Sudah bukan hal yang langka lagi rasanya jika perut ini terasa melilit, sebab lumrahnya bisa makan tiga kali sehari sedangkan kini hanya bisa makan dua kali sehari. Sudah menjadi hal yang biasa jika setiap pagi aku mendengar perutku keroncongan karena kurang makan. Makan makanan pokok saja pun jarang, apalagi makan makanan ringan, tambah jarang bahkan hampir tidak pernah. Hal ini kulakukan sebagai cara untuk menghemat pengeluaran uang kiriman dari orang tua. Tetapi berhemat juga ada batasnya. Jangan terlalu hemat sampai memaksakan diri untuk menahan lapar dan dahaga yang dirasa. Memikirkan hari esok memang ada baiknya. Namun jika bertahan untuk hari ini saja sudah tidak sanggup, maka janganlah memaksakannya untuk bertahan dari kelaparan itu sendiri. Keselamatan diri harus diutamakan, yaitu dengan cara yang bijak dan tidak menurunkan daya tahan tubuh kita sendiri. Berbicara tentang betapa banyaknya orang di luar sana yang hanya bisa makan sekali dalam sehari, bahkan mungkin tidak makan sama sekali, kemudian membandingkan dengan diri sendiri, itu adalah pemikiran yang salah! Mereka tidak menahan lapar dan tidak makan seharian bukan karena mereka sengaja, namun melainkan karena mereka benar-benar tidak memiliki uang dan tidak ada apa pun yang bisa dimakan. Kita memiliki uang yang bisa digunakan untuk membeli makanan serta masih ada sesuatu untuk dimakan, kenapa tidak? Jika kita berfikir tentang berhemat untuk membelanjakan duit karena khawatir tidak ada apa pun untuk hari esok, itu salah!
Karena jikalau untuk hari ini saja kita sangat membutuhkannya dan harus membelanjakannya maka hal itu harus terpenuhi. Haruslah kita disini bijak mempertimbangkan mana yang perlu dan mana yang lebih perlu, mana yang penting dan mana yang lebih penting, dan mana yang mendesak dan mana yang lebih mendesak. Hal itu sangat penting untuk kita pahami ketika kita jauh dari orang tua.
KUSYARI, begitulah tulisan dan bacaannya. Istilah yang tak asing lagi untuk Mahasiswa asal Indonesia di Mesir atau familiar dengan nama Masisir, mereka sudah tak heran lagi ketika kata itu terdengar oleh mereka, “Kusyari”. Ada apa dengan Kusyari? Kenapa harus Kusyari? Ya itulah yang muncul pertama kali di benakku untuk menuliskanya. Tujuh bulan yang lalu, aku telah terbiasa dan terlatih untuk tidak makan tiga kali sehari, melainkan hanya dua kali sehari. Aku mulai terbiasa dengan hal itu ketika jauh dari orang tua yang telah melahirkan dan merawatku. Maklum, santri itu anti cemen. Kejadian ini bermula ketika aku berada di Medan Sumatera Utara (Sumut) ketika itu aku tak sendiri, aku bersama teman satu pengabdian mengikuti ujian seleksi calon mahasiswa Universitas ternama di Timur Tengah, yaitu Universitas Al-Azhar yang namanya telah menggema di seluruh penjuru dunia. Rencana untuk melakukan perjalanan ini sudah tersusun dengan matang, baik jasmani, rohani maupun materi. Tapi kali ini materi yang sakit, aku juga tak tahu entah apa sakitnya sehingga tak ada sepeserpun yang hadir dalam dompet usang nan sempit ini. Teman pengabdian ku sebenarnya asli Jakarta yang nyantri di salah satu Pondok Modern yang terkenal dan terkemuka di Nusantara, tepatnya berada di Pulau Jawa. Enam tahun nyantri di Pulau Jawa kemudian mengabdikan diri di Pulau Sumatera wilayah Sumatera Utara tepatnya di Aceh Tenggara yang berprovinsikan Aceh merupakan satu hal yang belum pernah terbayang sama sekali di benaknya. Karena memang begitulah system pembelajaran yang ada di Pondok Modern yang mewajibkan bagi alumninya untuk mengabdikan diri di Pondok cabang maupun Pondok alumni, tidak langsung begitu saja menerima Ijazah dan bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Kebijaksanaannya dalam mengatur waktu makan menandakan ia adalah orang yang hemat dalam membelanjakan uang sakunya dan belajar hidup sederhana. Aku lebih memahami tentang dirinya, karena kami begitu dekat ketika masa pengabdian di salah satu Pondok Pesantren di Aceh Tenggara. Kami sering pergi ke luar kota bersama ketika hari libur. Ia yang lebih sering mengajakku dengan seluruh akomodasi ditanggungnya sendiri. Termasuk ketika makan Mie Aceh di Kampung Karo pun ia yang rela membayar pesanan kami berdua.
Kedermawanannya menandakan bahwa ia termasuk orang yang berada. Tapi hari ini sangat berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ketika hari ini kami sebagai musafir yang berada di daerah rantau. “Haryo, nanti kalau ente bangun duluan, bangunin ana ya.”, Pesaku padanya dengan logat bicara khas Kota Cane yang kental, tak jauh beda dengan logat bicara orang Batak. Pernah juga dikatakan bahwa nada bicaraku mirip logat bicara orang Jerman, Aku kaget ketika mendengar hal yang disampaikan Guru Kursus Bahasa Jepangku saat itu. Beliau menanyakan padaku,….
”Fadhdli, ungkapan rasa terimakasih dengan bahasa asli Aceh Tenggara bagaimana?” Tanya beliau kepadaku sebagai muridnya.
“Mekhijin…” jawabku dengan sedikit menjelaskan kepada beliau bahwa yang kuucapkan tadi artinya terimakasih.
“Kok kedengaran seperti bahasa Jerman ya?!” Sahut beliau dengan ekspresi yang serius beliau katakan kepadaku. Aku tak kuasa menahan tawa yang sudah berada di ujung mulutku dan berhasil aku tahan karena pandangan mata beliau yang penuh tanda tanya. Rasa bangga pun muncul tiba-tiba dalam benakku, karena baru kali ini aku mendengar bahasa asli daerahku dikatakan mirip dengan Bahasa Jerman. Beliau tidak memuji, tetapi beliau memang benar-benar bahwa hal itu memang serius dan jujur beliau katakan. Hal itu terlihat jelas dari mimic wajah beliau yang polos serta tanpa ada tawa mengejek di bibirnya. Mungkin hal itu terjadi karena beliau sering mendengar obrolan orang Jerman, sehingga bahasa daerahku yang memang belum pernah beliau dengar sebelumnya dikaitkan dengan bahasa luar negeri. Aku pun sedikit gembira mendengarnya, lalu "Doumo arigatou gozaimasu, Sensei." ucapku bahagia. (Terima kasih banyak Guru). Kukatakan dalam bahasa Jepang, karena kelas kami pada saat itu adalah kelas kursus bahasa Jepang. Kelas kami yang dikenal dengan sebutan Markas atau juga Japanese Language Center Sakura-Egypt (Jlc Sakura-Egypt).
“Iya, Ente tidur duluan aja, jangan lupa shalat subuh dulu, Fadh. Nanti jam dua belas siang kita makan di luar ya.” jawabnya dengan suara pelan yang mengisyaratkan kepadaku bahwa ada yang sedang beristirahat di dalam kamar itu, dan juga menandakan bahwa ia juga merasa sangat lelah, begitupun yang aku rasakan. Sebelumnya tak pernah jadwal makan kami berubah. Subuh ini ada perubahan makan dari hari sebelumnya. Ia telah memutuskan bahwa makan tepat pukul dua belas siang nanti. Ketika aku bertanya alasan merubah jadwal makan kita pagi itu ia tidak menjawab, dan ternyata ia sudah tertidur duluan, “Asem juga nih orang, tadinya aku berpesan agar ia yang membangunkanku nanti, tapi malah dirinya yang tertidur pulas duluan.” kataku dengan suara berbisik seperti desisan angin di pagi itu. Sangking lelah yang kita rasakan, tidur hanya beralaskan tilam tipis dan udara dingin tak menghalangi rasa kantuk yang telah menyergap diri kita masing-masing.Tak berselang lama kami telah berada di antara hidup dan mati, bertemu dengan mimpinya masing-masing.
Jarak tempuh yang cukup jauh antara Kota Cane Aceh Tenggara dengan Medan Sumatera Utara, dengan hitungan kira-kira dan bisa lebih dari enam jam perjalanan jika menggunakan mobil Bintang Tani Jaya (BTN). Berangkat pukul sebelas malam, dan sampai di tempat tujuan pukul lima pagi. Kami memilih menginap di Pesantren Modern yang juga salah satu Pesantren terbesar sekaligus ternama di Medan Sumatera Utara. Pesantren ini sudah kami anggap seperti Pesantren tempat kami menimba ilmu. Karena hubungan antar direktur Pesantren ini dengan Pesantrenku di Kota Cane begitu erat. Gedung Indonesia lantai dua, salah satu ruangan gabungan antara guru senior dan guru pengabdian. Penggabungan seperti itu menandakan tidak adanya perbedaan antara guru senior dan junior, senioritas ataupun prioritas. Walaupun kami sebagai guru pengabdian, adab bertamu haruslah tetap kami jaga. Sempat juga pernah merasa jengkel oleh perlakuan Pak Satpam penjaga gerbang masuk, mungkin karena belum kenal siapa kami dan apa kepentingan kami. Kami sedang asyik-asyiknya membaca materi ujian untuk esok hari, kami duduk di gubuk layaknya santri yang sedang belajar. Sebenarnya kami juga salah, kami belajar di gubuk khusus untuk tamu, walaupun kami juga tamu, tapi Pak Satpam itu tidak tahu bahwa kami adalah tamunya juga. Kami dikira santri kelas lima Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiah (KMI). Kami diusir oleh Pak Satpam, disuruh pindah belajar ditempat lain, “Jangan belajar di gubuk khusus tamu!”, cegah Pak Satpam. Meskipun seperti itu, kami bisa memakluminya, sebab kami memang baru datang dan Pak Satpam itu belum mengenal kami. Kami segera bergeser dari tempat itu meskipun kami sedang asyik membaca materi untuk ujian hari esok.
Hal itu masih terus berlanjut, pernah juga hal yang hampir sama terjadi ketika kami bertemu dengan Bu Satpam yang lebih menjengkelkan. Setiap kali kami keluar atau masuk pondok selalu ditanya ada kepentingan apa kami keluar, dan juga kami selalu dipersilahkan untuk mengisi buku tamu terlebih dahulu. Pada suatu waktu, salah satu dari Bu Satpam itu bertanya kepada kami, “Kalian dari mana dik? Ada perlu apa datang kemari?” tanya Bu Satpam itu. Temanku Haryo yang menjawab,”Kami Guru pengabdian dari Aceh Tenggara Bu, kami mau menginap di Gedung Indonesia. Kami kesini dengam tujuan untuk ikut ujian seleksi calon mahasiswa ke Mesir esok hari.” Mendengar penjelasan Haryo tersebut, Bu Satpam jadi salah tingkah dan kentara ada penyesalan di wajahnya, menyesal atas sikapnya kepada kami beberapa waktu lalu. Segera saja ia mempersilahkan kami masuk. Selama kurang lebih empat hari kami bermalam disitu, sering keluar-masuk pondok, akhirnya Bu Satpam itu hafal dan mengenali kami.
"Yo... Haryo, bangun cuy." Keempat kalinya kutarik-tarik tanganya. Akhirnya bangun juga. Jam menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh lima menit. Ia bangkit lalu bergas untuk mandi. Aku sudah mandi duluan lima menit lalu.
“ Ayo, fadhli, kita segera makan di luar.”. Katanya dengan penuh semangat dan mata berbinar. Tanpa ada sepetah kata pun yang keluar dari mulutku. Aku segera bangkit berdiri dan keluar melewati pintu gerbang pondok putri. Alasannya karena jika lewat pintu gerbang pondok putra kita harus jalan keliling dahulu dengan jarak yang lebih panjang, tak ada rute lain kecuali harus berjalan memutar. Karena itu kami memilih berjalan melewati pintu gerbang pondok putri karena lebih dekat dengan jajaran warung yang menjajakan berbagai macam menu masakan yang membuat perut selalu meronta-ronta minta segera diisi. Kini ketika kami melewati depan pos satpam tak lagi diinterogasi oleh Bu Satpam seperti kejadian kemarin, malah kami mendapat senyum tulus yang tersungging di bibir beliau. Ketika sampai di luar, Haryo bercerita padaku,
“Sebelumnya ana pernah datang kemari sendiri, saat mengantarkan berkas seminggu yang lalu. Ana makan sekali hanya dua kali, ana ndak makan pagi. Ana makan siang jam dua belas tepat sebelum shalat dzuhur, dan makan malam jam tujuh. Hemat duit, Dli” katanya dengan polos.
“Oke cuy, ana setuju!” kataku dengan penuh semangat tanda aku sependapat dengan Haryo karena menurutku ia sangat bijaksana. Dan kekagumanku semakin bertambah ketika tahu caranya mengatur waktu makan, hal itu menurutku patut dicontoh untuk melatih diri menahan lapar dan dahaga. Jujur, memang tidak terasa lapar jika tidak makan pagi dan menahannya hingga siang hari. Hitung-hitung sebagai latihan untuk puasa bulan Ramadhan nanti.
Sejak saat itu aku belajar hidup sederhana ketika di rantau orang. Mulai hari itu aku sudah tahu persis apa yang nantinya harus aku lakukan ketika memulai perjalanan yang lebih panjang lagi, perjalanan panjang yang mengharuskan aku jauh dari orang tuaku. Aku harus meminimalisir pengeluaran uang agar ketika uang sakuku menipis aku sudah tidak kaget lagi dengan keadaan tersebut. Entah kenapa tiba-tiba fikiranku melayang jauh, menembus cakrawala dan melintasi dimensi waktu. Aku merasa berada di negeri impianku, Mesir.
“Kalaulah nanti di Mesir aku tak mempunyai uang lebih, maka sudah kuputuskan satu cara yang ampuh, yaitu mengurangi jatah makan. Kalaulah dengan hal itu uangku masih enggan hadir dalam dompet usangku, maka aku akan bekerja disana.” kataku dengan yakin dan tekad yang bulat, saat itu aku tidak sadar masih berada dalam warung Mie Aceh sembari menunggu terhidangnya pesanan yang telah kami pesan sepuluh menit lalu.
Sungguh hatiku tak tega jika harus bergantung pada kiriman uang dari orang tuaku. Di waktu aku masih di Pesantren uang bulanan dari orang tuaku tak pernah absen tiap bulannya.Tetapi keadaan perekonomian orang tuaku sangat pas-pasan, untuk belanja kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adik-adikku saja pun hampir tidak cukup, kok teganya aku sebagai anak lelaki keluarga ini menambah beban orang tuaku dengan meminta biaya hidup ketika di luar negeri. Kok seenak udelku saja berkeinginan untuk kuliah di luar negeri, tanpa memikirkan betapa susahnya orang tuaku mendapatkan sepeser demi sepeser uang untuk membiayai anak-anaknya, tanpa memikirkan adik-adikku juga harus bersekolah dan itupun butuh biaya yang tidak sedikit.
Akan tetapi, aku tak rela mengubur begitu saja mimpi yang telah lama ingin aku gapai. Aku mencoba meyakinkan kedua orang tuaku bahwa aku mampu dan pasti bisa kuliah di luar negeri dengan mendapatkan beasiswa. Karena kegigihanku, saat itu keyakinan ayah dan ibuku mulai tumbuh dan mendoakan anak lelakinya agar segera dapat meraih cita-citanya. Walaupun sempat ibuku sedikit ragu dan melarangku untuk bermimpi kuliah di luar negeri karena alasan materil yang tidak mendukung. Beliau merasa tak mampu jika harus mengirimkan uang saku padaku setiap bulannya, seperti dulu ketika aku masih di Pesantren. Aku meyakinkan keduanya tentang keputusanku untuk menggapai cita-citaku yang satu ini tanpa merepotkan keduanya. Aku sangat yakin bahwa di Mesir nantinya ada tempat untukku mendapatkan beasiswa tanpa harus meminta kiriman uang dari orang tuaku lagi. Masalah biaya hidup, aku akan mencari kerja di sana nantinya. Dengan tangan yang kukepalkan di depan dada dan mengucap basmalah aku memulai langkahku untuk mewujudkan cita-citaku.
***
"Fadhli, buet! Jak akhi luhukh nggo nde, ndak ko me Markas Darul Lughoh wakhi nde kin?" Suara salah satu kakak senior membangunkanku. (Fadhli, bangun! Bentar lagi mau dzuhur ini, kamu nggak ke Markas Bahasa hari ini?" tanpa berkomentar sedikitpun, aku langsung bangkit dari kasurku sembari mengambil handphone yang terletak di meja sebelah kasurku. Kulihat jam di layar telah menunjukkan pukul sebelas tiga puluh siang. Hari ini hari ahad, pastinya bukan hari libur alias hari efektif masuk kelas. Berbeda sekali dengan yang diberlakukan di Tanah Airku yang waktu liburnya hari minggu. Hari Jum'at adalah hari besar dalam islam, ibunya dari hari-hari yang lain dan termasuk hari raya kaum muslimin. Kita memandang dari segi runtinitas, yang mana hari jum'at ialah hari dimana sholat jum'at dilaksankan, sedangkan hari minggu ialah harinya para non muslim untuk melakukan ibadah. Kenapa malah hari jumat kita disibukkan dengan urusan-urusan duniawi, kenapa tidak di hari minggu misalkan, kenapa tidak hari kamis ataupun hari-hari yang lainnya.
Musim dingin di negeri yang berpasir ini masih belum stabil, terkadang panas dan dingin, kalau dingin sangat dingin, bahkan terkadang juga gerimis. Walaupun bumi Kinanah ini merupakan salah satu negeri yang sangat jarang sekali bisa dijumpai rintik air hujan. Aku juga tak tahu apa penyebabnya, tiba-tiba bumi Kinanah ini diguyur gerimis meskipun sebentar. Meskipun hanya sebentar air hujan itu telah membahasahi bangunan yang mayoritas berbentuk kubus di sekelilingku, padahal seharusnya gerimis tak mampir di sini karena baru bulan kemarin turun hujan sedikit lebat yang menandakan pergantian panas ke musim dingin. Hal itulah yang membuat langkah kakiku terhenti sebentar, rasa malas pergi ke Markas Bahasa mulai menghampiriku. Karena melihat cuaca yang tak menentu dan cepat sekali berubah, panas berubah jadi dingin, atau panas tapi tiba-tiba gerimis, suasana yang sangat tepat sekali untuk merebahkan badan dan memejamkan mata diatas kasur yang empuk. Bisa jadi alasan yang tepat untuk tidak pergi ke Markas bahasa. Namun aku segera melangkahkan kakiku ke kamar mandi di pojok ruangan, mengambil air wudhu dan kemudian shalat zuhur di sebelah kasurku. Aku tidak mau kalah dengan rayuan setan yang terkutuk, aku tidak mau pelajaranku berlalu begitu saja karena ketidak hadiranku. Durhaka rasanya diriku kepada kedua orang tuaku jika aku tak hadir di Markas Bahasa hari ini. Sedangkan orang tuaku di belahan bumi yang lain telah mengorbankan waktu dan tenaga yang begitu banyak untuk membiayai kehidupanku. Tidaklah layak diriku disebut sebagai penuntut ilmu, jikalau tak hadir ke Markas hari ini hanya karena alasan malas keluar rumah, sedangkan Dosenku tak pernah datang terlambat bahkan bisa dibilang tak pernah absen di setiap pertemuan. Di penghujung shalat zuhurku kali ini aku bermunajat kepada_Nya."Rabbanaa Aatinaa Fiddunyaa Hasanah wafil A-akhiroti hasanah waqinaa 'adzaabannaar". Diakhir do'aku, lalu kututup dengan membaca,