Shalawat dan Istighfar Bersama Nenek
Sore itu langit Darrasah telah menua. Tidak lama lagi bumi Piramida akan dipeluk senja. Keringat-keringat penduduknya sudah kering di badan. Tarikan napas yang berkerja harian telah normal seperti orang yang tidak berbuat apa-apa. Tetapi aku merasakan sekali getaran badan dan detak jantung nenek yang tangannya sedang aku genggam ini tak stabil. Aku menuntunnya berjalan. Tadi ketika aku pulang menuju rumahku, di tepi jalan itu seorang nenek mengulurkan tangannya padaku. Aku sangka ia meminta uangku. Aku merogoh tas ranselku, aku berikan Pounds kertas milikku.
"Syukron." ucapnya. Namun tangannya masih meminta.
Kusangka kurang, inginku berlalu meninggalkannya sebab uang di ranselku tidak ada lagi jumlah angka yang sama seperti yang telah aku berikan untuknya. Oh ternyata aku salah paham, ia minta aku genggam tangannya. Aku pun meraih tangan kurus itu. Telapak tangannya kasar, kulitnya telah keriput, urat-uratnya telah lemah.
"Hatrawah fein ya, Giddati?", hendak kemana, Nek? Beliau menjawab tetapi aku tidak mendengar suaranya. Aku tanyakan lagi maksudnya, menunduk dan mendekatkan telingaku padanya. Namun ia tidak bicara. Malah menunjuk ke arah depan, jalan raya sana.
Jarak itu tidaklah terlalu jauh. Beliau berjalan membungkuk. Aku pun ikutan merendahkan bahuku agar tidak terlalu jauh kupingku dengan mulutnya. Kalau aku berdiri tegak, beliau hanya sepinggangku saja.
"Ismakeih?" Dia menanyakan namaku, pelan sekali suara itu!