Ba'da Zhuhur aku siap-siap. Aku mandi dan mengenakan pakaian. Rambut sudah pangkas rapi, kemeja ungu lavendel masuk dalam celana, dan jas hitam. Bawahannya celana hitam dan sepatu hitam. Setelah semuanya siap-siap. Aku periksa lagi barang bawaan dalam koper. Semuanya sudah lengkap. Kemudian periksa dokumen penting.
Tiket dan paspor yang juga sudah masuk ke dalam tas. Dafi memesan Uber. Tidak berapa lama Uber datang. Karena tidak muat satu Uber kami pun pesan dua Uber. Dafi, aku dan dua orang dari adik-adik kami satu mobil. Adapun Ahmad berempat di Uber satunya lagi.
Kurang lebih empat puluh menit kami tiba di Bandara Kedatangan Dua Internasional Kairo khusus penerbangan luar negeri. Aku bayarkan ongkos Uber 110 Pounds Mesir lalu kami turunkan koper. Kami pun foto-foto. Semuanya pada update status, juga disebar di group WA kami. Kebiasaan Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) kalau ada yang balik kampung pasti banyak yang ikut mengantar karena momentnya hanya sekali.
Adapun mahasiswa yang jualan bagasi, mereka tidak harus diantar sebab sebulan mereka bisa pulang ke tanaha air tiga kali. Pesawatku pukul 5:55 dari Kairo-Abu Dhabi-Jakarta. Setelah foto bersama, aku pamit pada semuanya. Salaman-pelukan.
"Jangan lupa mampir Waroeng Malika, Daud." kata Ahmad mengingatkan.
"Hahaha, baik. Gampang itu." sahutku sok berani.
Ini adalah pulang pertamaku setelah hampir lima tahun kemudian. Bagaimana rasanya? Mendebarkan! Berasa mimpi! Aku sangat bersyukur sekali diberi oleh Allah Subhanahu Wata'ala bisa pulang kampung tahun ini. Niat pulangku hanyalah fokus pada dua titik: pertama seminggu di Jakarta. Kedua bertemu ayah, ibu, sanak famili, guru dan teman-teman. Bertamu ke pondokku Darul Amin, silaturahmi ke rumah Buya.
Aku pun masuk ke dalam Bandara. Sampai di dalam aku langsung diarahkan ke check-in.
"Jatah bagasiku sebenarnya berapa kilogram?" tanyaku pada petugasnya.
"40 kilogram."
"Pulang pergi?"
"Ya.”
"Yah kukira cuma 20 kilogram."
"Nggak, kau salah sangka!" katanya.
"Oke terimakasih."
Harusnya aku bisa bawa oleh-oleh lebih banyak! Atau aku juga bisa jual bagasi dan membawa titipan teman-teman. Humm ini kesalah fahaman antara aku dan yang membelikan tiketku. Karena memang aku balik ini bukanlah pakai duitku, melainkan dibelikan oleh panitia penyelenggara acara. Tiketku ditanggung VOI RRI. Sudah kukomfir balik ke mbak Dora Pardede empat hari lalu.
"Mbak, bagasinya berapa kilogram?"
"Dua puluh kilogram, Mas."
Aku juga banyak tanya pada teman-teman yang jual bagasi.
"Bagasi Ettihad biasanya berapa kilogram, Ustadz?"
"40 kilogram." Tiga orang penjual bagasi mengatakan demikian. Lalu aku bilang ke Dafi aku harus ikuti 20 kilogram atau 40 kilogram? Dafi menyarankan padaku milih 20 kilogram dengan alasan sebab yang membelikan tiket lebih tau. Eh ternyata 40 kilogram. Dan setelah koperku duduk manis di atas timbangan, ternyata beratnya cuma 17 kilogram. Hahaha, bikin nyesek. Tapi daripada lebih dan beli bagasi? Mending hati-hati ya kan?
Kenapa aku bisa dapat tiket gratis dari VOI RRI? Hum, itu karena cerpenku terpilih sebagai pemenang tahun ini. Dengan cerpen berjudul: Pedas Manis.
Setelah check-in aku diarahkan ke imigrasi. Seorang petugas minta pasporku dan boarding pass-ku. Setelah ia periksa visa dan borading pass, dia mempersilakanku lewat. Sudah selesai. Saatnya menunggu pesawat di ruang tunggu.
Baru saja sepuluh menit aku menunggu, teman-teman Masisir penjual bagasi datang. Wah senang sekali ada teman pulang! Kusangka cuma aku sendiri.
Aku kenal betul tiga orang penjual bagasi ini. Aku sering beli bagasi ke mereka.
"MasyaAllah, antum balik juga nih?" tanyanya padaku.
"Ya ni balik."
"Dalam rangka apa? Rapi amat. Pulang kampung?"
"Ya pulang kampung." sahutku.
"Owh. Berapa bulan di sana?"
"12 hari tok."
"Hah? Kok dikit banget? Kenapa?"
"Kan perkuliahan mulai Oktober. Ini udah akhir September."
"Oh iya, benar."
"Antum ada trip ni hari ini?" tanyaku lagi.
"Ya nih. Tu di group bagasi ada jadwalnya." Aku pun check WA-ku.
"Owh, iya ya. Nggak nyangka banget ni satu pesawat. Ana kira ana sendiri doang Masisir yang balik Indo hari ini. Hehe."
"Ramai kok, masih ada yang belum datang."
Ada sedikit rasa bahagia. Karena punya teman balik. Jadi nanti saat transit di Abu Dhabi tidak susah lagi tanya-tanya petugas bandara seperti tadi. Masa mau ke imigrasi dan ruang tunggu saja sampai nanya 5 kali. Hampir tiga jam menunggu pesawat, kami pun dipersilakn masuk. Sampai depan pintu: bismillahirrahmanirrahim, lirihku pelan. Dan alhamdulillah kedua kakiku melangkah dengan lancar. Jadi ingat kejadian lima tahun lalu saat pertama datang ke negeri ini. Boarding Pass-ku dibawa pergi sama pramugaranya. Btw sudah pernah disiarkan di VOI ceritanya.
Ruang tunggu 8E telah kosong. Semua penumpang sudah berada di dalam. Pesawat Ettihad Kairo-Abu Dhabi kan segera berangkat! Aku duduk di kursi 14B sebelah kiri pesawat. Kemudian pramugari pun memandu tata cara menggunakan sabuk pengaman dan pelampung. Lalu Aku membaca do'a musafir.
"Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa inna ila robbina lamun-qolibuun. Allahumma innaa nas’aluka fii safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil maali wal ahli.”
Pesawat Kairo-Abu Dhabi lepas landas. Pelan-pelan menanjak ke awan, terlihat Mesir dari ketinggian, semuanya tampak kelabu, warna pasir yang kuning gelap. Rumah kotak-kotak. Tak berapa lama pesawat membelah awan-awan, melaju di atas awan. Sore pun hampir hilang, malam di atas awan. Lampu pesawat dimatikan. Sebagian penumpang tidur. Aku adalah orang yang sama sekali tidak pernah bisa tidur dalam pesawat. Kenapa? Karena aku takut ketinggian. Aku tahu aku sedang di atas awan dalam pesawat. Pikiranku tidak pernah tenang.
Sesekali badan pesawat terguncang oleh awan, kursi duduk pesawat yang empuk tidak bisa membuatku kantuk. Aku berjaga sepanjang jalan. Bahkan sangkingkan takutnya aku tidak berani ke toilet pesawat walaupun para penumpang kulihat bergantian ke toilet. Aku tidak. Karena rasa takutku itu aku tidak pernah sesak kencing apalagi BAB. Aku hanya main hp. Aku buka catatan, aku coba menulis. Tetapi tidak bisa banyak. Mau baca buku bacaan yang mejeng di kursi pesawat juga tidak bisa sebab lampunya mati. Dan yang paling sial adalah aku lupa bawa headset. Tidak bisa dengar lagu. Sepanjang jalan aku hanya melamun, menatap gelap dalam pesawat.
Tiba di Abu Dhabi.
Begitu pesawat berhenti dan diparkir, semua penumpang turun dan masuk ke dalam bus.
"Eh antum ustadz, Faisal?" tanyaku. Ustadz Faisal adalah dulunya aku sering juga beli bagasinya. Dia orangnya baik, sudah berkeluarga. Dia salah seorang yang kemarin hari aku tanyakan soal jumlah bagasi pesawat Ettihad.
"Ya. Antum balik juga ni, Ustadz, Daud?"
"Ya ni ustadz, alhamdulillah bisa balik. Tapi ana bukan penjual bagasi loh ya? Jadi antum nggak perlu merasa ana saingi. Haha."
"Hahaha, santai aja. Gimana bagasinya 20 kg atau 40?"
"Yah ternyata 40 kg, Ustadz."
"Nah kan sudah ana bilang ke antum, masih nggak percaya lagi!"
"Itulah, Ustadz. Ana juga masih pertama kali pulang sih, jadinya banyak takutnya. Takut kalau ternyata benar 20 kg. Dan setelah ana timbang pas check-in cuma 17 kg. Banyak banget terbuang ini."
"Hahah, santai. Nanti Jakarta-Kairo insyaAllah bagasi antum penuh. Sebab lebih banyak yang beli bagasi."
"Oh iya, tapi sepertinya ana nggak jual bagasi, Ustadz. Karena memang tidak lama di Jakarta. Tapi ya lihat nanti saja."
Tidak lama kemudian kami sampai. Dan sangkingkan ramaianya, aku tidak melihat satu pun teman-teman Masisir. Mereka pisah dariku. Meninggalkanku yang tersesat di kerumunan banyak orang. Aku tertinggal, mereka duluan. Terpaksa aku banyak tanya lagi kepada para petugas bandara: kemana harus aku pergi? Sambil menunjukkan boarding pass milikku. Aku bertanya dengan memakai bahasa arab 'ammiyah Mesir, mereka mengerti dan mengarahkanku ke Zona transit dan ruang tunggu. Zona 2 dan Gerbang 37.
Lebih lima kali aku bertanya. Sebab memang Bandara Internasional Abu Dhabi sangatlah besar. Jauh aku berjalan menuju Gerbang 37. Sampai di sana, tidak satu pun kulihat wajah Masisir. Padahal aku sudah benar berada di Gerbang 37. Tetap membuatku ragu sebab teman Masisir tidak ada. Kutunggu 15 menit juga belum datang. Lalu aku bertanya lagi pada petugas yang mondar-mandir.
"Aku di gerbang yang benar atau salah?" tanyaku pada berwajah arab itu dengan menunjukkan boarding pass. Sepertinya dia bukan asli orang Abu Dhabi, dia dari Mesir.
"Na'am" jawabnya membuatku yakin. Meskipun sudah kupastikan tiga kali, sekali pada orang arab, dua kali pada orang Indonesia yang hendak liburan juga ke Indonesia.
Mereka adalah buruh migran di Abu Dhabi. Dan mereka juga bilang bahwa aku berada di ruang tunggu yang benar. Aku sedikit lega tapi belum puas sebab aku belum melihat wajah teman-temanku. Sambil menunggu, aku pun memberanikan diri mendekat pada seorang laki-laki yang tengah mendengarkan musik. Rambutnya gondrong, memakai jaket merah.
"Orang Indonesia, Mas?" tanyaku.
"Ya benar."
"Alhandulillah. Masnya ke Jakarta juga kan?"
"Ya benar."
Kemudian aku duduk di sebelahnya dan banyak bertanya begitu pun dia. Kami saling bertukar cerita.
Dia banyak bertanya setelah dia tahu aku dari Mesir dan kuliah di Al-Azhar. Dia bercerita bahwa dia bekerja di tengah laut di atas kapal sebagai pemantau minyak bumi. Gajinya hampir lima belas juta sebulan. Katanya dia tidak betah di tempat dia bekerja. Dia berminggu-minggu di atas kapal bahkan tanpa sehari pun ada kesempatan ke daratan. Jumlah staff yang bekerja lebih lima puluh orang. Yang membuat dia tidak betah lainnya ialah soal lauk. Dia tidak mau makan haram. Lauk yang sering dimasak adalah daging babi. Karena memang big bos perusahaannya adalah orang China, bukan orang Abu Dhabi.
Sebenarnya dia sudah dikontrak selama 3 bulan. Ini sudah sebulan dua minggu dia bekerja dan dia tidak betah. Dia juga tidak diizinkan pulang kalau kontraknya belum selesai. Dia bingung mau bikin alasan. Suatu hari ibunya menelepon, ibunya sakit parah dan menyuruhnya pulang. Kalau alasan semacam ini gazi boleh diambil dan tiket ditanggung. Bosnya juga ingin membelikan tiket kembalinya lagi ke Abu Dhabi tetapi dia beri alasan menyakinkan bahwa mungkin aku tidak pulang lagi ke sini kalau ibuku sakitnya lama. Dan sebetulnya memang niat dia benar-benar tidak ingin balik lagi. Gajinya memang tinggi, bekerja juga nyaman, namun dia tidak betah soal lauk makan dan berbulan-bulan di dalam kapal, walaupun kapalnya besar.
"Jadi nggak ada niat balik ke sini lagi, Mas?"
"Nggak, nggak betah."
Setelah lima jam menunggu. Kami pun dipersilakan masuk ke dalam bus dan dibawa ke peswat Ettihad Airways jurusan Abu Dhabi-Jakarta. Lumayan jauh. Dan sampai di pesawat kami naik tangga masuk ke dalam pesawat, megah dan besar! Aku duduk di kursi 44F. Di Abu Dhabi masih pukul 02:10 pagi. Pesawat Abu Dhabi-Jakarta pun berangkat. Tidak lupa membaca doa. Saat pesawat sudah stabil. Pramugari pun menghidangkan makanan. Tadi Kairo-Abu Dhabi hanya dikasih roti, karena hanya sebentar. Lebih kurangnya empat jam. Abu Dhabi-Jakarta dapat makan dua kali karena jauh, jauh sekali! Aku pun merasa pegal, sakit pinggang. Lagi-lagi aku tidak berani ke kamar kecil. Dan memang tidak kebelet.
Jam dua siang waktu Jakarta pesawat sudah di atas laut Jawa. Tampak dari maps monitor tv pesawat. Tadi sudah melewati awan Kuala Lumpur. Pesawat semakin menurun, semakin dekat, dan mendarat.
"Alhamdulillah ya Allah. Sampai di Jakarta dengan selamat." lirihku pelan.
Simcard hp-ku tidak berfungsi, sama sekali tidak ada jaringan. Karena penunumpang pesawatnya adalah 90% orang Indonesia, aku pun beranikan diri.
"Mas, minta tolong numpang wifi?"
"Oh ya boleh."
Lalu Aku pun segera mengabari mbak Dora di Instagram.
"Mbak, alhamdulillah aku udah tiba di Jakarta. Ini nomor WA-aku. Aku nggak ada paket, ini numpang wifi orang." Aku kirim no WA-ku. Agar nggak susah menghubungi, agar bisa ditelepon nantinya.
Aku selama ini berkomunikasi dengan Mbak Dora via Instagram. Kenapa tidak WA? Aku jadi tidak enak sama beliau karena beliau pernah kesal padaku gara-gara sering ganti nomor WA. Dan aku merasa lebih baik di Instagram karena aku selalu aktif.
"Alhamdulillah, sudah di mana sekarang, Mas? Jangan kemana-kemana, ya. Kamu sudah ada yang jemput."
"Masih dalam pesawat, Mbak."
"Kamu sudah ada yang jemput. Sudah ditunggu oleh Buk Rita, Buk Unun dan Pak Yubi."
"Baik, Mbak. Terima kasih."
Aku keluar dari dalam pesawat. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya bisa nginjak tanah Indonesia lagi! Aku bahagia sekali! Sangat bersyukur pada-Nya.
Sampai di ruang imigrasi, Aku tunjukin paspor dan halaman pasporku distempel, di sana tertulis : Arrival 25 September 2019 CGK. Kemudian aku menuju tempat tunggu bagasi. Dan wajah-wajah Masisir pun mulai terlihat. Ternyata mereka sengaja telat datang ke ruang tunggu di Abu Dhabi sebab transitnya lima jam. Lebih 15 menit menunggu. Akhirnya koperku lewat juga.
Kemudian kutarik menuju luar bandara. Sampai di luar aku minta tolong pada teman Masisir. Namanya Abdul Raouf.
"Ustadz, ada paket nomor indo nggak?"
"Nggak ada juga. Pakai wifi bandara aja, Ustadz."
"Sudah saya coba dari tadi nggak bisa."
"Sini hp antum." Dia pun coba dan ternyata bisa. Dasar akunya saja yang tidak mengerti caranya. Haha.
Aku buka hp, aku lihat sudah ada inbox WA.
"Assalamualaikum… Saya Unun dari VOI. Kita sudah ada di bandara. Nanti lurus aja."
"Baik, Mbak. Saya di sini Mbak. Mbak sebelah mana?" balasku dengan mengirimkan gambar di lokasiku. Aku panggil mbak, setelah aku lihat profile WA beliau, tampaknya bukan mbak-mbak lagi. Lalu beliau telepon aku via WA.
"Hallo, kamu di mana, Daud?"
"Ini saya sudah di luar, Ibuk."
"Dekat mana?"
"Di luar, dekat penjual pulsa. Ibuk di mana?"
"Kita di ini di depan, nanti lurus saja. Kita pasti lihat kamu deh, coba ke sini. Kita tiga orang pakai seragam VOI warna telur asin.
"Baik, Ibuk." Aku pun datang ke tempat yang beliau sebutkan. Sampai sana tidak ada kulihat orang memakai baju berwarna telur asin. Tiba-tiba terlihat juga olehku. Tetapi aku ragu, kulilat dua ibuk-ibuk satu orang bapak dan satu mbak mereka menuju ke arahku tadi. Beliau tiga orang memakai seragam yang sama dan seorang ibu sedang menelpon, dan ada panggilan masuk ke WA-ku, nomornya buk Unun.
"Halo, Daud. Kamu di mana sekarang? Kita udah di luar juga nih menuju ke tempatmu."
"Ya, Ibuk, saya sudah lihat, Ibuk."
"Haha, ya kah? Kamu di mana?"
"Ini segera mendekat."
Aku segera menarik koperku. Semakin dekat, Buk Unun pun melihatku, aku lambaikan tangan. Kemudian mendekat,
"Assalamuakikum, Ibuk. Saya, Daud." sapaku dengan cara orang India bilang: namaste. Dua ibuk-ibuk RRI VOI ingin menjabat tanganku, tetapi segera aku bentuk tanganku: namaste. Mereka maklum dan tahu aku mahasiswa Al-Azhar.
"Walaikumsalam, saya Unun."
"Saya Rita." Kemudian aku salami seorang laki-laki yang megang kamera.
"Yubi." kata beliau sembari menjabat tanganku.
"Ini, Mbak Ahla Jenan?" tanyaku pada seorang mbak.
"Ya, saya Juwati atau Jennan. Pemenang kedua." Sahut beliau. “Oh, iya.” Aku hampir tidak percaya. Sebab kulihat di poster acara beliau memakai jilbab. Tetapi sekarang tidak pakai.
"Sudah lama nunggu, Buk?" tanyaku pada Buk Unun.
"Belum, masih baru. Ini si Juwati juga baru setengah jam yang lalu sampai."
"Owh gitu. Emang dari Hongkong ke Jakarta berapa jam, Mbak?"
"Cuma dua jam." jawab beliau. Ternyata keren sekali VOI mesan jadwal tiket kami agar jam kedatangannya tidak beda jauh, agar tidak dua kali jemput. Lalu kami foto-foto.
Segera Buk Unun mengirim foto-foto kami ke dalam group WA pegawai VOI bahwasannya kami sudah sampai di Jakarta.
Kemudian Pak Yubi selaku pegawai VOI dan juga ahli fotografer membuat video untuk testimoni bahwa sudah sampai di Jakarta. Dan aku yang duluan bicara,
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...
Perkenalkan, saya Daud Farma. Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI 2019. Dan alhamdulillah saya sudah tiba di Jakarta dengan selamat, dan saya sangat senang sekali. Terima kasih banyak Voice Of Indonesia atas undangannya. Wassalamau'alaikum warahmagullahi wabarakatuh." Kemudian giliran Mbak Jennan.
"Assaalamulaikum..
Saya Juwati. Pemenang kedua dari Hongkong..."
Setelah vidio dokumentasi, kami pun menuju ke mobil. Kulihat supirnya datang mendekat dan menarik koper Mbak Jennan.
"Dito." katanya menjabat tanganku. Pak Dito memasukan koper kami ke dalam bagasi mobil. Aku tidak terlalu paham soal mobil. Pokoknya mobilnya bisa muat 12 orang, ya ini model van.
Sebelum naik mobil kami pun foto-foto lagi di depan angka: 74 TH Indonesia. Lalu kami semuanya masuk ke mobil. Pak Dito pun mulai mengemudi. Dua ibuk-ibuk RRI yang cantik-cantik mengobrol dengan Mbak Jennan. Mereka duduk di kursi depan. Aku duduk di kursi tengah dengan Pak Yubi. Karena kami baru kenal, tentunya kami saling banyak bertanya. Sesekali Buk Unun dan Buk Rita juga bertanya padaku.
"Daud asli mana, Daud?" tanya Buk Unun yang cantik dan imut.
"Aceh, Buk."
"Wah Aceh. MasyaAllah, jauh ya, Daud. Kamu acehnya di mana?"
"Di Aceh Tenggara, Buk."
"Di Mesir sudah berapa tahun?"
"Sudah hampir lima tahun, kurang 2 minggu."
"Belum pernah balik?" tanya Buk Rita.
"Belum pernah."
"MasyaAllah, berarti ini pertama kali pulang ke Indonesia dong?"
"Alhamdulillah, Ibuk. Hehehe."
Sepanjang jalan kami cerita ini dan itu. Pak Yubi ternyata di siaran bahasa Belanda, Buk Unun bahasa Jerman. Buk Rita bahasa Mandarin. Pak Dito supir pribadi VOI. Di VOI RRI sendiri ada 9 bahasa asing, tak terkecuali bahasa Arab.
"Daud nggak ada niat pulang kampung setelah acara?" tanya pak Yubi.
"Ada niat, Pak."
"Daud, ayo makan lagi kuenya, nanti kalau udah balik ke Mesir nggak bisa makan ini lagi loh." ajak Buk Unun.
"Ya ayo, Daud. Di Mesir nggak ada ini." kata buk Rita.
Di dalam mobil ini sudah banyak sekali snacks. Aku pun sampai bingung mau makan yang mana. Sejak pertama jumpa di Bandara tadi aku sangat terkesan sekali dengan keramahan orang-orang yang menjemputku ke bandara ini. Beliau-beliau ini adalah seperti keluarga baruku. Mereka baik, ramah dan penyanyang. Buk Unun yang masih muda, ceria, bahagia, cantik, imut dan shalihah. Buk Rita yang cantik, ramah, shalihah, dan bahagia. Mbak Juwati yang cantik, baik, santun, kurus, bahagia dan senang mendengar cerita perjalanannya, shalihah insyaAllah, hanya saja memang beliau belum istiqamah memakai jilbab. Ceritanya menginspirasi, tampak sekali ia banyak pengalaman dan berpikiran dewasa. Belakangan hari kutahu umurnya sudah 37 tahun, jauh sekali dari umurku. Pak Yubi yang suka tersenyum, ganteng, potongan rambutnya pendek, ramah, shalih. Pak Dito, supir yang ramah, berbadan besar, potongan rambut beliau tipis, sepertinya baru numbuh.
Belum begitu jauh berjalan, tiba-tiba polisi menyetop mobil kami. Aku tidak begitu paham sebabnya apa dan kenapa? Pak Dito menepi dan turun dari mobil.
"Bilang ja, kita dari RRI gitu." kata Buk Rita.
"Ya, Ibuk, tenang." Lebih 10 menit ia di luar mengobrol sama polisi, ditanya sim dan sebagainya. Beberapa saat kemudian Pak Dito datang.
"Kenapa tadi, Dito?" tanya Buk Rita.
"Nggapapa, Buk. Saya bilang bawa tamu RRI. Aman, Buk, aman."
"Syukurlah."
Hari makin sore. Kadang macet tetapi tidak lama. Kami tidak melewati jalur ganjil-genap.
"Kemarin itu di sini ramai ini, pada banyak yang demo." terang Buk Unun.
"Hari ini nggak ada demo lagi ya, Buk?" tanyaku.
"Ada, tapi depan gedung DPR sana."
"Owh, syukurlah. Nggak macet." sahutku. Beberapa saat kemudian,
"Nah, itu Kota Tua." kata Buk Unun menunjuk ke luar jendela. Mataku mengikuti arah telunjuk Buk Unun.
"Wah, selama ini cuma bisa lihat fotonya di story Instagram teman, hari ini benaran bisa lewat depannya!" kataku gembira.
"Hehehe." kata mereka yang dengar aku kesenangan, tampak betul aku kampungannya. Tapi aku tidak ada rasa malu, apalagi malu-malu. Sebab mereka sudah kuanggap seperti keluargaku, merasa sudah akrab.
Hari pun sudah mulai gelap. Beberapa saat kemudian, Buk Rita pun melihat ke luar jendela.
"Nah, itu masjid Istiqlal, Daud!"
"Mana, Buk?"
"Itu sebelah kiri kita."
"Wah, masyaAllah. Ayo kita berhenti dan salat magrib di Istiqlal, Buk."
"Udah pada selesai magrib, Daud. Besok saja kita salat di Istiqlal. Sekarang kita langsung ke Mangga Dua dulu. Langsung check-in hotel, nganter kalian ke kamar, letak koper kalian, mandi dan salat. Abis salat kita keluar lagi nyari makan." Buk Rita menjelaskan.
"Baik, Buk." aku manut setuju. Senang!
Tidak berapa lama kami pun tiba di Mangga Dua.
"Nah ini hotelnya. Le Grendeur." kata Buk Unun.
"Ini Prancis ya?" Mbak Jennan memastikan.
"Ya, Prancis, Le Grendeur kan artinya ini, apa?" Buk Unun lupa.
"Ukuran." sahut Mbak Jennan, Buk Rita dan Pak Yubi. Mbak Jennan tau sebab beliau pernah ke Prancis, baru tiga hari yang lalu ia dari sana. Dia diajak majikannya berlibur.
Kami pun turun. Pak Dito menurunkan koper kami. Aku menarik koperku yang berwarna hitam, beratnya cuma 17 kilogram padahal bisa makan muatan 35 kilogram. Pak Dito menarik koper Mbak Jennan yang warna merah, sedikit lebih kecil dari koperku. Sampai di lobi hotel kami pun foto-foto. Pak Yubi selaku fotografer segera memotret kami berempat: Buk Rita, Buk Unun, Mbak Jenan, dan aku. Kemudian Pak Yubi bergabung, lalu difotokan pakai hp Buk Unun oleh Pak Dito. Lalu Buk Unun meminta paspor kami untuk check in. Aku dan Mbak Jenan mengikuti Buk Unun dan Buk Rita.
"RRI, ya, Mbak." kata Buk Rita pada petugas hotel. Mereka langsung paham. Karena setiap ada tamu RRI menginapnya memang di Mangga Dua.
Tidak lama kemudian petugasnya memberikan kunci hotel, nomor kamar dan password wifi.
"Masnya di lantai 12 dan mbaknya di lantai 14. Terimakasih." kata Mbak petugas hotel menerangkan.
"Baik. Terimaksih kembali." sahut Buk Unun.
"Kalian mandi, salat, dan turun lagi, ya? Kami tunggu di bawah, kita makan malam di luar."
"Baik, Buk." sahutku dan Mbak Jenan hampir serentak.
"Daud sama Pak Yubi. Pak Yubi tolong antar Daud ke kamarnya. Saya dan Unun nganter Jenan." kata Buk Rita. Kami pun masuk ke dalam lift. Aku dan Pak Yubi naik duluan. Pak Yubi menjelaskan bagaimana cara naik lift dan membuka pintu dengan kunci gesek.
"Masukin dan langsung tarik! Jangan pakai jeda, kalau jeda nggak bisa."
"Owh gitu?" aku udah tau sebenarnya teorinya tapi prakteknya baru sekarang, sebab baru ini nginap di hotel mewah. Hehe.
Begitu masuk kamar, wah bukan main mewahnya! Satu kamar satu orang. Padahal isinya muat tiga sampai lima orang, luas! Jendela kacanya bersih, tampak jelas kota Jakarta dari lantai dua belas ini. Spring bad-nya empuk, selimutnya tebal, ac-nya sehat walafiat, tapi tidak aku nyalain. Tv-nya juga bagus, tapi aku nggak suka nonton tv, nggak aku nyalakan sama sekali. Kamar mandinya juga luas, bisa mandi empat orang sekaligus. Wifi-nya kencang amat! Kebersihan? Usah ditanya soal kebersiahan, namanya juga hotel. Peralatan mandi, mulai dari sabun, shampo, sikat gigi, odol gigi, semuanya baru, tiap hari ganti. Handuknya juga demikian. Air mineral, teh, gula, lengkap. Dan semuanya boleh gratis, itu adalah bonus bagi yang nginap. Setiap pagi pembersihnya masuk kamar ketika tamunya sedang berada di luar. Soal barang-barang berharga yang kita tinggal di kamar? Usah khawatir, tidak akan hilang. Sebab pekerja hotelnya orang-orang jujur.
Aku di kamar: 233, 322, atau 223?, aku tidak ingat dan lupa fotoin. Pak Yubi turun duluan. Turun lift tidak mesti pakai gesek. Aku segera mandi, pakai air hangat. Aku sebenarnya bawa perlengkapan mandi dari Mesir tapi tidak jadi aku gunakan karena sudah disediakan hotel. Selesai mandi, berpakain. Aku pakai kemeja merah gelap, salat. Kemudian aku turun. Mulai dari mandi, berpakaian, dan salat, tidak sampai 20 menit.
"Cepatnya, Daud?!" kata Buk Unun.
"Hehehe ya, Buk."
"Masnya laki-laki ya maklum, mbaknya malah belum ya wajar." kata Pak Dito.
Sepuluh menit menunggu, mbak Jenan datang.
"Ayo foto-foto lagi. Mereka udah ganteng dan cantik." ajak Buk Unun. Setelah foto-foto kami pun pergi keliling mencari makan.
"Daud, kamu pingin makan mie Aceh nggak?"
"Wah, pingin banget, Buk." jawabku segera padahal di Mesir juga ada mie Aceh. Tapi soal rasa sepertinya jauh lebih enak yang di Indonesia, pikirku.
"Pak, Dito. Kita ke Mie Aceh. Daud kangen mie Aceh nih." kata Buk Unun.
"Mie Aceh nggak ada dekat sini, Buk. Jauh."
"Ya udah nggapapa jauh, sekalian jalan-jalan. Daud dan Jenan kan pingin jalan-jalan juga. Kalain nggak capek kan?" Buk Rita tanya.
"Nggak kok, Buk." jawab kami bahagia.
"Baik, kita menuju mie Aceh." kata pak Dito.
Keliling-keliling menelusuri Jakarta di malam hari, lampu kendaran menerangi, Jakarata indah. Terlalu jahat jika ada yang bilang: ibu kota lebih jahat daripada ibu tiri. Karena aku jugalah tamu di kota ini, tamunya RRI. Mungkin ungkapan di atas juga kurasakan jika aku sebagai pendatang untuk mencari sesuap nasi di kota ini. Alhamdulillah, puji syukur pada Allah, telah memberikan nikmat yang besar ini, yang wajib aku syukuri. Satu jam lebih kurangnya kami sampai di Mie Aceh.
"Tutup, Buk." kata Pak Dito.
"Yahh, gimana, Daud? Mie Acehnya tutup."
"Ya nggapapa, Buk. Nggak usah jadi, Buk." kataku.
"Nggak mesti mie Aceh kan, Daud?" tanya Bu Rita.
"Ya nggak mesti, Ibuk. Makan di mana saja mau kok, Buk."
"Ya sudah, Pak Dito, kita ke rumah makan yang ada jual Mie Aceh saja deh. Kan biasanya banyak itu di rumah makan jual mie Aceh."
"Wah, jadi nggak enak nie aku. Nggak mesti loh, Buk. Mie Acehnya nggak jadi saja."
"Nggapapa, Daud. InsyaAlalh ada jual mie Aceh di sana." Buk Unun yakin.
Pak Dito segera memutar ke arah kanan, beliau paham betul seluk-beluk kota Jakarta. Semua nama Jalan beliau hafal. Kata Pak Dito dia pernah bekerja sebagai supir online selama dua tahun dulunya, maka dari itu ia sudah mengerti. Setelah dua kali lampu merah, Pak Dito belok kiri. Dan kami singgah di rumah makan resteron. Nggak ada mie aceh hari ini. Sudah pada tutup.
"Nggak papa kan, Daud? Mie Acehnya besok yah?" kata Buk Unun.
"Ya udah nggak papa kok, Buk. Apa saja."
Sambil menunggu, Pak Yubi memotret kami. Dan seperti biasa: kalau tidak pakai hp masing-masing rasa-rasanya belum puas di hati. Bergantian lah difoto pakai hp pribadi. Yang kualahan Pak Dito! Untung saja Pak Yubi tidak suka foto-foto, karena beliau adalah tukang fotonya. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya bahwa Pak Yubi sebenarnya bukanlah fotografer khusus, namun karena tidak ada yang lebih pandai dari beliau, beliau lah yang dipilih. Beliau jugalah pegawai, sama seperti Bub Unun dan Buk Rita, sekali lagi Pak Yubi adalah penyiar Bahasa Belanda.
Belum sampai sehari kenal dengan pegawai VOI, aku merasa sudah dilakukan seperti anak kandung, terasa sekali di hati kasih sayang mereka, ramahnya, baiknya, Buk Unun dan Buk Rita tidak ada bedanya, dua-duanya ibuk luar biasa bagiku! Begitu pun Pak Yubi, meskipun beliau adalah sedikit pendiam, beliau adalah orang yang ramah, sebisa mungkin beliau mengajakku mengobrol.
Selesai makan kami diantar pulang ke hotel. Aku dan Mbak Jenan diberi Baju Oleh Buk Rita.
"Ini baju batik untuk dipakai besok Acara Anugerah Sastra. Mbak pakai jilbab untuk besok saja, pas lagi acara ja nggapapa."
"Baik, Buk." jawab kami bersamaan.
"Kamarnya masih ingat kan,
Daud?" tanya Buk Unun.
"Hehehe, ingat, Ibuk."
"Ya sudah. Kami pamit, ya. Sampai ketemu besok pagi di lobi. Kami jemput jam tujuh. Usahakan siap-siap dari jam enam biar nggak telat. Besok pagi makannya di lantai satu, tinggal tunjukin nomor kamar, dapur prasmanan." jelas Buk Rita.
"Baik, Ibuk."
Beliau-beliau masuk mobil, kami masuk lift. Aku dan Mbak Jenan satu lift.
"Bisa nggak? Sini kuncimu biar, Mbak gesek."
"Silakan, Mbak."
"Lantai 12 kan?"
"Ya, Mbak." Aku keluar duluan, Mbak Jenan naik ke lantai atas. Sampai depan pintu, aku gesek kuncinya, pintunya tidak terbuka. Aku coba lagi, tetap tidak bisa. Sampai lima kali tidak bisa. Aku pun turun ke lobi. Minta bantu pada petugasnya. Aku jelaskan pintunya tidak bisa dibuka.
"Silakan tunggu depan kamarnya, Mas. Nanti petugas kami datang membantu."
"Baik, terimaksih, Mbak."
"Sama-sama, Mas." Aku naik ke lantai dua belas lagi. Dan petugasnya datang.
"Mana kuncinya?" Aku berikan dan ia coba. Bisa!
"Gesek dan segera ditarik!" katanya. Haduh, malunya aku! Padahal tadi magrib sudah diajari oleh Pak Yubi, tapi akunya suka lupa. Haha.
"Makasih, Mas!"
"Oke."
Sampai di kamar aku buka tas kain warna biru tua yang dalamnya baju batik. MasyaAllah, batiknya bagus sekali! Dalamnya dibuat seperti dalaman jas. Jadi pas dipakai terasa adem dan tebal, tidak tampak kurusku. Dan pas untukku. Karena memang waktu masih di Kairo sudah ditanyakan ukuran bajuku. Sepertinya ini ditempah, dan sepertinya mahal.
Tanggal 25/9/2019 berakhir. Aku tidak bisa tidur. Aku pun memilih dan memisahkan oleh-oleh mana yang akan aku berikan ke Bunda Pipiet dan Mbak Dora. Sebenarnya niatnya untuk tiga orang yaitu: Mbak Dora, Bunda Pipiet dan Mbak Enggar. Tapi kata Mbak Dora Mbak Enggar lagi bulan madu. Jadinya oleh-oleh untuk Mbak Enggar batal.
Setelah beres semuanya kususun dan sudah masuk dalam tas, aku pun kembali rebahan di kasur. Aku merasa berdosa tidak bawa oleh-oleh untuk Buk Unun dan Buk Rita, tak menyangka bertemu orang-orang baik seperti beliau. Kenapa waktu di Kairo hanya kenal Mbak Dora dan Mbak Enggar? Kenapa tidak Buk Unun dan Buk Rita juga? Yah mau gimana lagi, semua ada bagiannya. Mbak Dora memang bagian informasi, dia yang mengabari ke semua orang di luar negeri, Mbak Enggar presenter, suaranya bagus dan merdu, dia yang selalu membacakan cerpenku dan mewawancaraiku. Sedangkan Buk Unun dan Buk Rita memang bagian tamu, beliau yang selalu meng-handle tamu. Jadi tentu kenalnya setelah bertemu.
Aku adalah orang yang takut tidur sendirian. Padahal aku ngantuk banget, perjalanan jauh dari Kairo. Jam sudah setengah dua, masih gelisah, tidak berani aku mematikan semua lampu. Lampu di pojokan dekat kamar mandi masih aku biarkan menyala. Akhirnya aku pun tertidur.
Sepuluh menit sebelum adzan aku terbangun. Kulihat jam hp. Aku hanya tidur tiga setengah jam. Aku salat subuh, baca Al-Quran, buka hp. Kemudian aku mandi. Setelah mandi, aku kenakan kaus dan memakai batik. Pakai celana hitam yang mengkilat. Memang aku sudah beli sepasang dengan jas, seharga 450 Pounds di Attabah Kairo, sebulan sebelum pulang.
Setelah pakai minyak rambut dan sisiran. Aku buka Instagram. Ada inbox masuk dari Mbak Dora. Sejak dari Kairo, segala informasi tentang VOI adalah melalui Mbak Dora. Selama 4 tahun belakangan ini juga dikabari Mbak Dora, maka dari itu sebenarnya Mbak Dora sudah sangat akrab denganku, hanya saja belum bertemu.
"Daud, cerpenmu sudah kamu pendekin belum? Kan nggak mungkin baca sebanyak itu?"
"Belum, Mbak. Nanti deh aku pendekin pas gladi."
"Oke."
Aku sudah siap-siap dua jam sebelum waktunya dijemput oleh buk Unun, buk Rita dan pak Dito. Pak Yubi menunggu di gedung RRI. Setengah jam sebelum dijemput, aku chat Mbak Jenan.
"Mbak, udah siap?"
"Baru aja mau siap-siap, Daud." balas Mbak Jenan. Haduh! Perempuan memang lama, haha. Sambil menunggu aku buka Youtube. Tadi malam aku sempatkan main PUBG dengan Musvita dan dua orang adik-adik Magasir.
Setengah jam berlalu, masuk panggilan lewat WA.
"Halo, Daud. Ibuk udah di lobi, ya!"
"Baik, Buk. Aku segera turun." Aku bergegas turun. Sampai di lobi.
"Asslaamualaikum, Daud." sapa Buk Unun dengan gaya namaste.
"Waalaikumsalam, Ibuk." jawabku dengan gaya yang sama.
"Gimana, Daud tidurnya? Nyenyak?"
"Alhamdulillah nyenyak, Buk. Walaupun cuma tiga jam."
"Lah kenapa cuma tiga jam? Emang kamu di Mesir lambat tidur dan cepat bangun, ya?"
"Nggak juga sih, Buk. Di Mesir kan masih jam sembilan malam Buk, sedangkan di Jakarta udah jam dua pagi. Perubahan waktuku belum stabil, Buk. Tapi alhamdulillah bisa nyenyak."
"Oh iya, Jakarta dan Mesir kan beda lima jam katamu kemarin, Ibuk lupa. Tapi alhamdulillah ya bisa tidur. Kita tunggu si mbak dulu terus kita bareng ke lantai satu buat sarapan." Sambil nunggu mbak Jenan, buk Unun mengajakku foto-foto. Kami berdua gantian.
Tiga menit menunggu, Mbak Jenan pun datang. Buk Unun menyapa dan bertanya seperti yang ia lakukan
padaku tadi. Kemudian kami pun naik lagi ke lantai satu lewat tangga. Sampai di pintu ruang makan aku dan Mbak Jenan menyebutkan nomor kamar. Setiap satu orang penghuni hotel boleh mengajak satu orang temannya untuk makan. Buk Unun dan aku mengambil makan duluan. Mbak Jenan duduk jagain tas, gantian.
"Daud, silakan ambil yang mana saja dan sebanyaknya!"
"Baik, Buk." kataku semangat. Buk Unun menemaniku, beliau memperkenalkan nama-nama makanan yang begitu banyaknya mejeng di meja. Waktu sarapan semua penghuni hotel datang bergantian, dapur prasmanan ini hanya khusus sarapan. Adapun makan siang dan malam maka silakan pesan dan bayar sendiri. Di dalam kamar hotel sudah tersedia telepon dan menu makanan. Adapun kami makan siang dan malam memang di luar. Keluar jam tujuh pagi pulang jam sepuluh malam, dari tanggal 25 sampai 28 begitu.