IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #65

Dua Budaya Menyambut Ramadhan



Emak memasak segala macam masakan yang tiap setahun sekali sore ini, dibantu kakak. Bapak menyiapkan bambu untuk membuat lampu agar dipasang di teras depan sebagaimana kebiasaan yang turun-temurun, kadang ia bergantian dengan abang.


 Adik dan anak-anak seusianya tidak sabar menunggu magrib untuk menghidupkan lilin yang lima hari lalu ia pilih saat ikut belanja ke Pasar Senin dengan emak. Dia selalu memilih lilin empat warna: merah, putih, hijau dan biru, pun beberapa bungkus petasan. Ingin sekali ia meledakkannya di depan rumah bersama teman-temannya, tapi mengingat tempo hari pernah dikejar emak pakai sapu, nyalinya ciut.


Bambu yang tadi siang mereka ambil dari tepi gunung telah siap siaga di lokasi tempur. Jarak antar dua kelompok tidaklah lebih lima belas meter. Kedua meriam bambu saling berhadapan. Meriam bambu telah diisi dengan minyak lampu, tukang ledaknya bergantian. Yang mampu meniupkan angin berkali-kali ke mulut meriam bambu telah mendekat duluan. Aturan perang cuma satu: jangan meletakkan batok kelapa dan semacamnya di ujung mulut meriam! 


Tidak ada aba-aba harus serentak, kedua kelompok perang berlomba-lomba siapa yang duluan membunyikan meriam, yang kalah dalam pertempuran ini adalah yang meriam bambunya pecah ataupun minyak tanahnya habis duluan.


Kalau salah satunya telah kehabisan minyak tanah, mau minta minyak ke rumah sendiri juga takut diomelin emak, maka mereka gabung ke kelompok satunya lagi. Kadang ada juga yang sukarela memberikan uang jajannya untuk minyak tanah, sesekali mereka arahkan ke kali Alas sana. 

"Allahu Akbar!" Pak imam memulai takbir rakaat pertama shalat terawih. 

"Dhus! Dhas! Dhum! Dham! Dhukh!" Disambut suara meriam bambu.

"La ilaaha illallah, kek mana kin ributnya pun klen situ!" ucap yang belum takbir menggelengkan kepala. Padahal ia tahu suaranya tak bakal dapat didengar oleh kelompok yang sedang bertempur sebab jarak mereka tiga puluh tujuh meter jauhnya dari masjid, dua puluh tujuh meter dari kedai kopi. 


 Ada pula yang ugal-ugalan, ingin mengarahkan moncong meriam bambu itu ke arah warung kopi dan masjid, namun dihalangi teman yang emaknya paling keras mengomel.

"Wih, janganlah woe! Kenak marah nantik kita da. Klen kira aku dikasih mamakku masuk rumah nanti abis ni?"

"Betul tu, marah pulak nanti pak ustadz. Kau ni ada-ada aja otakmu! Putar lagi balik arah timur!"

 Kalau masih membandel dan nyali besar bakal adu jotos! Andaikan meriam bambu itu tidak pecah di malam pertama ramadhan, maka besok malam kedua kelompok perang itu datang lagi. Meriam itu disembunyikan di tempat rahasia agar tidak ada yang melihat dan memecahkannya. (Ramadhan 2005)

***


Bagi mereka yang tidak punya kesibukan pergi kemana hendak hati hingga senja nanti. Ada yang menjenguk anak di pesantren, ada yang ke Pante DonaKetambePante BaratBukit Cinta dan ke sungai Alas yang belum dilabeli dengan kata "Pante", biasanya yang tidak jauh dari rumah. 


Mereka yang rumahnya di bagian timur sungai pergi ke arah barat yang di barat pergi ke arah timur, bertemu di tengah yaitu sungai Alas yang mengalir dari hulu ke hilir sepanjang Aceh Tenggara hingga ke laut sana, jauh pastinya! Atau di sungai yang bukan Alas, biasanya adalah air yang mengalir dari gunung ke desa. Istilah mandi ini disebut sebagai, "Khidi Meugang" oleh masyarakat Aceh Tenggara.


Magrib hampir tiba, semuanya datang untuk berkumpul di rumah. Jembatan Pante Dona yang tadi dipadati dan ditumpuki oleh warga kini telah mulai sepi, pulang ke rumah masing-masing sebab mereka tahu bahwa makan malam ini haruslah bersama keluarga, tak elok makan sendirian di rumah makan apalagi di rumah teman. Tidak satu pun yang berhalangan, lengkap, begitu pun abang-abang yang telah menikah. Anak-anak dan istrinya mereka bawa ke rumah ayah. Tikar baru terkembang memanjang yang dipadati hidangan. Tidak hanya nasi, lauk pauk dan minuman, juga tersirat harapan kehidupan dan lengkap berkumpul bersama lagi di tahun mendatang. Sesudah jamaah magrib, ayah memimpin dzikir, shalawat dan doa kemudian makan bersama. 


Lembakhu alias pengantin baru duduk menunduk malu-malu. Makanan di hadapannya tak kuasa ia raih sehingga istri tercinta mengambilkan untuknya. Dia sengaja tidak banyak makan sebab nanti bisa saja ia diajak pegawai kenduri yang membawanya keliling, tentu tuan-tuan rumah akan memaksanya makan walaupun sebongkah Gutel atau Lepat.


 Tidak hanya lembakhu, pegawai kenduri juga membawa satu hingga dua bodyguard. Untuk apa? Tentu saja bukan untuk menjaganya dari mara bahaya melainkan membantunya menyantap hidangan tetangga. Sengaja dipilih orang yang perutnya tidak mainstream, yang diajak ialah yang kuat makan. Apalah dikata nanti oleh tuan rumah jika tamunya tidak makan? Tuan rumah merasa tak dapat berkah. Maka dari itu pegawai kenduri tidak mau kena imbas emak-emak, dia bawalah si Fadli dan Fajkhi. 

 

 "Nanti klen makannya jangan banyak-banyak kali. Bukan tuan rumah tak kasih, tapi yang kita datangi ni belasan rumah. Pahamnya klen maksudku ni?"

 "Paham, Bambkhu."

 Meskipun tuan rumah tahu tamunya telah keliling, telah singgah di rumah si fulan dan fulan, setelah do'a tetap saja disuruh makan.

"Makanlah, Tengku, tak banyak sedikit pun boleh. Janganlah takut, Tengku, aku bukan pekhacun, Tengku."  Kalau tuan rumah sudah berkata begitu, tengku pegawai dan bodyguard-nya tidak mampu lagi mengelak, segera ia mengambil hidangan.  


Andaikan ucapan itu tidak diucapan tuan rumah, sebisa mungkin tengku pegawai bakal menolak tawaran tuan rumah,

"Bukan begitu, Ame Polan, perut kami ni dah tak muat lagi, dah penuh kali pun."

"Ya sudah, makan satu Lepat aja lah, Tengku." Makanya tengku pegawai beberapa kali memberi peringatan ke bodyguard-nya saat hendak masuk ke rumah yang pertama kali, "Jangan lahap kali nanti. Mengerti?"

"Mengerti, Bambkhu." 

(Ramadhan 2010)

 ***


Nun jauh di Afrika bagian utara sana, Darrasah dan Gamaliyah nama wilayah itu, adalah hal yang sama dirasakan oleh umat manusia yang beriman. Momti dan ukhti sedari tadi sibuk di dapur. Mereka memasak tiga kilogram frekh/ayam, dua kilogram lahm/daging, menanak beras basmati/hadhramaut, memasak makaroni, ruz billaban/nasi dengan susu, membuat halawiyat/manisan, mengolah salathah/acar khas Mesir, menggoreng tha'miyah,

menumbuk mulukhiyah/secara lokal tumbuhan ini dikenal dengan nama jute, yute atau dikenal sebagai bayam yahudi atau bayam Mesir. 


Ukhti-Ngah membeli Na'na'/daun mint di tempat Haggah Batthah yang tiap hari buka dari bakda zhuhur hingga bakda isya.


Baba dan akhuya menggantung fanous-fanous besar, adapun fanous-fanous kecil adalah hadiah kepada orang yang dicintai. Seperti suami kepada istri, habibi kepada habibati. Boleh juga akhi kepada ukhti


Lampu warna-warni, kertas-kertas, pelastik, dan potongan-potongan kecil dari kain yang banya warna melintang antar gedung satu dengan lainnya.

Lihat selengkapnya