Perkenalkan, namaku, Habib. Aku tinggal bersama ayah, ibu dan adik-adikku di Desa Buah Duku. Ya, nama desaku Buah Duku. Desaku adalah surga bagiku dan mungkin juga desamu adalah surga bagimu.
Aku resmi lulus SD Negeri Salim Pinim yang tidak terlalu jauh dari kampungku, hanya dua puluh menit dengan berjalan kaki. Tujuh tahun di SD Salim Pinim membuatku susah berpisah darinya, guru-guruku, teman-temanku, gedung dan halaman sekolah yang setiap paginya aku dan teman-temanku senam pagi sebelum masuk kelas. Wali kelasku, Pak Jamrin adalah guru yang kami cintai, beliau adalah guru terfavorit dari yang favorit.
Mungkin kalian bertanya kenapa aku tujuh tahun di SD? Ya aku tidak pernah berbohong untuk menjawab kenapa aku tujuh tahun lamanya di SD?, itu karena kemalasan dan kenakalanku dan juga karena kebodohanku. Di kelas tiga SD, aku belum bisa membaca dengan baik dan benar, sehingga ibu guruku yang bernama Inong, tidak memberikan kenaikan kelas untukku. Awal mula kejadian aku tidak naik kelas, waktu itu ibunda guru kami Inong menyuruhku maju ke depan untuk membaca tulisan yang beliau tulis di papan tulis. Seperti biasa, setiap kali aku maju ke depan aku pasti belok ke sudut ruangan di samping papan tulis lalu mengangkat kaki sebelah dan memegang kedua kuping. Ibunda guru kami Inong makin muntab padaku bahkan ingin menelanku mentah-mentah. Tapi, Kawan, begitu kelas usai, aku dan teman-teman selalu menyalami dan mencium tangan beliau, pas di giliranku selalu ada kata spesial, "Bib, jangan lupa Kau berikan suratku pada ibu, Kau!" Aku punya niat tulus memberikannya pada ibu namun selalu saja gagal, "Ini surat bahaya Bib!, ini surat pencurian, pencuri itu masuk penjara! Maukah Kau masuk penjara, Kawan?" Aku menggeleng, "Kalau begitu kita jadikan perahu kertas aja dan kita hanyutkan di parit!" Walhasil otak tupai si Endut berhasil membodohiku. Padahal belum pernah apa pun aku curi selama di sekolah. Bentar, kalau minjam pena teman dengan alasan lupa mengembalikannya apakah termasuk mencuri? Si endut itu ya, ekh!
Tetapi, apakah aku pindah sekolah? Apakah aku tidak mau sekolah karena malu dengan teman-temanku? Tidak! Justru karena tinggal kelaslah yang membuat hidupku berubah secara dratis. Aku menjadi anak yang rajin, aku mulai bisa membaca dan kecanduan membaca. Segala tulisan yang kuihat aku baca. Mulai dari buku-buku mata pelajaran, bungkus-bungkus snack, tulisan-tulisan yang tertulis di dinding-dinding rumah, toko, plat-plat motor, mobil dan lainnya, semuanya kubaca. Aku bangga pada diriku sendiri ketika aku mulai bisa membaca, ternyata dengan membaca aku tau membedakan antara baik dan buruk. Aku mencintai membaca ketika aku mulai bisa membaca. Aku tidak pernah absen sekolah kecuali karena sakit dan sebab tertentu. Membaca dan menulis mulai menjadi sahabat bagiku.
***
Hari ini kali kedua bagiku akan keluar dari kampungku. Aku sudah lulus SD, dari jauh hari, sebelum aku lulus sudah kupinta ke ayah dan ibuku untuk memasukkanku ke pesantren dan itu harus jauh, jangan di kampungku. Aku ingin seperti abang Ayang-ku yang juga masuk pesantren yang jauh dari kampungku. Pergi ke luar daerah untuk menuntut ilmu. Awalnya ibuku tidaklah setuju dengan usulanku karena aku adalah anak laki-laki paling bungsu. Awalnya aku ingin masuk ke Pesantren ialah karena aku tidak mau di desaku, aku ingin merasakan bagaimana hidup di kampung orang lain dan jauh dari ayah, ibu, abang, kakak, adik dan saudaraku lainnya. Aku ingin jadi anak yang dirindukan, kepulangannya selalu dinantikan. Padanya orang-orang mengenalnya menaruh harap agar membawa perubahan yang baik bagi kampungnya. Ya, aku ingin seperti itu.
"Bib!" Ya itu suara ibu memanggil namaku. Pangggilan yang sudah melekat dalam jiwaku. Sudah tak asing lagi di telingaku, suara beliau yang begitu akrab di hatiku.
"Ya, Ma?"
"Siap-siap, sebentar lagi mobil datang, periksa lagi barang-barangmu, jangan ada yang ketinggalan ya, Nak!"
"Ya, Ma."
Sore tadi adalah sore terakhirku bersama teman-temanku mandi di sungai, sore terakhirku di kampung halamanku, sore terakhir bersama saudara-saudaraku dan sore terakhirku bersama kakak, adik, ayah dan juga ibuku. Sore terakhir yang bersifat sementara dan aku tidak akan libur kecuali setahun sekali. Semuanya sudah beres, barang-barangku telah masuk ke dalam tasku dan peti buatan ayah yang berukuran standart, yang bisa menampung tiga puluh pakaian yang sudah dilipat. Beberpa menit setelah kata, "Sebentar lagi mobilnya datang" kata ibu, perlahan becak itu memasuki halaman rumahku. Kuperhatikan pemiliknya, wajahnya tak asing lagi di mataku. Ya beliau adalah Bambku-ku, sebutan untuk suami dari bibikku. Ternyata bukan mobil yang datang melainkan becak. Kutatap muka ibu, beliau hanya membalas dengan senyum bahagia melihat kepergianku yang bersifat sementara ini. Aku pasrah, aku hanya menurut, aku tidak menanyakan mobil lagi dan aku mengangkat peti buatan ayah itu ke depan pintu. Ingin kuraih tangan ibu untuk menyalaminya, niat perpisahan. Tapi beliau sudah mengisyaratkan agar jangan disalami dulu, tahan. Air mataku mulai sedikit meleleh, hatiku basah. Tiga adik perempuanku memandangiku penuh iba, melihat raut wajahku yang bagaikan akan pergi dan takkan kembali lagi.
"Ayo buruan, kita mau berangkat, Bib. Kau duduk di belakang Bambkhu-mu. Ayah dan Mama di dalam." kata Ibuku. Sekarang aku mulai mengerti, ternyata kedua orang tuaku juga ikut mengantarkanku ke luar daerah dengan naik becak reot ini, aku pun manut. Aku peluk adik-adik perempuanku satu persatu. Mereka menyalamiku dengan mencium tanganku.
"Abang pergi dulu ya, Bunga, Melati, Mawar?, jaga diri kalian baik-baik. Belajar yang rajin dan nurut sama ayah dan ibuk?"
"Ya, Bang." jawab mereka hampir serempak. Lalu aku naik ke atas bangku becak yang sedikit reot tapi masih kuat. Peti diikat di atas atap becak. Tas ransel kukenakan di punggungku dan sepatu merah yang masih mengkilat di kakiku, warnanya sesuai dengan kemeja merah yang kupakai. Kemeja dari abangku, karena tidak muat lagi dengan ukuran badannya sehingga itulah alasan kenapa kemaja itu melekat di badanku sekarang ini. Seragamku kali ini persis seperti pria dewasa, padahal baru gede kemarin sore sehingga meminta untuk dimasukan ke Pesantren karena merasa mampu ngurus diri sendiri, sok mandiri!
Memang, mencuci pakaian seragam sekolahku aku yang mencucinya. Ibu tidak mau mencuci pakaianku karena kenakalanku yang tak terbendung. Seragam yang seharusnya dipakai untuk dua hari, aku memakainya sehari saja dan esoknya tak bisa kugunakan lagi karena bau tengik dan penuh noda-noda kotoron tanah lapangan, bergulig-guling saat jam istirhat.
Teman-temanku memakai seragam hari senin dan selasa dengan warna putih-putih, aku memakai seragam untuk rabu-kamis yaitu putih merah, teman-temanku memakai putih merah, aku memakai kuning untuk jumat-sabtu, kuning dan cokelat, pramuka.
Perlahan becak itu bergerak pergi dari halamam rumahku. Suara becak itu hampir memecahkan gendang telingaku karena aku duduk di belakang pengemudinya dan kenelpotnya yang bolong mengeluarkan suara jedar-jeder sesukanya, tidak memikirkan rasa sakit hati orang yang mendengarnya. Aku tidak dengar lagi apa yang diobrolkan ayah dan ibuku di dalam becak ini padahal jaraknya hanya beberpa inci dariku.
Tidak lama kemudian, becak melaju di atas aspal jalan Engkran Buah Duku-Salim Pinim, kemudian ia belok ke kiri mengarah ke jembatan Pantai Dona. Ya kan? Sudah kuduga, orang tuaku pasti ikut mengantarkanku ke luar daerah dengan becak reot ini. Aku tersenyum bahagia sendiri di belakang, kupandangi suasana sore sepanjang jalan, kiri kanan rumput-rumput hijau dan pohon-pohon cinta itu mengucapkan selamat jalan padaku, perlahan hatiku berkata, "Alhamdulillah, aku ke Medan Sumatera Utara!" kataku dalam hati tanpa ragu-ragu. Kulihat ke dalam bak becak itu, dua insan yang amat kusayangi di dunia ini sedang berbincang-bincang dengan wajah yang riang. Mungkin mereka senang dengan pilihanku yang mau masuk pesantren? Jika banyak orang yang lebih memilih sekolah umum, jika orang lain mengatakan hidup di Pesantren sama halnya hidup di dunia tentara, jika orang lain berkata Pesantren itu banyak siksaan atau berupa hukuman yang kejam, kalau orang lain berkata bahwa Pesantren itu seperti hidup dalam penjara, maka hari ini aku ingin merasakan itu semua. Aku tidak pernah peduli apa kata orang, aku hanya menuruti kata hatiku dan kedua orang tuaku sangat mendukung untuk menuruti kata hatiku ini. Lihatlah, mereka sedang tersenyum-senyum memandang ke depan jalan, melihat jalan lurus yang kami tempuh.
Tidak lama, becak yang kami naiki sudah sampai di Simpang Semadam Atas, Simpang Tiga, dan becak tak kenal lelah, tak pernah berhenti karena mogok atau istirahat dan semacamnya. Becak ini begitu semangat mengantarkanku ke luar daerah, padahal jarak yang kami tempuh sudah lumayan jauh, sudah hampir satu jam perjalanan. Kuperhatikan Bambkhu, beliau begitu fokus dengan perjalanan ini dan memegang gagang setir becak itu penuh dengan rasa tangggung jawab atas keselamatan penumpangnya. Becak belok kanan dan mengarah ke jalan Medan-Kuta Cane. Tuh kan? Sudah kuduga. Aku akan jadi anak Pesantren yang tinggal di luar daerah, jauh menuntut ilmu. Becak berlari dengan kecepatan empat puluh kilo meter perjam. Sementara diriku yang kedua kalinya melewati tempat ini, aku menemukan pemandangan indah sepanjang jalan, pemandangan yang baru kedua kalinya kulihat dengan mata kepalaku. Aku lihat gedung-gedung sekolah di pinggir jalan, kupandangi ke kiri dan kanan, beberapa tulisan sempat kubaca.
Sejak tinggal kelas tiga SD itu, aku sudah mulai lancar membaca. Jadi tak heran jika pamplek di pinggir jalan itu kubaca sebagiannya. Batu Dua Ratus, Bukit Merdeka, Masjid Al-Jihad, Masjid Ar-Rahman, Lawe Loning, Lawe Sigala-Gala, Lawe Deski, Masjid Istiqamah dan Kampung Bakti. Tak lama setelahnya becak itu melambat lajunya. Kubaca pamplek bercat biru bertuliskan dengan cat warna putih,