai imam, dia keraskan suaranya dengan husnuzhan ada yang menyambut bacaan al-Fatihahnya ketika tiba di "walad-Dhaallin", namun sering kali dia berkata: aamin, sendiri, sunyi dan sepi.
Lalu kemudian di rakaat kedua setelah ruku', dia keraskan lagi suaranya membaca qunut subuh, sengaja ia beri koma, 'mana tau' ada yang bilang amin dari belakang 'mungkin ada' yang datang terlambat di rakaat kedua, namun tak ada suara selain suaranya. Dia belum putus asa, setelah salam dan dzikir ia mengangkat tangan dan membaca do'a-do'a dengan mengeraskan suara, sampai pada akhir kedua telapak tangannya mengusap wajahnya tak ada yang bilang "aamiin" dari belakang, lalu ia membaca shalawat: shlallahu rabbuna 'alan nuril 'alamin, muhammadinil musthafa syahidin musrsalin wa 'ala alihi wa sahbihi ajama'in, dia ulang sampai tiga kali, tetapi tak ada yang mengikutinya shalawat.
Ketika ia menghadap ke belakang, ternyata memang kosong, tak seorang jamaah pun datang, hanya dia sendirian.
Tetapi tidak selamanya begitu, lama kemudian penduduk Alur Langsat akan sadar bahwa meramaikan masjid adalah solusi hidup dunia dan akhirat, bahwa salat jama'ah di masjid dapat melancarkan rezeki, satu langkahnya menuju masjid mendapat satu pahala dan menghapuskan satu dosa, dido'akan malaikat, mendapat naungan di hari kiamat, salat jama'ah di masjid pahalanya dua puluh tujuh derajat lebih utama dibandingkan salat sendirian, sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Shalat berjamaah 27 derajat lebih utama daripada shalat sendirian.” (HR. Malik, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i-At-Targhib).
Ketika aku pulang kampung bulan September 2019 lalu, sudah lumayan banyak yang jama'ah lima waktu di masjid. Alhamdulillah.
Alur Langsat, ya benar, itu kampungku. Anak lajangnya akrab, meski pun tidak banyak lagi yang lajang, bisa dibilang aku adalah salah tiga yang paling tua.
Yang masih lajang turut membantu yang menikah, mengantar undangan, mengambil buah pepaya dan buah nangka, memanjat pohon kelapa, mamarut kelapa, berhidang, dan sebagainya, anak muda yang lajang adalah panitia di setiap acara kampung, bahkan yang telah berkeluarga dan yang akan menikah pun masih antusias membantu. Sore hari di Pantai Dona, malamnya di kedai kopi dan bernyanyi dengan diiringi Gitar. Tapi sekarang jembatan Pantai Dona roboh, gara-gara roda berat melintas di atasnya tanpa merasa berdosa. Kabar baiknya sekarang sedang dibangun ulang.
Alur Langsat, kalau datang dari Medan, lewat Perbatasan di Lawe Pakam boleh langsung menuju jantung kota, singgah lah di masjid Agung At-Taqwa, tunaikan salat di dalamnya, lalu menuju ke jembatan Mbakhung, belok kiri. Begini, aku sebutkan 'sebagian' nama desa yang akan kamu lewati, secara acak dan melompat saja ya, pertama; Perapat Tinggi, Kuta Batu Satu, Engkeran, Paye Munje, Stambul Jaya, Alur Nangka, Lawe Tungkal, Khutung Mbelang, nah, Alur Langsat.
Atau boleh rute lebih pendek kalau jembatan Pantai Dona telah selesai. Dari Perbatasan Lawe Pakam berhenti lah di Simpang Semadam, kemudian ke bawah, nun jauh di seberang sana, Alur Langsat. Eh belum, tunggu dulu, dari Simpang Semadam, jauh ke bawah mengarah ke desa Lawe Kinga, Semadam Baru, lalu jembatan Pantai Dona, terus di seberang jembatan jumpa desa Salim Pinim, lalu belok kanan, kemudian desa Rambah Sayang/ Pedesi, hum, Alur Langsat.
Dulu 'katanya' kenapa desa kami dinamai Alur Langsat? Adalah karena dulunya banyak pohon langsat, mungkin sama kejadiannya seperti desa Alur Nangka karena banyak pohon nangka, atau seperti desa Alur Baning karena banyak hewan penyu ataupun kura-kura. Tetapi ketika aku sudah cukup besar, sudah masuk sekolah dasar, sudah bisa membaca, telah tau membedakan pohon langsat dan pohon rambutan, pohon langsat sudah tidak ada lagi tumbuh di Alur Langsat kecuali beberapa batang yang tumbuh di samping rumah kami, batangnya kurus, kecil, daunnya menguning. Sepertinya pohon langsat itu merasa hidupnya kan tercamcam karena terdahulunya yang ditebang paksa oleh penduduk untuk mendirikan rumah.
Alur Langsat tidak lah jauh dari kaki gunung, namun tidak di tepi gunung, juga tidak jauh dari sungai Alas namun tidak di tepi sungai Alas. Ke tepi gunung sedikit lebih dekat dibanding ke tepi sungai Alas. Bangun pagi, buka jendela, melihat ke barat terlihatlah gunung, tapi tidak banyak yang mandi di sungai Alas apalagi di gunung. Mandinya tetap di rumah. Dulunya? Aih jangan ditanya, di mana ada air mengalir dipakai buat mandi selagi bersih.
Alur Langsat, ibu-ibunya pandai menganyam daun bengkuang jadi tikar, bermacam bentuk dan variasi, tidak untuk dijual, mereka koleksi dan dipakai sendiri, kala ada tamu atau pergi ke kebun, tikar dari karya sendiri jadi andalan. Sampai sekarang pun masih banyak yang bisa "mbayu" bahasa daerahnya. Namun tidak banyak lagi yang minat meneruskan bakat luar biasa itu!
Adapun bapak-bapaknya jago menganyam daun rumbia jadi atap rumah atau untuk atap gubuk di kebun, bahkan sebagian dijadikan atap rumahnya sendiri. Kalau ada anak lajangnya menikah, sementara dibangunkan rumah yang atapnya mereka ciptakan sendiri dari daun rumbia itu. Bahkan juga banyak yang membeli setelah susunan daun rumbia itu jadi. Juga pandai membuat sendok untuk menanak nasi dari batang bambu dan batok kelapa. Satu lagi, membuat pengayak beras untuk dipilah-pilih dipisah antara beras dan yang masih padi sebelum akhirnya dimasak. Karena dulunya penduduk Alur Langsat punya sawah sendiri, tidak beli beras. Di Alur Langsat ada kilang padi, setelah padi itu dijemur kemudian digiling, tidak semuanyaterlihat putih beras, masih ada beberapa butir padi yang belum terkena penggiling. Jadi bapak-bapak pun membuat ayakan atau "Ndikhu" bahasa daerahnya, bahasa Alas Kuta Cane Aceh tenggara.