IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #69

Inginku Mondok Part Satu


Aku orang Kuta Cane, kabupaten Aceh Tenggara. Daerahku tidaklah sekecil jika aku berdiri di atas gunung yang tinggi lalu memandang ke bawah dan tampaklah hamparan rumah-rumah seakan bisa aku jengkali dengan jariku, tidak, tidak begitu! Bila saja aku mau mengelilinginya, seharian naik motor memang cukup tetapi tidak semua desanya bisa aku datangi satu-persatu. Jadi cukuplah kuakui bahwa daerahku memang luas sebenarnya walaupun dikelilingi gunung.




 Aku tinggal di desa Alur langsat, kecamatan Tanoh Alas kabupaten Aceh Tenggara Kuta Cane-Aceh-Indonesia. Untuk sampai ke desaku, kamu mesti melewati jembatan tinggi yang melentang di atas sungai Alas, yang menghubungkan timur dan barat Gugung dan Ncuah menurut suku daerah yang kami pakai.




 Sungai Alas adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada daerah kami, daerah yang semboyannya: hidup di kandung adat, mati di kandung hukum, yang tak lebih tak kurang artinya bahwa Kuta Cane Aceh Tenggara adalah daerah yang kental dengan adat dan taat akan hukum. 


Jika kamu orang jauh, saat hendak datang ke daerahku, cobalah naik pesawat yang dari Medan ke bandara Leuser Agara, nanti akan kau lihat sendiri ada sungai yang kami namai Alas. Salah satu nikmat besar adanya sungai Alas adalah untuk mandi. Jadi sejak dini sudah diajak mandi ke sungai alas kalau airnya sedang surut atau tidak dalam dan membahayakan. Itulah kenapa kami yang rumahnya terhitung dekat dengan sungai Alas semuanya bisa berenang, walaupun di titik-titik yang deras dan dalam. 




Aku pernah dipukul ayah waktu kecilku. Aku merasa sudah pandai berenang dan berani. Ayah mengajakku untuk mengantarnya ke tempat dia bekerja. Ayahku bekerja di pembuatan pagar tebing atau pagar tepi sungai yang kami sebut dengan kekhonjong. Yang bahannya adalah batu-batu sebesar betis, paha dan kepala. Kemudian batu-batu itu disusun rapi dan diikat dengan kawat yang sedikit lebih kecil dari jari kelingking. 


Para pekerja menyusun dan mengikatnya dengan rapi. Karena musim hujan dan banjir meluap ke sawah dan tanaman di pinggir sungai penduduk, jadilah pemerintah daerah membangun kekhonjong di sepanjang tepian sungai Alas, dan ayahku salah satu pekerjanya. 


Ayah mengajakku untuk membawa sebagian barang-barang keperluannya. Sampai di tempatnya bekerja, ayah menyuruhku pulang. “Langsung pulang, nanti jangan singgah lagi dan mandi di sungai!” Ayah tegas mengingatkanku. Di depannya aku bilang iya, tapi begitu aku tiba di tempat pemandian yang jauh dari tempat ayah bekerja aku pun mandi hingga lupa diri. 


Niatku hanya mandi sebentar saja, namun karena ada teman dan aku keasyikan. Tiba-tiba ayahku pulang dari bekerja dan mendapatiku sedang mandi. Aku takut dan sedikit bergetar. 


Tapi kulihat ayah senyum dan santun menyuruhku pulang dan membawa barang bawaannya termasuk parangnya yang bersembung. Sampai di rumah, sembung parang itulah yang ayah pukulkan pada kedua betisku. 


Aku menjerit kesakitan. “Sudah-sudah! Cukup-cukup!” kata ibuku, tapi ayah tetap memukuli betisku dengan sekuat tenaganya dan tidak berhenti sebelum ia puas. Saat tanganku lepas dari genggamannya, aku lari sekencang mungkin, aku kabur dari rumah karena memang ibu menyuruhku lari! Memang ibu sering bilang bahwa ayahku pendiam, jarang bicara, tapi kalau memukul seperti ingin membunuh. 


Sekarang baru aku rasakan ternyata ibu benar, mulai saat itu aku sangat takut pada ayahku. Aku takut pulang, aku berada di kampungku tetapi tidak berani pulang ke rumahku. Aku menangis tersedu-sedu menyendiri, aku lapar dan duduk di bawah pohon nangka. 


Saat itu aku benci ayahku, karena dia memukulku. Sampai malam hari aku belum berani pulang dan belum makan. Sehabis isya, saat ayahku sudah masuk kamar, ibu mencariku dan membawaku pulang dan aku segera makan malam, masuk kamar lekas tidur. 


Sejak kejadian itu kalau ada salahku pada ibuku, adikku, kakakku, rumahku, tetangga dekat, pada diriku sendiri dan lembuku, maka aku tidak berani berada di dalam rumah, aku pergi dari rumah dan tidak berani pulang.


 Meskipun begitu, bandelku belum berubah sempurna, masih ada nakal-nakalnya. Bahkan banyak kenakalan yang aku lakukan, tapi tidak sempat dipukul ayah karena aku selalu kabur dari rumah, sembunyi di tengah-tengah jagung yang tinggi. Abangku yang nomor tiga, namanya Piyah. Dia juga pernah dipukul ayah karena memanjat pohon belimbing tetangga tanpa izin, malah ia bawa ke rumah.


 Tiba di rumah disuruh ayah dia kembalikan ke tempatnya dan dia tidak mau, lalu ia pun dipukul sampai bengkak-bengkak. Kata ibuku aku masih kecil waktu ia dipukul jadi aku tidak tahu. Sejak itu abangku berubah dratis, ia jadi anak yang baik. Tidak berani lagi mengambil milik orang lain tanpa izin.


 Alur Langsat. Kenapa desaku bernama Alur Langsat? Kata orang tua kami karena dulunya banyak pohon langsat, tetapi kemudian ditebangi sebab makin banyaknya rumah penduduk.


 Alurlangsat jugalah sebuah nama yang tertulis secara resmi di kabupaten dan di atas kertas dan bila ditanya orang asing. Seperti misalnya jika ada orang luar kampung atau mungkin dari luar daerah, jika mereka bertanya tentang kampung kami pastilah yang terucap di mulutnya; Alur Langsat. “Pak, boleh tanya, kampung Alur Langsat di mana ya?” Sudah kutebak akan begitu bentuk pertanyaannya lebih kurangnya lah ni, ya. Hal ini pun tidaklah semua orang tahu, selain kampungku memang berada di pedalaman.


 Alur Langsat adalah punya nama yang lain, atau nama kedua. Kamu mau tahu? Nama Kedua kampungku adalah, Payung Kepek. Jadi tentulah jika ada orang luar daerah bertanya di salah satu kampung di Kuta Cane dan ingin ke kampung kami dengan menyebutkan Alur Langsat, dia belum tentu tahu. Tetapi mungkin jika disebutkan nama yang kedua, nah dia akan segera tahu. Apalagi jika bertanya di kampung sebelah kami, seperti; Khutung Mbelang, Lawe Tungkal, Alur Nangka, Rambah Sayang dan Salim Pinim, tanyalah pada bapak-bapak, ibu-ibu atau remaja di sana maka kamu akan segera tiba di kampungku.


Payung Kepek, begitu kebiasaan orang kampung sebelah kiri dan kanan memanggil nama kampung kami dan kami pun mengakui nama itu. Kenapa bisa nama Alur Langsat jadi Payung Kepek? Karena dulu ada kilang padi yang sudah lanjut usia, tua sekali kilang padi itu! Dan suara mesinnya saat menyala keluarlah bunyi: Pekepek pek-pek-pekepek-pek-pek.


 Dulunya tempat penggiling padi hanya adanya di kampung kami. Sehingga tidak heran tiga desa sebelah kanan dan tiga desa dari sebelah kiri menggiling padi di kampung kami. Mereka tertawa mendengar suaranya, lalu saat pulang ke rumah masing-masing mereka pun mengenang suara itu kemudian mengejeknya di belakang hari. Hingga hari ini kampung tetangga sebelah masih menamainya demikian. Itulah alasan kenapa yang tertulis secara resmi di kertas bukan Payung Kepek melainkan ialah Alur Langsat. Juga selain nama itu jelek namun lucu dan hampir tidak layak dimuat dan dimunculkan di daftar nama desa di tingkat kabupaten. Dan satu lagi, kalau mau ke daerahku, sampai di Kuta Cane, bilang saja bahwa kamu hendak ke Engkeran Alur Langsat, nanti kamu bakalan segera tiba di kampungku. Selamat berkunjung, Kawan! 


Alur Langsat masih dipeluk embun pagi, sebentar lagi mentari akan menerangi seisi bumi. Sesekali angin masuk lewat jeruji jendela kamarku, membelai pipiku, masuk lewat hidungku, udara sejuk menyelimuti paru-paruku. Sekarang sudah pukul 6 pagi, desa Alur Langsat indah nan asri ini sudah tak lagi sesepi subuh tadi.


 Hari ini adalah awal masuk sekolah setelah libur panjang, bagi yang sekolah. Aku? Aku sempat sekolah dua bulan di SMPN Salim Pinim, namun kini aku masih di rumah menunggu siang, sore, malam dan esok hari. Sudah lebih dua bulan pula aku rebahan di rumah, tidak mandi, hanya makan dan minum.


 Aku sudah tidak mau lagi masuk sekolah SMPN Salim Pinim. Kenapa? Pertama karena aku sudah lama sekali berlibur sejak kecelakaan itu. Aku terjatuh dari motor gara-gara balapan di hari minggu bersama abang-abangku. Padahal motorku baru seminggu di rumah yang baru dibeli ayah dari Medan. 


Aku terpelanting lebih lima meter, tiga gigiku patah, bibir atas dan bibir bawahku terluka, masing-masing empat jahitan. Atas empat bawah empat. Aku pingsan setengah sadar, aku sadar dibawa dan dipangku abang sepupuku ke rumah sakit, tapi aku tak berdaya, badanku lunglai. Sebenarnya kata "pingsan" sudah cukup mewakili tanpa harus kujelaskan lagi. 


Alasan kedua ialah aku malu pada keadaanku, malu pada sisa bengkak luka di bibirku, malu pada gigiku yang patah, aku tidak siap menujukkan pada teman-temanku penampilan baruku. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi masuk sekolah. Dan aku meminta dimasukkan pesantren. Aku mau di pesantren mana saja, yang penting di luar daerah, jauh dari kampungku. 




Sudah sejak kelas lima SD aku ingin masuk pesantren. Kenapa? Karena aku sudah merasa sangat lelah di kampung. Dari SD kelas 3 aku telah ikut abangku menggembala lembu. 


Kelas lima sampai tamat SD aku menggembala sendiri dengan jumlah lebih lima belas lembu. Setiap hari tanpa libur, kecuali aku sakit, dan seingatku aku selalu sehat saat SD dulu. Dan alasan lain ialah aku malas bekerja di sawah atau diajak ayahku ikut naik gunung. Kalau aku di kampung, sudah pasti ikut membantu kedua orang tuaku bekerja di sawah dan di gunung, dan aku lebih memilih bekerja menderes karet di gunung sebab di sana dingin.


"Kalau tidak masuk pesantren, aku tidak mau lagi sekolah." kataku pada ibuku, ibuku bilang ke ayahku. Ayah adalah orang yang sangat perhatian kepada pendidikan anaknya, asalkan tidak nakal, nurut omongan kedua orang tua, belajar yang rajin, ia akan turuti apa pun yang dimau anaknya selagi itu di bidang pendidikan. Apalagi pesantren, ayahku malah senang jika aku mau masuk pesantren. 


Dengan biaya apa adanya, ayah pun memutuskan mengantarkanku ke pesantren yang sesuai dengan permintaanku: luar daerah dan jauh dari kampung.


Ayah meminta tolong kepada abangku, bukan abang kandung, melainkan ialah bertutur abang sepupu jauh, bukan sepupu dekat. Kenapa bisa ia kupanggil abang? Sebab dia memanggil ayahku: pak. Ayahku lebih tua darinya. Bagaimana bisa kenal dengannya? Sebab dialah tauke karet ayah. Hampir setiap kali panen ayahku menjual getah karet hasil menderas ke dia. Namanya Juh.


"Adik kami juga ada yang di pesantren Medan. Tapi di tempatnya tadi mahal perbulannya." jelasnya ke ayahku.


"Yang murah aja, yang gratisan aja." kata ayahku.


"Ada yang gratis, panti asuhan."


"Ya tidak apa-apa." sahut ayahku. Aku mendengar obrolan mereka dari dalam kamarku, ayah dan bang Juh mengobrol di teras depan. Dua hari kemudian, ayahku ke tukang tempah kayu.


 Ayahku memesan kepada pak Jumar peti yang berukuran sedang untuk tempat baju-bajuku. Perasaan senang pun menyerangku, sudah tak sabar ingin pergi jauh, kalau bisa sejauh-jauhnya dari kampungku! Aku bosan! 


Empat hari kemudian peti itu jadi. Hari berikutnya ayah memesan tiket mobil BTN seharga 60 ribu pertiket. Adapun bang Juh, dia sudah ke Medan duluan sejak tiga hari kemarin, dia dan anak buahnya membawa karet untuk dia jual kembali di Medan.


Selepas sholat maghrib, mobil BTN datang menjemput kami di depan rumah. Aku pamit pada ibuku, adik-adik dan kakak-kakakku beserta sepupu-sepupuku yang ada di rumah. Abang-abangku kemana? Entahlah, mungkin lagi di kedai kopi, bahkan mungkin mereka tak tahu aku berangkat malam ini ke luar daerah untuk pertama kalinya dan meninggalkan kampung ini untuk jangka waktu yang lama. 


Ayah sudah mengangkat peti tempat baju-bajuku ke dalam mobil BTN. Aku menatap orang-orang yang kutinggalkan dengan setengah raut wajah sedih dan setengah gembira. Sedih aku akan merindukan kampung Alur Langsat, dan merindukan orang-orang yang aku kenal dan yang aku sayang: ibuku, adikku, kakakku, abangku, teman-temanku. Gembira sebab aku pergi ke luar daerah, nun jauh di sana, entah di mana? Yang jelas di Medan.


 Kami ke Kuta Cane terlebih dahulu, tidak langsung ke Simpang Semadam, sebab banyak penumpang yang harus dijemput mobil BTN. Jarang-jarang aku melihat keindahan Kuta Cane di malam hari, mungkin malam ini adalah yang ketiga kalinya seumur hidupku yang sudah 13 tahun. 


Pertama kalinya ikut hadir acara MTQ tingkat kabupaten di Stadion H. Syahadat, kedua kalinya juga demikian dan ketiga kalinya ya malam ini saat hendak ke Medan. 


Setelah semuanya dijemput, mobil BTN melaju cepat dan penumpang terakhir ialah di Simpang Semadam, setelah menunggu 10 menit, mobil BTN pun berangkat. Lampu kiri-kanan menghiasi dan menerangi jalan raya. 


Aku menatap ke bawah sana, nun jauh di sana aku melihat kampung seberang sungai Alas, itulah kampung Salim Pinim tempat aku SD selama 7 tahun dan SMP selama 2 bulan. Tak lama kemudian kami tiba di Lawe Pakam, perbatasan antara Aceh Tenggara dan Sumatera Utara. Para penumpang wajib semuanya turun, sebab mobil akan diperiksa oleh petugas kepolisian. Sebagian penumpang bergantian ke WC, pun aku. Setelah pemeriksaan, mobil BTN pun berangkat melewati gerbang selamat datang di Tanah Karo Sumatera Utara. Resmi sudah aku meninggalkan Kuta Cane untuk pertama kalinya di tahun 2007.




Tiba di Tiga Binanga. Sudah setengah perjalanan. Sudah 3 jam lebih kurangnya perjalanan kami menuju Medan. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru akan sampai di Medan. Semua penumpang turun dan makan di rumah makan. Aku dan ayahku juga ikut turun dan makan. 


Setengah jam kemudian, mobil BTN berangkat, melaju di atas aspal yang banyak lubangnya. Mobil BTN melaju cepat, tikungan-demi tikungan ia hadapi dengan baik, tak takut jurang kiri-kanan yang apabila terpeleset dan jatuh, maka 90 persen mati, 10 persennya adalah pertolongan Allah. 


Melewati Kaben Jahe kemudian Brastagi, pukul 5: 20 kami tiba di stasiun mobil BTN Padang Bulan. Alhamdulillah aku dan ayahku sudah tiba di Medan! Di sini masih pagi, tapi orang-orang sudah ramai sekali. Anak kampung sepertiku yang pertama kali melihat suasana ini merasa sangat senang sekali! Aku dan ayah menunggu bang Juh yang katanya ketemuan di stasiun ini, katanya ke ayahku dalam telepon ia akan datang jam 8 pagi. Kami menunggu dua jam lebih, duduk di kursi. 


Lelah menunggu, bang Juh pun datang. Aku menyalami bang Juh. Dia mengajak kami ke rumah makan untuk sarapan pagi. Setelah makan, barulah kami ke pesantren yang dituju ayahku, dan bang Juh adalah peta kami. Bang Juh sudah hafal betul seluk-beluk kota Medan. Ternyata benar, aku dibawa ayah dan bang Juh ke panti asuhan. Kami menunggu di depan, bang Juh menemui staf pengasuh.


"Sudah tutup pendaftaran, tidak lagi menerima murid baru." kata bang Juh kepada ayah setelah keluar dari dalam ruangan.


Lalu keliling lagi, bang Juh masih punya tiga sampai empat panti asuhan lagi. Dan aku masih bahagia dan berharap. Asal jangan balik ke kampung, aku siap di manapun aku ditempatkan selagi berasrama. Setibanya di panti asuhan kedua, kata yang sama diucapkan pihak pengasuh. Mereka sudah lama tutup sejak bulan Juni dulu sementara kami datang setelah lebaran di bulan september. Kemudian ke panti asuhan lainnya, panti asuhan terakhir yang kami tuju.


"Nanti satu bulan lagi datang, insyaAllah kami usahakan menerima anak bapak." kata pihak pengasuhan kepada bang Juh. Dan ayah ingin hari ini juga diterima, di mana saja asalkan gratis. Habis sudah panti asuhan yang dituju, jam sudah pukul 2 siang. Kami pun makan siang. Sambilan menikmati makan siang, bang Juh menawarkan pesantren murah, pesantren bukan panti asuhan. Dan ayahku ingin ke sana. 


Selepas makan siang kami pun ke sana, dua kali naik angkot hingga tiba di gerbang pesantren. Untuk masuk ke dalam mesti naik becak, sebab masih jauh ke dalam. Sampai di sana, ayahku dan bang Juh masuk ke dalam ruangan, menemui staf pengurus pesantren. Satu jam lebih lamanya aku menunggu di luar. Kemudian kulihat ayah dan bang Juh keluar, dari wajah mereka sepertinya tak ada harapan aku akan masuk pesantren ini.


"Kune, Wok?" tanyaku. Gima ayah?


"Nemu nine kau sendah gat mengket wakhi nde, tapi se biaya daftarne due jute setengah, go tekhmasuk uang mangan dan lemakhimu, uang bulan ne nahan 300 khibu. Malot khasene sanggup aku khut amekmu belanjai se." jelas ayah padaku. Bisa katanya kau masuk hari ini juga, tapi biaya pendaftarannya dua juta setengah, sudah termasuk makan dan lemari. Uang bulanannya nanti 300 ribu perbulan. Tak mampu rasanya ayah dan ibumu membiayainya. Habis sudah harapan, lama ayah berpikir tetap meninggalkanku di pesantren ini atau membawaku balik lagi ke desa Alur Langsat?


"Aku pot ni hande, Wok, asalken aku nde mengket pesantren." kataku pada ayahku. Aku mau di sini ayah asalkan masuk pesantren. Dan ayah memutuskan membawaku balik kampung lagi.




Sebelum pulang, masih di tanah pesantren, kami menemui seorang tuan guru ternama. Beliau terkenal dengan dzikir dan sholawatnya, keilmuannya. Banyak orang yang berkunjung ke tempat ini, setiap hari ada tamu, tidak pernah sepi. 


Air sudah tersedia untuk dibeli tamu dalam jeregen. Bila mau minta doa maka beli air dan serahkan kepada beliau dan beliau akan membacakan doa ke dalam air tersebut.


"Apa keinginanmu?" tanya tuan guru kepada bang Juh. Bang Juh pun menyebutkan kemauannya, seingatku dia ingin calon istrinya yang kedua itu dilembutkan Allah hatinya, mau menerima bang Juh. Setelah bang Juh, tibalah giliran kami.


Lihat selengkapnya