Sekarang kita berkata kepada anak-anak kita bahwa lebaran mereka tidaklah sehebat dan segembira lebaran kita dulu di tahun 1990-an pada saat belum adanya smartphone secanggih dan semenarik hari ini, yang masih bermain perang senjata-senjataan, meskipun uang saku tidak lebih sepuluh ribu sehari yang bisa ongkos naik angkot ke kota, makan Mie Aceh.
Padahal ketika itu orang tua kita juga beranggapan bahwa lebaran kita di tahun itu tidak lebih hebat dan tidak lebih menyenangkan daripada lebaran mereka di tahun 1950-an, yang meskipun ada yang tak mampu membeli baju baru namun tetap haru, meskipun tanpa alas kaki, namun tetap silaturahmi, meskipun tanpa berkendaraan, namun tetap bisa jalan-jalan.