Namanya, Marwa, gadis manis bermata biru, beralis lebat berwarna hitam, berhidung mancung, berparas cantik jelita dan manis, pipinya padat berisi, chubby, kalau melihatnya sedang tersenyum akan meninggalkan dua kesan:imut dan menggemaskan. Dia langsing dan cocok jadi pramugari, tinggi dan ahli merias diri. Pintar, pandai mengaji dan hafal kalam Ilahi. Teman-teman kampusnya menjulukinnya dengan sebutan, "The Queen of Awamaalia University." Bahkan sebagian teman lelaki di kampus yang mulutnya tidak digembok menamainya, "Bidadari kesiangan menantu idaman." Dia sudah berumur delapan belas tahun. Siapa saja pertama kali melihatnya, maka akan mengucek mata tiga kali kemudian memuji, "Katrina Kaif sudah muallaf?!" Atau mulutmu akan terbuka tanpa sengaja, "Ternyata Karina Kapoor pandai juga memakai jilbab!" Atau begini, “Sepertinya namanya, Hummy, dia selegram Turky!”
Awal bulan Agustus lalu adalah kali pertama ia menginjakkan kakinya di Kampus Anta Wa Maaluka Li Abiika atau disingkat dengan Awamaalia. Dulu bukan Awamaalia nama kampus yang sistm kuliahnya dari pagi sampai zuhur itu. Nama lamanya adalah Anta Maahirun atau disingkat jadi Amarun. Sudah ribuan alumni dan rata-rata alumninya bekerja di kantoran, dominanya mereka mempunyai pekerjaan yang menjamin hidup bahaga paling tidak tiga turunan seumur h. Namun, pengajaran hidup. Pendidikan selama empat tahun di kampus ternyata tidak cukup untuk membentuk karakter, akhlak, rendah hati dan sifat kedermawanan mahasiswa setelah diwisuda. Sehingga tidak sedikit alumni yang lupa pada dirinya, seperti kacang lupa pada kulitnya. Mereka sombong antar sesama, guru bahkan lupa pada kedua orang tua. Ternyata pihak kampus menyadari akan hal ini, para dosen-dosen dan pembesar kampus tidak ingin alumnusnya seperti Malin Kundang. Pihak kampus tidak ingin alumnusnya hanya memiliki ilmu yang banyak, pintar dan lihai dalam segala bidang tapi jauh dari Allah. Mereka sombong dengan yang mereka miliki, lupa bahwa semua itu adalah sebatas titipan dari Allah Subhaanahu Wataala, hanya sementara saja. Maka jadilah nama kampus itu diubah menjadi, "Anta Wa Maaluka Liabiika, kamu dan hartamu adalah milik bapakmu." Setelah nama kampus itu diubah, kini mahasiswa dan mahasiswinya terlihat seragam, sederhana dan rendah diri. Kebanyakan mahasiswanya memilih naik sepeda dan berjalan kaki ke kampus. Nama mengubah segalannya meskipun tidak semudah itu kedengarannya. Ada beberapa mahasiswi yang masih diantar ke kampus, tetapi tidak diizinkan melewati gerbang kampus, hanya sampai di depan gerbang utama saja. Salah satu dari mahasiswi yang diantar supirnya itu adalah, Marwa.
Di dalam komplek kampus Awamaalia ini hanya ada lima bangunan. Jarak masing-masing gedung adalah seratus dua puluh lima meter. Gedung Maryam, tujuh lantai untuk perempuan. Gedung Ta'allam Walaa Tuksirul Kalaam, belajarlah dan jangan banyak ngoceh, tujuh lantai untuk laki-laki. Masjid Awamaalia, dua lantai untuk laki-laki dan perempuan, lantai pertama khusus laki-laki dan lantai kedua khusus perempuan. Gedung Al-Jannatu Tahta Aqdaami Ummahaat, surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu, tiga lantai untuk para dosen dan gedung serba guna. Dan juga gedung Ta'kul Tasyrab Walaa Tahrab, kamu makan, kamu minum dan jangan kabur, dua lantai, besar dan mewah. Lantai pertama untuk laki-laki dan lantai kedua untuk perempuan. Di tengah adalah lapangan hijau yang luas dan memukau.
Pembatas lapangan antara perempuan dan laki-laki adalah bunga mawar yang tumbuh rindang setinggi lutut. Sekarang semuanya sedang mengembangkan bunganya yang berwarna merah merekah, very-very beutiful, istilah terkeren dari negeri yang moyoritasnya tidak percaya bahwa surga jauh lebih indah dibandingkan dunia yang fana. Tidak ada yang berani mendekati pembatas itu kecuali bagi mereka yang akan berwisuda nantinya. Disiplin kampus melarang keras akan hal itu. Pernah dulu seorang mahasiswi semester satu mencoba mendekatinya, niatnya hanyalah ingin memetik satu tangkai bunga mawar saja. Ketika ia telah mematahkannya, seorang petugas kebersihan melihatnya dan ia dilaporkan kepada dosen. Esoknya anak itu tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya di kampus Awamaalia. Bunga-bunga itu memang sungguh indah, tetapi karena disiplinnya yang tak dapat ditawar, ia tak ubahnya adalah bagaikan api yang membakar, memusnakan.
Hari ini hujan lebat, mentari enggan tersenyum dan bersembunyi di balik awan. Pelajaran tambahan itu mengakibatkan seluruh mahasiswa semester satu pulang di sore hari.
Waktu mahgrib hanya empat puluh menit lagi. Seorang lelaki yang memakai jas kuliah berwarna hijau itu menunggu angkot di depan gerbang kampus, lebih tepatnya di Pos Pak Satpam. Hari ini ia tidak membawa sepedanya, dipinjam temannya belanja ke pasar untuk kebutuhan sehari-hari. Jarak dari tempat ia tinggal ke kampus setengah kilo meter. Semuanya telah pergi, kampus sudah sepi. Pak Satpam pun telah menutup jendela Pos Satpamnya. Pos Satpam itu cukup besar, seperti rumah untuk ditempati tiga orang. Lelaki yang sisiran rambutnya miring ke kanan itu berdiri di samping kanan Pos Satpam dan menoleh ke jalan raya memasang kedua matanya untuk menangkap angkot yang lewat. Namun sudah lima belas menit ia berdiri, angkot belum lewat juga. Tidak sengaja ia menoleh ke kiri, tepat di bibir dinding sebelah kiri Pos Satpam itu berdiri seorang mahasiswi. Hari hampir gelap dan kelelawar akan segera beraksi.
Mahasiswi itu juga bediri dan menundukkan kepalanya ke arah buku yang ia genggam. Lelaki itu kenal sekali dengan buku yang ia pegang. Buku itu adalah, 'MamuZain' karangan Dr. Ramadhan Al-Buthi, kisah cinta yang tumbuh di bumi dan berbuah di langit. Mamu adalah nama laki-laki dan Zain adalah nama perempuan. Mamu dan Zein bertemu pada pesta tahunan musim semi, di pinggiran sungai Dajlah. Saat itu Mamu berdandan seperti perempuan dan Zein berdandan seperti laki-laki. Mereka melalukan penyamaran karena masyarakat Jazirah Buton membatasi dengan ketat pergaulan antara perempuan dan laki-laki. Sementara Mamu dan Zein ingin mencari pasangan yang bisa membuat hati mereka terpikat dan jatuh cinta. Bukan pasangan yang dijodohkan.
Dalam pertemuan nan singkat itu, Mamu jatuh pingsan. Aneh. Sosok laki-laki yang berjalan di depannya begitu memesona dan menggetarkan rasa cinta yang agung. Mamu tidak akan pernah tahu siapa laki-laki itu jika saja dia tidak melihat cincin yang melingkar di jarinya dan baru dia sadari beberapa hari kemudian! Cincin itulah yang mengantarkan Mamu pada Zein dan membuat cinta di dada mereka kian menggelora.
Masalahnya, Zein ternyata adik kandung pangeran yang menguasai Buton, sedangkan Mamu hanya juru tulis biasa. Mamu dan Zein tidak sekelas, sekalipun cinta mereka tulus. Buku ini merupakan karya pertama Dr. Moh. Said Romadhan al-Buthi di bidang penulisan. Pada saat menulis kisah ini usia beliau belum genap 14 tahun. Usia yang sangat belia untuk bisa menelurkan sebuah karya sastra.
Sering mahasiswi itu menoleh ke arah lelaki yang berdiri di sebelah kanannnya, jaraknya hanya tujuh meter. Ia berani menolehkan wajahnya ketika lelaki itu menyetel pandangannya ke jalan raya, mata lelaki itu mengintai-ngintai angkot yang lewat.
Dua puluh menit berlalu, mobil berwarna hitam dengan lampu yang menyala berhenti di depan gerbang kampus. Mahasiswi itu segera bergegas ke arah mobil membuka pintu dan masuk.
"Maaf, Non, Om telat dua puluh menit. Macet."
"Nggak papa, Om." sahutnya.
Hujan masih deras, supir itu berkali-kali menekan kelakson, mengisyaratkan agar lelaki yang sedang berdiri di sebelah kanan pos itu juga masuk ke dalam mobil. Mahasiswi itu telah menyuruh supirnya untuk menekan kelakson sebanyak lima kali. Karena lelaki itu tidak mengerti juga, akhirnya perempuan yang berparas Hummy itu menurunkan kaca mobilnya.
"Sampai kapan betah berdiri di situ? Ayo masuk! Angkot nggak akan lewat kalau hujannya belum reda."
Lelaki itu pun mendekat dan supir membukakan pintu depan sebelah kiri.
"Tinggal di mana, Nak?" tanya supir sambil memutar setir ke kanan.
"Di desa Fakkir Qabla Anta’zima, Om berpikirlah sebebelum bertindak. Lebih tepatnya di masjid Shaseedishal."
"Owh, tepat sekali, kami melewati desa itu juga."
Mobil berlari dengan kecepatan enam puluh. Sesekali ia melihat ke kaca spion. Tampak di belakangnya perempuan yang berani bertanya padanya tadi sedang membaca buku yang tadi ia pegang. Perempuan itu merasa sering dirinya dilihati lewat kaca spion, tajam betul matanya. Akhirnya ia memberanikan dirinya untuk bertanya untuk kedua kalinya.
"Kamu tinggal di masjid ya?"
"Ya, alhamdulillah"
"Oh, sudah saya duga."
"Duga bagaimana?"
"Ya biasanya orang yang mengumandangkan adzan di masjid kampus adalah orang yang dipilih oleh dosen dari mahasiswa yang memang tinggalnya di masjid."
"Gitu, ya?" kata lelaki itu menganggukkan kepalanya. Dalam hatinya berkata, "Ini orang memang tau atau sok tau sih?"
"Ya begitu, oh ya kenalkan namaku, Marwa."
"Saya..," Belum sempat ia menyebutkan namanya, dilanjutkan oleh Marwa.
"Kamu, Firman bin Furqan bin Faisal bin Fauzan, kan?"
Ia kaget seperti disengat listrik, Marwa tahu namanya, nama ayahnya, kakeknya dan sekaligus nama bapak dari engkongnya. Ia bengong sejuta bahasa, "Dari mana orang ini tahu nama lengkapku?" bisik hatinya sembari menggetarkan bibirnya. Diam-diam Marwa membaca tulisan yang tertulis di batang sepeda Firman yang diparkirkannya di dekat Pos Pak Satpam yang diberi isolasi warna putih sehingga tulisan itu transparan dan mudah dibaca siapa saja. Alasan kenapa ia menuliskan itu ialah agar orang lain segan mencuri sepeda yang mempunyai nama-nama orang beribawa di sana.
"Ya benar." jawabnya telat.
Perlahan mobil menepi ke kanan mendekati sebuah masjid di pinggir jalan. Nama masjidnya, "Shalatlah Sebelum Engkau Dishalatkan." Nama pendeknya "Jangan tinggalkan shalat atau akrab disebut Shaseedishal"
"Mampir dulu yuk, Om? Kita shalat maghrib berjama'aah. Mumpung azan baru selesai dikumandangkan. Saya tinggal di Masjid Shaseedishal ini, Om." kata Firman sebelum turun dari mobil.
Pak Supir melihat ke arah Marwa. Marwa menganggukkan kepalanya petanda ia setuju untuk mampir. Mobil itu segera diparkirkan di halaman masjid. Mereka pun turun lalu Firman dan Pak Supir menuju kamar mandi.
Setelah berwudhu, Firman masuk ke dalam masjid dan berdiri di depan sebagai imam shalat maghrib. Rakaat pertama ia membaca surah Al-Qiyaamah dari awal sampai akhir dan rakaat kedua ia membaca surah Al-Insan dari awal sampai dengan ayat delapan belas.
Marwa berdiri di bagian shaf paling depan untuk perempuan. Suara indah imam muda masjid Shaseedishal itu menggetarkan qalbunya. Tak kuasa ia menahan air matanya yang telah menetes membasahi pipinya yang chubby. Ia hafal betul ayat yang dibacakan imam muda itu. Walaupun suaranya sendiri terhitung bagus, tapi masih dikalahkan dengan suaranya sang imam.
Setelah shalat, Pak Supir pamit kepada sang imam.
"Wah, suaramu bagus sekali, Nak"
"Terima kasih, Om."
Firman mengantarkan Pak Supir ke mobil, Marwa sudah menunggu di dalam mobil. Jendela kaca mobil itu ia turunkan sampai kandas, sebab hujan sudah reda sepuluh menit lalu.
"Lain, kali kita sering-sering shalat jama'ah di sini ya, Om?," Marwa mencoba merayu supirnya.
"Aku suka shalat di sini, karena masjidnya besar dan bersih."
"Suka masjidnya atau suara imamnya nak, Marwa?"
"Dua-duanya, Om." Sahut Marwa sembari melihat ke arah Firman. Firman kaget untuk ketiga kalinya mendengar yang diucapkan Marwa, lebih-lebih ketika memutar rekaman suaranya yang di telepom genggam Marwa. Ternyata Marwa merekam suaranya Firman sebelum takbir pertama waktu shalat magrib tadi. Volume handphone itu sengaja dikeraskannya agar Firman mendengarnya. Marwa tersenyum dan tertawa kecil melihat raut muka Firman yang kaget seperti barusan dijatuhi petasan sebesar jempol kaki.
"Lain kali, kita bawa karyawan stasiun tv, Om, untuk disiarkan secara langsung dari masjid Shaseedishal ini, agar dunia tahu bahwa suara masjid ini dapat menyejukkan hati." Kali ini canda Marwa sedikit berlebihan, tetapi supirnya tetap menanggapinya dengan baik.
"Wah, bagus itu, Non. Om setuju sekali." Akhirnya Firman angkat bicara,
"Kalau sempat itu terjadi, Aku enggak tahu lagi harus bilang apa? Mungkin Aku enggak akan jadi imam lagi1?"
"Loh, kenapa?" Marwa terheran mendengarnya.
"Yaa.. karena Aku enggak mau masuk tv, Ukh."
"Ya udah deh, pokoknya nanti tetap kita datangkan karyawan stasiun tv." balas Marwa tetap mempertahankan usulnya. Firman hanya membisu. Mobil itu dinyalakan dan lambaian tangan Firman untuk Pak Supir dan Marwa setelah menjawab salam mereka.
Keesokan harinya Marwa menuliskan perintah dalam secarik kertas. Kemudian kertas itu ia serahkan pada Pak Satpam untuk diberikan kepada Firman, laki-laki kemarin sore yang menunggu angkot di pos Satpam. Pak Satpam ingat orang itu. Lalu surst itu dibaca Firman, kurang lebih begini bunyinya, “Kalau tidak mau aku datangkan karyawan stasiun tv, nanti pulangnya bareng kami lagi ya!? By: Marwa” Bergdebar hati Firman membaca paragraf singkat sekaligus ancaman mendadak itu. Karena ia tidak mau terkenal dan masuk tv, selepas kuliah ia memutuskan untuk pulang bersama Marwa daaaan supirnya. Hari-hari berikutnya, Marwa menyuruh Firman menunggu di pinggir jalan di depan masjid Shaseedishal itu, untuk berangkat bersama ke kampus. Marwa melarang Firman mengendarai sepedanya yang dituliskan nama-nama orang berwibawa itu, lagipula ia hanya sendiri saja yang diantar ke kampus. Maka dari itu ia mengajak Firman menumpang dengannya. Begitu pun ketika pulang kuliah, Marwa selalu menunggu Firman di depan gerbang, karena mahasiswi sepuluh menit lebih awal pulangnya daripada mahasiswa. Pernah suatu waktu mahasiswa pulang lebih awal daripada mahasiswi. Firman tidak ingin menunggu, ia merasa tidak enak selalu menumpang geratis dan duduk manis di dalam mobil orang lain. Sampai di rumah, ia telah mendapati telepon genggamnya panggilan tak terjawab sebanyak dua puluh kali dan satu inbox via whatsapp,
"Kalau sepedanya sudah rindu dengan kampus, pemiliknya kasih kabar dong supaya kita tahu bahwa sepeda itu memang setia kepada pemiliknya dan agar yang lain tidak cemburu dengan setianya itu. Dan yang lain tidak merasa tersakiti dan berhaaarap lebih."
Firman merasa bersalah besar pada dirinya sendiri. Ia paham betul apa yang dimaksud oleh Marwa. Yang Marwa maksud adalah setegas ini, "Kalau sudah tidak mau lagi naik mobil bersama kami, kasih tau dong supaya kami tahu bahwa kamu memang tidak mau naik mobil kami lagi. Agar kami tak merasa tersindir dan disakiti!"
Sejak kejadian itu Firman tidak bisa mengelak lagi. Secepat apapun ia pulang lebih awal, ia akan tetap menunggu Marwa di depan gerbang kampus dan selambat-lambatnya Marwa berangkat dari rumahnya, ia akan tetap menunggu di depan masjid Shaseedishal itu.
***
Suatu malam di dalam kamar masjid Shaseedishal, temannya Firman bernama Gunawan, membagi isi hatinya kepada Firman.
"Saya sedang dapat musibah, Akhii”
"Musibah apa?" sahut Firman sambil membaca buku dan duduk di atas kursi.
"Saya bingung harus bagaimana? Saya pingin cepat menikah, tapi orang tua Saya bilang Ana harus punya rumah dan menyediakan parabotannya dan harus punya gaji bulanan. Atau sabar menunggu sampai tamat kuliah maka semuanya akan disiapkan oleh orang tua Saya. Saya bingung harus gimana sekarang?"