IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #16

Rindu Masakan Ibu

Sayup suara azan sudah mulai terdengar di seantero Kairo dan sekitarnya, menandakan shalat akan segera didirikan. Kendaraan lalu-lalang silih berganti melewati jalan depan bangunan-bangunan kelabu tua yang dipenuhi dengan debu-debu. Debu-debu itu bak pasir yang bersinar di gurun sahara, disinari dengan pantulan mentari yang hendak ditelan bumi. Burung-burung merpati berterbangan di angkasa bagaikan layang-layangan di kala musim semi. Mobil-mobil pun begitu teratur bagaikan anak catur, menelusuri jalanan yang senja sedikit gelap karena mentari hendak menyembunyikan senyum hangatnya. Ada juga yang parkir tersusun rapat seperti barisan perang yang siap menyerang. Lampu-lampu jalanan kini sudah mulai bersinar, ikut unjuk andil menerangi buni Para Nabi. Karena ia cemburu dengan lampu kendaraan yang begitu terang mengeluarkan sihirnya. Pohon Kurma pun ikut bertasbih, mengagungkan Asma Allah Swt.

Jus buah mangga yang dikeluarkan dari kulkas, memancing tenggorokan kering menahan dahaga, kini sudah habis dan meninggalkan bekas manisnya. Nasi uduk buatan anak Jawa Timur yang jarang hadir di hidangan bahkan susah didapatkan, terbungkus di dalam plastic yang cantik dan menarik, kini hanya tersisa sedikit butiran-butiran kecil diatas lantai rumah di bumi piramida. Pohon yang mustahil berbuah di ranah Nusantara itu, yang rasa buahnya manis melibihi gula, bentuknya lonjong dan besarnya seperti buah sawit, sebelumnya exist mengembangkan senyum dan menyapa aduhai di depan mata, kini hanya tersisa biji-bijinya yang keras dan mematahkan gigi untuk memecahkannya.

 Setelah menyantap habis menu utama yang tersaji sore ini, mereka tampak teler dengan mata sayup liyer-liyer, perut membuncit, dan punggung bersandar ke tembok. Pemandangan yang sangat kontras dengan suasana beberapa menit sebelumnya, ketika mata masih waspada, mulut komat-komit membaca ayat suci al-Quran, kerongkongan kering menahan dahaga, dan perut melilit menahan lapar. Kini sudah merasakan betapa nikmatnya sebuah hidangan.

Hari raya Idhul Adha sudah tak lama lagi akan tiba, hanya menunggu beberapa minggu saja. Hewan Qurban sudah banyak yang hadir dan disatukan di dalam kandang yang agak besar. Mulai dari unta, lembu atau sapi dan biri-biri. Mungkin suasana seperti ini banyak macam ragam yang kita lihat menjelang hari raya qurban ini adalah hal yang biasa di nusantara. Seperti lembu, sapi dan biri-biri, di nusantara juga banyak. Tetapi yang namanya unta hanya ada di negeri arab, termasuk Mesir. Walaupun ada unta di indonesia, bukan untuk dikurbankan melainkan untuk dipelihara dan ditempatkan di kebun binatang. Pemandanngan semacam ini hanya ada di negeri yang memelihara unta, menyembelih unta untuk dikurbankan. Biasanya, di Indonesia pada umumnya, di daerahku khususnya, untuk makan daging itu mungkin hanya setahun dua kali saja yaitu pada hari raya idhul fitri dan hari raya idhul adha. Adapun orang elit di Nusantara, mungkin makan dagingnya lebih dari dua kali dalam setahun dan tentunya lebih sering dari orang menengah pada umunya. Mereka ini mungkin terhitung dalam kategori khusus bin khusus. 

Sejak aku mulai bisa merasakan enaknya masakan ibu, yaitu adalah sup dikala hari raya idul fitri tiba, aku juga memakan sumsum yang ada di dalam tulang–belulang yang ikut berenang di dalam kuah sop bikinan ibu. Bukan hanya ibu saja yang memasak sup daging di waktu-waktu tertentu ini, melainkan semua rumah di desaku pasti mamasak sup, karena masing-masing kepala rumah tangga mendapatkan satu tumpuk daging. Di dalam tumpukan itu ada beberepa tulang yang dibagikan oleh pembagi. Dibagi dengan rata dan seadil-adilnya. Sangat berbeda dengan yang aku lihat di negeri Piramida ini, orang Mesir tidak mau memanfaatkan nikmatnya sup tulang-belulang yang mereka buang. Bukan tidak mau, mungkin mereka tidak tahu bagaimana membuat sup yang enak seperti yang dimasak oleh ibuku. Tulang unta, tulang sapi dan tulang biri-biri yang gede-gede dan di tulang itu masih ada daging yang nempel, mereka buang begitu saja. Mereka campakkan ke tong sampah, dimakan dan dijilati oleh kucing-kucing pemakan daging.

Seperti yang kita ketahui, orang arab itu adalah sangat kuat sekali makan daging. Mungkin tanpa daging, mereka tidak pernah kenyang dalam makan. Satu ekor ayam astronot yang warna merah, bisa mereka habiskan sendiri dalam waktu sekali makan. Sekali lagi, mereka tidak mau makan sumsum yang ada di dalam tulang, mereka membuang tulangnya. Tulang unta saja mereka buang, apalagi tulang ayam? Apalah arti seekor tulang ayam?

Lihat selengkapnya