IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #70

Inginku Mondok Part 2


Sore harinya Suardi mengajak Mawardi ke luar, pergi ke kampung terdekat mencari wartel (warung telepon), dan aku pun ikut dengan mereka. Lebih dua puluh menit berjalan, kami tiba di warung telepon. Panggilan pertama pun masuk, diangkat oleh ayahku.


"Hallo Assalamualaikum, ise nde?" kata ayahku. Aku senang, aku telah lama tidak mendengar suara ayahku. Assalamualaikum, ini siapa?


"Ende aku Suadi khut David, Mame." jawab Suadi. Ini aku Suadi dan David paman.


"Edih, kune kabakh kendin? Me sehat nge kendin hano?" tanya ayahku lagi. Lah gimana kabar kalian? Sehatnya kalian di sana?


"Alhamdulillah sehat, Mame. Nemu aku mecekhok khut amekku sekijap, Me?" terang Suadi. Alhamdulillah sehat paman, bisa aku mengobrol dengan ibuku sebentar paman? Suara Suadi mulai serak, air matanya sudah hampir jatuh ke pipinya. Kudengar ayahku menyuruh adikku memanggil ibunya Suadi. Sudah lebih enam minggu di panti asuhan, baru ini pertama kalinya kami menelepon. Dua menit kemudian ibunya Suadi pun datang.


"Kune kabahkmu nakku?" tanya ibunya. Gimana kabarmu anakku?


"Sehat ma'e..." sahut Suadi. Sehat mak. Kali ini benar-benar tak dapat ia tahankan. Suadi mencurahkan semuanya, keluh kesahnya, ketidak betahannya. Suadi terisak-isak, air matanya membanjiri pipinya. Tapi ibuku dan ibu Suadi malah tertawa, apalagi ibuku. Sebab memang aku sendiri yang minta masuk pesantren, dan sekarang malah minta balik, tentu ibuku tertawa mendengarnya. Tapi ibuku keliru, dia sangka aku juga tidak betah. Setelah Suadi mencurahkan semuanya, tibalah giliranku bicara dengan ibuku.


"De kau kune, David? Me betah nge khasene hano?" tanya ibuku. Kalau kau gimana David? Betah rasanya di sana?


"Alhamdulillah betah. Aku malot kungin balik, Suadi plin." jawabku yakin. Aku betah, aku tidak mau pulang, Suadi saja. Karena memang aku ada rasa betah, meskipun kebanyakan rasa tak betahnya, tapi kupaksakan demi menahan malunya kalau sampai balik lagi ke kampung.


"De malot betah kase kusukhuh dahi mame apunmu pagi beno, gat balik kendin duene." jelas ibuku lagi. Kalau tidak betah, supaya esok kusuruh pamanmu yang jemput kalian ke situ. Supaya pulang kalian duanya.


"Maso, Mek, aku betah hande. Suadi plin dahi." kataku lagi. Tidak usah mak, aku betah di sini, jemput Suadi saja. 


Sesak dadaku menahan tangisku, meskipun air mataku tidak mengalir, tapi batinku gemuruh, dan aku ragu mengambil keputusanku sendiri. Menetap atau pulang? Setelah menelepon, kami balik ke asrama. 


Kami sempatkan membeli jajanan, dan kami makan sambil jalan. Karena memang belum pernah ada yang membawa jajanan ke dalam asrama, selain takut hilang, untuk menghindari kesedihan teman-teman yang lain, yang sudah lama sekali belum punya uang jajan, menunggu diundang ke acara-acara dan dapat sumbangan. Panti asuhan tidak memberi kami jajan, sudah cukup sekali tinggal di asrama gratis, makan gratis, sekolah gratis, dapat sabun gratis. 


Adapun jajan, isyaAllah sebulan sekali dapat undangan, meskipun tidak dapat duit, dapat makan juga sudah senang. Dan aku sudah pernah ikut undangan di acara ulang tahun anak dari seorang keluarga berada. Kami jalan kaki dari asrama ke rumah acara. Setengah jam lamanya kami pun tiba. 


Sampai di sana ikut pesta kecil keluarga dan dapat makan, tak dapat duit. Tak semua santri ikut undangan, kadang siapa yang mau dan kadang siapa yang disuruh dan dipilih Opung. Aku dan Suadi pernah ikut sekali saja.


Minggu ketujuh pun tiba. Selepas makan pagi, kami dikumpulkan ustadz Fajri di depan gedung sekolah. Beliau membagi tugas kerja. Ada yang gotong royong membersihkan asrama dan halaman sekolah, Suadi dan Unyil gotong royong. 


Ada yang menggembala, ada yang ikut bang Malik ke kebun, ada yang membabat rumput di pinggiran kolam di bawah pohon kelapa muda, Aku dan lima belas teman lainnya mengambil papan di gunung untuk ditarik ke panti asuhan. Jaraknya satu jam pulang-pergi. 


Kami yang terpilih mengangkat balok memang karena badan kami lebih besar dibanding yang lain, meskipun pekerjaan semacam kami ini adalah pekerjaan bapak-bapak mestinya, yang punya otot kuat, dan badan kekar. Kami memang kurus-kurus dan semua berat badannya tak lebih lima puluh kilogram, tetapi kuat juga mengangkat papan. Dan kami dipimpin Mawardi. Satu orang menarik satu papan yang telah dibelah oleh mesin gergaji. Dan masing-masing orang sempat tiga kali mengangkat papan. 


Banyak pun pekerjaan di panti asuhan ini, tak seberat hari ini. Aku benar-benar lelah, padahal di kampung pun aku pernah kerja berat-berat, mengangkat getah karet dari gunung kami sampai rumah. Mengangkut padi sewaktu SD dari sawah ke rumah. Tetapi sifat anak SMP memang begitu, malas bekerja. Di sinilah aku mulai merasa tak betah, pikiran pulang pun menghampiri. Tetapi tidak lama, setelah lelahku hilang, paginya di hari senin aku semangat masuk kelas, ikut senam pagi. 


Semua siswa wajib ikut senam pagi. Jam 7:30 asrama mesti sudah dikunci. Setelah pulang sekolah, zuhur berjamaah, kami boleh tidur siang, sebab kemarin kami sudah bekerja yang kuanggap agak berat itu. Aku pun tidak lagi ada pikiran dan niat pulang. Lagi-lagi aku tidak siap menanggung malunya. Dan hari ini pamanku tidak datang menjemput, padahal Suadi sangat berharap, dia sudah tidak betah sekali di panti asuhan ini. Padahal dia tidak ikut mengangkut papan dari gunung, apalagi jikalau ia ikut, sudah pasti ia menelepon lagi ke kampung hari ini. 


Namun Suadi belum putus harapan, ia terus berdoa agar pamanku datang menjemputnya dan membawanya ke loket BTN kemudian pulang ke Kuta Cane. 


Sorenya aku diajak bang Malik main bola, padahal aku tidak begitu pandai main bola, karena tak pandai itulah aku tak mau main bola. Karena dipaksa bang Malik, aku pun coba ikut. Ustadz Fajri juga mengajak Suadi. Suadi memang hobinya main bola. 


Sebenarnya tanpa diajak pun sudah pasti ia ikut. Yang paling sering mencetak gol adalah Daniel, memang dialah jagoannya. Dia lihai sekali membawa bola ke arah gawang sendirian dan mencetak gol. Yang kedua adalah bang Malik, sebelas dua belas dengan Daniel. 


Bang Malik akrab dengan semua santri, tapi tetap disegani dan dihargai. Ustadz Fajri disegani semua santri, sudah pasti ditakuti dan dihormati. Namun saat main bola, ustadz Fajri berlaku seperti teman bermain, bukan seperti guru dan murid.


 Aku tidak berani banyak mengejar bola dan merebut bola dari lawan, aku takut bibirku bentrok dengan kepala lawan, atau kena siku lawan. Sedikit saja bibirku ini kena siku, maka akan bengkak meskipun tidak berdarah, sebab lukanya baru sembuh gara-gara balapan dulu dan jatuh di Pante Dona itu. 


Aku lebih hati-hati mengambil bola, dan selama satu jam lebih bermain bola, bisa dibilang aku hanya tiga kali menyentuh bola. Sorenya kami mandi di sungai, ada yang pakai sabun, ada yang minjam sabun, ada yang tidak bawa sabun, ada yang hanya bawa badan dan handuk. Sungainya lumayan deras, dingin, di bawah pohon sawit di pinggir gunung.


 Tempatnya menurun ke bawah dari asrama. Ada yang datang langsung mandi, ada yang antre basahan, ada juga yang datang lalu balik lagi, dia hanya wuduk, dia tidak mau mandi, dialah Sonok.


Wawan, selain dia pengangon, dialah yang sering membacakan syi'ir sebelum adzan dikumandangkan, setiap shalat lima waktu. Dia pulalah yang sering duluan ke masjid, dia yang adzan dan sering juga dia imam ketika ustadz Fajri dan bang Malik tidak datang. 


Indah betul nada dan intonasinya membacakan syi'ir yang aku sama sekali tak tahu artinya, bukan bahasa arab apalagi bahasa inggris, bukan juga bahasa indonesia. Santri yang lama sudah banyak hafalan al-Qurannya. Aku sendiri pernah menyimak hafalan Wawan, lancar.


Makan malam ini lauknya ikan asin sambal dan daun ubi, nikmat dan lezat sekali. Kenapa selalu lezat dan kami lahap makan? Sebab kami tak punya cemilan lain, tentu lapar dan menanti jadwal makan. Tapi salah jika dianggap santri kelaparan, kami makan tiga kali sehari, kok! Lagipula di panti asuhan banyak sekali buah-buahan untuk dimakan. 


Buah manggis dan rambutan di depan asrama, buah salak, buah langsat, pisang, kelapa muda dan sebagainya. Ada yang boleh diambil dan ada juga yang dilarang Opung. Mawardi pernah memanjat kelapa di pinggir kolam. Aku disuruhnya memantau jika ada santri atau santriwati yang melihat. Dia memanjat dan aku jaga-jaga. Mawardi berhasil mengambil buahnya tetapi susah membelahnya sebab tidak punya pisau. Setelah makan malam, aku dan Suadi balik ke asrama, menunggu shalat isya.


 Malam hari di panti asuhan Istiqomah ini sepi sebab jauh dari kampung. Sesekali lonceng gereja terdengar jelas dari sini. Kami tidak berani pergi jauh dari asrama, sebab gelap tidak ada lampu. Dikelilingi pohon-pohon sawit, tinggi dan besar.




Pagi harinya masuk kelas. Setelah senam itu, pidato lah ustadz Fajri.


"Kudengar kabar, ada dari kalian yang ingin pulang. Kuharap tidak menceritakan yang tidak-tidak di panti ini. Ceritakan lah apa adanya, jangan ditambah-tambahi dan dikurangi. Kalian mestinya bersyukur, tidak minta pulang. Di sini sudah gratis masih saja kalian tidak betah." kata beliau. 


Entah dari siapa beliau dapat kabar bahwa Suadi mau pulang aku tidak tahu. Yang jelas nomor ayahku tidak ada di hp ustadz Fajri dan di hp ayahku tidak ada nomor ustadz Fajri, apalagi di hp pamanku. Sepertinya beliau tahu dari Mawardi, atau Mawardi cerita ke Unyil dan si Unyil cerita ke ustadz Fajri. Atau Suadi sendiri yang cerita ke ustadz Fajri? Wallahu 'alam, aku pun tidak menanyakannya pada Suadi.


Setelah jam istirahat, pelajaran terakhir, aku dan Suadi dipanggil lalu disuruh ustadz Fajri ke rumah Opung. Kami pun ke sana. Dan bukan main kagetnya aku, di sana sudah duduk pamanku di teras depan rumah Opung. Suadi segera lari mendekat dan menyalami.


"Khoh kandu, Mame, kune kabakh ndu, Me?" tanyaku. Datang paman, gimana kabar paman?


"Sehat. Dah kuge kabakh malot betah kendin hande?" beliau mulai menyelidiki. Sehat. Kudengar kabar kalian tidak betah di sini?


"Aku betah, Me, Suadi nde da nangat balik." Aku betah paman, Suadi yang ingin pulang.


"Kate ma'emu kau pe malot betah nine. Sukhuh ma'emu dakhi kau pe. De malot betah sebut kase balik kite gat wakhi nde." jelas paman. Kata mamakmu kau pun tak betah. Suruhnya jemput kau juga. Kalau tidak betah bilang biar pulang kita hari ini terus.


"Aku maso balik, Me, Suadi nde plin, aku malot kungin balik. Aku betah hande." kataku lagi menyakinkan beliau. Aku tidak usah pulang paman, Suadi aja. Aku tidak mau pulang, aku betah di sini.


"De kutoh ge kau malot pot balik, malot kungin pe bende. Dakhi kau kase pe pot aku, de sekalak hamin balik kae me kudakhi bende dauh ne." beliau pun mulai sedikit marah dan kecewa. Ternyata ibuku bilang ke paman aku juga tidak betah, jika Suadi pulang maka aku juga harus pulang, begitu terang ibuku ke paman. Dan nyatanya, paman jauh-jauh dari Padang Bulan ke Pematang Siantar kecamatan Simalungun naik motor, aku malah tidak mau pulang. Paman malah sudah mengajak seorang temannya. Lama aku berpikir untuk mengambil keputusan antara pulang dan tidak.


"Teh balik plin lah, David, payah su hande di. Malot kau gup pagi. Nyesal kau ndak balik pagi da." kata Suadi mempengaruhiku. Ayo pulang sajalah David, capek kali di sini, tak sanggup kau nanti. Nanti nyesal kau kalau tak pulang.


"Kemesi lah gekhe bakhangmu kau pe, kase balik kite segekhe. Nesal kau pagi da, pagi malot nange kingin dakhi se de sukhuh ma'emu." kata pamanku lagi di saat aku sedang merenung. Siap-lah segera, packing barangmu supaya segera kita pulang. Nanti nyesal kau esok hari, suruh mamakmu jemput aku tidak mau lagi.


Setelah kupikir-pikir lagi, dan aku pun memutuskan pulang. Meskipun rasa malu memenuhi pikiranku, aku melawan rasa malu itu. Aku ikut ucapan Suadi dan pamanku. Aku pun mengangkat peti dari dalam kamar ustadz Fajri. 


Pakaian suadi yang sudah ia ambil dan telah ia masukkan ke dalam tas ranselnya, ia keluarkan lagi dan ia masukkan ke dalam peti. Kemudian paman mengikat peti itu di atas motor bagian depan. Kami pun pamitan pada Opung dan ustadz Fajri.


"Orang tua kalian menyerahkan kepada Opung dengan baik-baik, Opung lepas pula kalian dengan baik-baik. Di mana pun kalian sekolah, jangan malas belajar." Opung menasehati. Hatiku gemuruh, air mataku hendak jatuh, langkahku rapuh, semangatku runtuh. Kami salami Opung dan ustadz Fajri. Teman-teman masih masuk kelas. 


Tidak bisa pamitan dengan teman-teman. Peti sudah diikat, paman sudah siap untuk berangkat. Sekali lagi kulihat ke sekeliling lokasi panti asuhan, kulihat tanaman mentimun yang sudah lebih empat kali aku ikut menyiram dan membersihkan rumputnya, sudah mulai berbuah, namun belum besar, masih sekecil kelingking. 


Belum sempat aku rasakan buahnya. Lagipula memang aku tidak ikut menanamnya. Nanti ketika sudah berbuah, santri boleh memetik sendiri namun tidak boleh lebih dari dua buah. Dan nanti akan dapat jatah juga dari bang Malik. Bang Malik? Kemana beliau? Aku belum pamitan. Dan beliau tidak ada di sini. Kata Opung bang Malik lagi di luar, naik kap 70-nya. Kulihat kolam ikan, dan sejauh mataku memandang yang kulihat dan kupandangi adalah lokasi panti asuhan Istiqamah. 


Entah kapan lagi aku akan kemari? Akan kukenang panti ini selamanya, susah senang selama tiga bulan lebih kurangnya sudah tinggal di sini, hanya sebentar namun amat sangat mengesankan sekali. Motor pun sudah hidup. Aku dibonceng pamanku, Suadi dengan teman paman. Kami pun pulang. 


Gedung terakhir yang dilihat oleh mataku adalah asrama. Keluar dari gerbang, aku membaca sekali lagi tulisan di pamplek: Selamat Datang di Panti Asuhan Istiqamah, dusun Marimbun kecamatan Simalungun. 


Berat aku meninggalkan panti asuhan, Opung, ustadz Fajri, teman-teman, tanaman mentimun, bang Malik, Mawardi, Unyil, Sonok, dan Wawan. Tapi saat ini aku telah di atas motor pamanku menuju pulang dan tak tahu kapan lagi berkunjung kemari? Aku masih meninggalkan tulisan namaku di atas meja dalam kelasku. Meninggalkan kenangan dan cerita, setidaknya aku pernah ada di dalam memori mereka. Suatu hari nanti, bila aku rindu semuanya, aku akan menuliskannya.


Belum terlalu jauh motor kami jalan, kami berpas-pasan dengan bang Malik, tapi beliau tidak mengenali kami. Kami semuanya memakai helm. Kulihat bang Malik memakai kaus oblong yang biasa ia kenakan dan membawa motor kap 70-nya yang tidak balap. 


Selain motornya tidak bisa balap, jalannya juga berlubang, belum ada aspal, becek sana-sini, terlihat jelas tanah warna kuning. Pamanku terlalu kencang membawa motor, tidak enak juga rasanya aku menyuruh paman berhenti dan aku memanggil bang Malik untuk pamitan. Dan bang Malik terlihat makin jauh di belakang kami dengan beda arah, kulihat punggung beliau lalu tak terlihat sama sekali. Gemuruh rasanya di dadaku duduk di belakang paman menuju pulang. 


Sayang sekali belum pamitan pada tulang punggung santri itu. Luar biasa jasanya pada kami! Aku merasa sangat bersalah sebab tak pamitan dengannya. Sampai jumpa lagi di suatu hari nanti bang Malik! Entah kapan itu, aku tidak tahu, tapi aku sangat berharap di lain waktu. Dua ribu tujuh aku pernah belajar di sana, dan kutuliskan hari ini di Darrasah Kairo, 29 Juni 2019. 




Kami sempat berhenti di tengah jalan. Paman dan temannya pun merokok sembari keduanya bercerita satu sama lain. Aku dan Suadi hanya menyaksikan kendaraan yang lalu-lalang dengan kencang di jalur lepas hambatan. Kami tak saling bicara. 


Sejak ia berhasil merayuku di depan rumah Opung tadi, aku telah membencinya bahkan membenci pamanku sendiri, pun benci pada diriku yang mudah mereka taklukkan. Pamanku sama sekali belum bicara denganku. Namun kadang pikiran untuk berasalan senang itu tiba-tiba muncul, mencoba mengajakku berdamai dengan Suadi dan pamanku, dan aku pun setuju. Toh memang nantinya aku bakal tidak mampu juga, aku bakal tidak betah, aku telah mengukur batas kemampuanku untuk bertahan di panti lebih lama. Paling juga setelah satu minggu aku ditinggal Suadi dan paman, aku akan menelepon ke kampung untuk dijemput, jadi tidak salah juga aku ikut mereka sekarang ini meninggalkan panti asuhan Istiqomah yang sudah jauh sekali di belakang sana. 


Paman dan temannya pun selesai merokok, kami melanjutkan perjalanan. Hari sudah mau magrib, jalanan macet. Paman mencoba menyelip dan ia berhasil. Hujan gerimis, kami pun berhenti dan mengenakan mantel kemudian melanjutkan perjalanan. 


Setelah magrib kami tiba di rumah paman. Kami disambut puhun, istri paman. Kami salami puhun. Lalu kami pun ganti pakaian dan mandi. Adik-adikku, Rian dan Ipul sedang nonton tv di lantai dua. Srik sedang memasak di dapur. Bahkan dia malu menunjukkan dirinya apalagi sampai bertanya: kenapa abang tak betah di sana? Padahal dia tahu hari ini ayahnya menjemput kami di Siantar, dan dia tahu kami sudah tiba di dalam rumahnya. 


Selepas mandi kami shalat. Kami tak tanya ke paman maupun puhun kemana arah kiblat. Kami lentangkan sajadah dan aku pun takbir sebagai imam. Selesai sholat, puhun pun memberitahu kemana arah kiblat, terpaksa kami ulang balik shalat kami.


 Menunggu makan malam, aku dan Suadi pergi ke luar. Berjalan di depan sekitar rumah puhun, kami melihat-lihat rumah penduduk, kami membeli snacks. Dan di samping warung itu tampaklah sebuah masjid yang tidak begitu besar.


"Gimana kalau besok kita jamaah di masjid?" ajak Suadi.


"Boleh." sahutku. Sepuluh menit pun berlalu dan kami balik ke rumah, sebab Rian memanggil kami. Sampai di rumah kulihat hidangan sudah siap, Srik masih pulang-pergi ruang tamu-dapur membawakan yang belum ada. Kami pun makan malam. Paman heran melihatku hanya mengambil nasi sedikit saja.


"Tambah tule nakanmu, kune me sitok ne hamin," kata paman. Tambah lagi nasimu, kok cuma sedikit.


"Go, Me, malot kekhi nahan." jawabku. Sudah paman, nanti tak habis.


"Sitok kin hamin kendin mangan ni hadih?" tanya paman lagi. Cuma dikit kalian makan di sana?


"Malot, Me." sahutku. Tidak paman. Aku pikir tidak perlu juga kuberitahu aku dapat jatah nasi sebanyak apa? Tentu tidak bisa disamakan dengan makan di rumah sendiri. Badanku kurus memang susah berisi seperti Suardi, bukan salah panti Asuhan. Tapi tiba-tiba paman pun bicara lagi, seakan ia tahu apa yang sedang aku bincangkan dalam hatiku.


"De Suadi nde tembun kidah ye, kau mejakhe kidah." kata beliau lagi. Tapi Suadi gemuk kulihat dia, kau kurus. Aku pun diam, tak dapat menjawab apa-apa, paman tahu betul apa yang kami alami di sana. Kami bekerja untuk kami juga. Dan itu wajar saja.

Lihat selengkapnya