Dulu saat masih di Indonesia, aku membayangkan dan berperasangka baik bahwa nanti kalau kuliah di Al-Azhar aku akan ditempatkan di asrama seperti dulu aku di Pesantren. Hidup berdisiplinkan santri, sholatnya berdisiplinkan santri dan makan pun tinggal antre. Tidak ada yang lain kecuali belajar dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler semiggu sekali. Aku pun bertekad kuat untuk mengikuti ujian seleksi ke Al-azhar University. Ujian seleksi gelombang pertama diadakan di berbagai pulau di Indonesia. Khusus kami yang di pulau Sumatera Utara, ujian seleksi gelombang pertama diadakan di UIN Medan Sumatera Utara[1]. Dan Alhamdulillah namaku tertera di dalam pengumuman hasil seleksi ke Timur Tengah di website diktis kemenag untuk gelombang pertama. Itu berarti aku berhak mengikuti ujian tahap selanjutnya yaitu gelombang kedua. Ujian seleksi gelombang kedua diadakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta[2]. Syukur Alhamdulillah namaku juga ada di pengumuman kelulusan hasil ujian seleksi gelombang kedua di website Ikatan Alumni Al-Azhar Internasional (IAAI)[3].
Sungguh itu adalah sebuah kesyukuran bagi kami yang diberi kesempatan untuk belajar ke Universitas Al-Azhar. Aku dan ibu menangis bahagia dan bangga, karena aku diberi kesempatan oleh Allah Subhaanahu Wata’ala untuk belajar di Al-Azhar. Ayah dan ibu meyakinkan untuk tetap istiqamah rajin belajar dan jangan. Aku sadar bahwa tidak ada yang perlu disombongkan. Bisa lulus ujian seleksi ke Al-Azhar bukanlah hanya karena kepintaran dan bukan hanya karena kesungguhan, akan tetapi bisa lulus ujian seleksi salah satunya ialah karena do’a-do’a kedua orangtua dan guru-guru serta sahabat-sahabat. Aku juga merasakan itu. Karena kebiasaanku yang selalu meminta do’a kepada kedua orang tuaku dikala ingin ujian. Kebiasaan itupun terus aku lakukan hingga sampai sekarang. Atas kehendak Allah Subhaanahu Wata’ala dan diiringi dengan do’a orang tua, guru-guru dan sahabat. Aku terbang ke Mesir dengan selamat sampai tujuan. Perjalananku melewati berbagai rintangan dan cobaan. Seperti Tiket Pesawat kami yang hangus alias gagal terbang[4], tidur di Bandara Soekarno Hatta menunggu sampai pagi untuk pemberangkatan Jakarta-Abu Dhabi, Boarding Pass-ku yang dibawa lari oleh seorang pramugara untuk mengejar penumpang yang kabur dari dalam pesawat penerbangan Abu Dhabi-Cairo, sehingga aku harus menunggunya hingga ia kembali dan setibanya di Cairo pun, kami ditahan hingga lima jam di ruang imigrasi[5].
Kutinggalkan kampung halaman, pesantren, guru-guru, sahabat, kakak, adik dan kedua orang tuaku untuk sementara waktu, kareana aku pergi untuk menuntut ilmu dan pergi untuk kembali. Kutingalkan mereka dengan linangan air mata sedih, mengingat akan lamanya tidak berjumpa dan akan saling merindukan, begitu juga denganku yang akan merindukan mereka semua. Hari demi hari kulewati dengan senyuman, minggu demi minggu kulewati dengan kebahagiaan dan bulan demi bulan yang kulewati dengan keluhan. Oh Fabaana [6]…. Mesir tidak seindah yang kubayangkan, Mesir tidak seperti yang aku mau dan Mesir luar dari dugaanku. Tingkah laku orangya yang seperti orang sedang duel di film, berbicara keras seakan membentak. Sampahnya yang berserakan dan ternyata gadis Mesir juga memakai pakaian yang ketat. Sungguh ini di luar dugaanku. Kusangka orang arab seperti gadis Mesir semuanya akan memakai jilbab yang panjang dan tebal, pakaian yang besar dan memakai cadar. Oh sungguh ternyata itu hanya pada pakaian para ibu-ibu dan sebagian gadis Mesir yang mau menutup diri. Oh ternyata di mesir juga sangat banyak sekali yang tidak memakai jilbab. Dan ternyata yang kuduga itu ialah gadisnya arab saudi. Dibalik dari semua itu, ternyata ada kelebihan yang luar biasa. Sehingga Negeri ini dijuluki degan Negeri para Nabi, Negeri para Ulama dan di Negeri ini terdapat Al-Azhar University. Yang mencetak kader-kader seorang ilmuan dan muslim sejati. Dan kini rasa kekecewaanku pun terobati, masyaAllah. Dulu kusangka aku akan tingal di asrama. Semuanya penuh dengan aturan dan bimbingan, aku hanya fokus pada mata kuliah.
Terkadang berperasangka baik tidak mendapatkan hasil yang baik, akan tetapi berperasangka yang buruk justru hasilnya akan buruk juga. Walaupun mendapatkan hasil yang sulit sedangkan sudah berperasangka yang baik, aku yakin itu adalah sebuah peroses menuju kebaikan, karena, Rasulullah sudah mengingatkan kita dalam hadist Qudsinya, bahwa Allah sesuai dengan sangkaan hambanya, jika berbaik sangka, maka begitulah yang akan kita dapatkan, demikian sebaliknya. Dan kuyakin ini adalah sebuah proses yang mengarah kepada kebaikan dan keberhasilan. Rumah kami yang letaknya tidak jauh dari kampus Al-Azhar Cairo, tepatnya lima menit dengan jalan kaki dari rumah menuju kampus, dan lebih tepatnya lagi di Jl: Muhammad Sukkari, Gedung 14 Darrosah-Hussain. Tinggal di rumah Masisir seperti rumah kami, dan umumnya bagi Masisir yang bukan tinggal di asrama adalah sebuah perjuangan dan mental yang kuat, dan bukan berarti yang tinggal di rumah tidak mendapatkan beasiswa Al-Azhar. Ada juga kakak senior yang mendapatkan beasiswa Al-Azhar, tetapi mereka lebih memilih tinggal di rumah daripada di asrama, seperti Madiinatul Bu’uts[7].
Sangat berbeda sekali denganku yang lebih memilih tinggal di asrama daripada di rumah. Walupun rumah yang megah dan mewah seperti rumah kami. Tinggal di rumah seperti ini tidak jauh bedanya dengan hidup berumah tangga, sebuah rumah tangga yang hidup harmonis walupun tidak romantis. Dan perlu diketahui bahwa mahasiswa Al-Azhar yang laki-laki sangat pandai memasak berbagai ragam masakan. Masak apa saja insyaAllah khair, walaupun terkadang rasanya hambar dan keasinan. Sebab, mau tidak mau harus tinggal di rumah dan masak sendiri. Karena beasiswa Al-Azhar diutamakan untuk yang sudah tingkat tiga saja, itu pun perlu perjuangan dan hanya yang terpilihlah yang beruntung. Walaupun ada beberapa orang yang mulai dari tingkat satu langsung masuk ke Madinatul Bu’uts. Sungguh beruntunglah bagi para gadis yang jodohnya ketemu dengan laki-laki mahasiswa Al-Azhar, karena selain berilmu, juga sangat ahli dalam bidang memasak, yang pasti sebagai istri tentu nantinya bukan hanya terusan sebagai penghidang untuk sang suami, akan tetapi ada juga saatnya sang istri sebagai penikmat masakan yang dihidangkan oleh suami.
Hari jumat adalah giliranku memasak. Sungguh malang nasib seorang yang masih membujang. Nikah belum mampu, dekat dengan lawan jenis belum halal, mau pacaran bukan mahram dan kuliah belum tamat dan akhirnya sudi tidak sudi, masak sendiri, makan sendiri dan tidur pun sendiri. Untung saja nyuci tinggal masukin ke dalam mesin cuci. Kalau tidak, waduh sakitnya tuh di hati. Yang masih membujang sabar, ya.
Hari ini adalah tanggung jawabku atas keluarga yang kecil ini, keluarga yang cukup mewah dan harmonis. Siapa saja yang giliranya masak, berarti dia jugalah yang menjadi imam rumah tangga kami, layaknya imam di sebuah rumah tangga yang benaran, yaitu memikirkan besok makan lauknya apa dan belanja apa, belanja ke pasar seperti inang-inang. Perginya membawa uang, pulangnya membawa sayuran, ikan, cabai dan bawang. Belum cukup memikirkan itu saja, ada kalanya juga gas yang habis. Maka mau tidak mau kami harus menunggu pembawa tukar tabung gas yang lewat, bahkan mendatangi ke markasnya. Karena kalau terusan menunggu, bisa jadi tidak makan nasi dan harus membeli makanan orang Mesir. Dan hal itu terjadi padaku. Gas rumah kami sudah habis sejak dua hari lalu, terpaksa aku dan kakak senior mendatangi ke markasnya, karena sudah terlalu lama menungu sejak dua hari yang lalu namun belum juga datang dan melewati jalan di depan rumah kami.
Siang itu selesai shoalat Jum’at, aku sedang rebahan di atas pulau kapukku yang empuk, tiba-tiba handphone-ku berbunyi dengan nyanyian lagunya Hamza Namiraaaa yang judulnya, Hansa. Segera saja ku ambil handphone-ku lalu kubuka, dan ternyata ada inbox yang masuk dari kakak senior.
“Zimie, Gekhe khoh bende, ende lot gas nde aku go soh ni hande, kutimai ko ni markas. Babe bende tabung gas no pake koper na.[8]” Dengan bahasa daerah kami yang sedikit mirip logat melayu dan batak. Tanpa menunggu lama, aku langsung membalas inboxnya.
“Masak gedi? Tuhu da? We aku khoh sade gat beno te![9]”. Aku segera bangkit lalu kuambil tabung gas yang kosong kemudian kumasukkan ke dalam koper. Koper miliknya kakak senior, karena kopernya mempunyai gagang yang sangat kuat. Lalu kuturunkan tabung gas itu dari rumah kami yang berada di lantai tiga, hingga aku sampai di bawah depan pintu gerbang masuk. Kututup kembali pintu gerbangnya kemudian aku bergegas pergi dengan sedikit berlari. Kutarik koper yang berisi tabung gas itu. Sementara di samping kiri-kananku semua mata terbelalak dan tertuju kepadaku, mereka tersenyum, tertawa, heran dan bertanya-tanya. Senyum melihat kelakuanku yang lugu, heran melihat perbuatanku yang ganjil, tertawa atas tingkahku yang mereka anggap konyol dan bertanya-tanya atas sikapku seperti orang hendak pulang ke negeriku Indonesia, dan bahkan dari mereka ada yang bertanya,
“Hal satusaafir ilaa balaadik?[10]” Dengan bahasa arab fushah yang digunakannya, karena dia tahu bahwa diriku ini wajah orang baru di negeri ini.
Aku mengembangkan senyum kepadanya dan menjawab “Thob’an Laa!![11]” Dia pun bingung dengan menggelengkan kepalanya. Aku tidak memperdulikan apa yang orang bilang terhadapku, aku hanya memikirkan tanggung jawabku sebagai kepala rumah tangga hari ini. Aku khawatir atas keluarga kecilku ini. Keluarga yang tidak akan bisa makan nasi lagi hari ini kalaulah aku tidak mendapatkan tabung gas itu, yang salah satunya kebutuhan rumah tangga kami. Tujuh menit kemudian aku sampai di markas tabung gas. Ternyata bena, aku sudah ditunggu oleh kakak senior sejak sepuluh menit yang lalu telah menungguku di markas. Aku mendapati betapa banyaknya orang-orang yang sudah mengantre terlebih dahulu, antrian yang sangat panjang demi mendapatkan gas. Setibanya aku di markas, mereka yang sedang mengantre mengalihkan pandangannya kepadaku, tersenyum melihat tingkahku yang mereka anggap lucu. Mereka menertawaiku. Aku juga membalas dengan tersenyum manis kepada mereka. Tiba-tiba saja aku teringat bahwa senyum itu adalah sedekah. Kemudian kujelaskan kepada mereka dengan bahasa arab semampuku, yang artinya, “Sungguh aku tidak kuat ya, Mama. Makanya aku membawa tabug ini dengan menggunakan koper.” Dengan raut wajahku yang kelelahan.