Lihatlah dia, badannya bau, rambutnya gondrong dan beluwek. Sudah ratusan hari tak disisir. Bajunya bagaikan orang habis menyurup ke dalam lumpur, kotor berwarna hitam dan compang-camping. Telah lama sekali air tidak menyentuh tubuhnya, jangankan menyuruhnya mandi, kamar mandi pun ia tak punya. Semenjak ia berpenampilan begitu ia tak pernah lagi tahu bahwa air juga dapat digunakan untuk mandi. Dia tahu bahwa air hanya satu manfaat baginya yaitu untuk menghilangkan dahaga saja.
Setiap aku melangkauinya, ia selalu bersuara, tapi orang-orang tidak pernah mau mendengar suaranya. Ia sendirian, kesepian, terlantar dan dibiarkan. Jangankan menyuruhnya pulang, ia sudah lama tidak tahu alamatnya. Ah jangankan alamat, dirinya saja ia lupakan. Dia tidak tahu siapa dirinya saat ini. Sesekali ia berteriak, menanyakan siapa dirinya sebenarnya? Menanyakan siapa saudaranya? Menanyakan dirinya sendiri sedang berada di negeri apa? Siapa penguasanya? Apakah ia waras? Aku tak tahu. Ia menatap ke jalan jalur dua itu. Kendaraan lalu-lalang, ribuan mata bergantian melihatnya. Dia disantun? Tidak! Syukur ada yang mau menatapnya lama lalu memberinya sepotong roti. Badannya kurus seakan hanya ada tulang, dagingnya? Dimakan cacing perutnya. Hanya tinggal menunggu malaikat maut saja. Setelah kau membaca eksplanasiku ini, kau dapat menyimpulkan mungkin dia adalah manusia yang telah hilang akal sehatnya, orang gila. Sejak kapan ada orang yang mau ngurusin orang gila? Apakah ia tidak punya saudara? Dia punya, tapi sejak ia begitu, semua orang yang mengenalnya melupakannya, tidak mengakuinya. Mungkin orang-orang gila memang pantas dibiarkan begitu saja. Membengkalaikannya mandiri, dapat makan atau tidak, hidup atau mati, bukan urusan orang-orang yang masih punya akal. Barangkali hanya orang yang punya hati nuranilah yang mau unjuk rasa untuk mengasihinya. Aku? Sama sepertimu, Kawan, hanya melihat dan banyak omong saja! Tidak mampu mengurusnya. Baiklah, kali ini aku pribadi tidak ingin memaksakan diri dan memaksamu untuk simpati. Tapi…
Lihatlah dia, seorang ibu tua, kata nenek sangat layak untuk julukannya. Badannya kurus, kulitnya sudah mulai gelegata, tapi tenaganya masih kuat, namun tak dapat berbuat banyak. Saban hari aku melihatnya. Dia membawa tabung gas dengan alat roda yang muatannya satu tabung gas saja. Ya dia jugalah penjual tukar tabung gas keliling seberat 25 kg itu. Ketika tabung gas di rumah kami habis, aku mendengar suara pukulan tabung gas lewat. Kupanggil, beliau melihat-lihat ke sekeliling, mata dan telinganya mencoba menemukan asal suara. Panggilan ketiga barulah nenek itu menangkap suaraku dari lantai tujuh. Ketika kulihat wajahnya, aku membatalkannya, tidak jadi aku beli karena tak mungkin nenek itu kusuruh membawanya naik ke lantai tujuh dengan menaiki seratus tiga belas anak tangga, extrim sekali! Haruskah aku menjemputnya ke bawah? Aku sendiri memilih membayar orang daripada harus mengangkat tabung seberat 25 kg itu naik ke laintai tujuh. Andaikan kupaksakan, tulangku bisa patah, jantungku berdetak kencang tak menentu, nafasku tersendat-sendat seakan habis meraton seribu meter. Lalu segera kukatakan pada beliau bahwa aku tidak jadi beli. Kulihat beliau sedikit kecewa. Berawai padaku yang masih muda, tapi tak punya tenaga! Sambil berlalu beliau memukul tabung gas itu lebih keras.
"Duh, maafkan aku Nek!" suara hatiku.
Nenek itu masih kenal dengan mata uang negaranya. Matanya masih menyala, pikirannya masih sehat dan staminanya masih kuat. Setiap aku melihatnya, aku sering bertanya pada diriku sendiri, dalam hatiku tentunya, kemana saudara nenek-nenek ini? Tidak adakah anak atau cucunya yang bisa menemaninya menarik tabung gas itu? Apakah ia senasib dengan orang gila yang kusebutkan tadi? Hal ini pun masih dapat kuterima alasannya bahwa nenek itu memilih jalan hidupnya sendiri. Tapi katanya negeri ini adalah negeri wisata yang punya pemasukan uang yang banyak, apakah jumlah nenek seperti yang aku lihat itu lebih banyak dari para pelancong yang keluar-masuk ke dalam negeri ini? Sehingga negeri ini tak mampu lagi memberinya santunan walau hanya satu permen? Adakah koruptor di negeri ini? Kalau ada, mungkin para koruptor telah melahap bagiannya, nenek itu tinggal membuang sampah permennya ke tong sampah sedangkan isinya ia tidak pernah merasakan rasanya seperti apa? Apakah sekejam itu koruptor di negeri ini? Lantas bagaimana dengan negeriku Indonesia? Lebih kejam lagi koruptornya! Lalu…
Lihatlah dia, seorang kakek pembuang sampah. Satu minggu sekali ia datang ke rumah kami di lantai tujuh untuk mengambil sampah yang sudah kami letakkan di depan pintu untuk dibuang ke tong sampah yang cukup jauh di sana. Bukan rumah kami saja, puluhan rumah mahasiswa lainnya juga ia datangi. Meskipun kami membayarnya tapi melihat dari usia dan tenaganya sudah tak layak lagi ia yang menghidupi dirinya sendiri. Mestinya di saat seperti inilah anaknya yang menolongnya. Atau mungkin istrinya masih hidup? Wah kakek itu benar-benar lelaki yang tanggung jawab! Kulihat bungkuk-bungkuk ia memikul pelastik sampah yang beratnya hampir sepuluh kilo gram. Sampai di lantai bawah kudengar batuknya dari lantai tujuh, barulah aku menutup pintu. Kalau aku tidak kasihan, sudah lama aku menyuruh orang lain untuk kami bayar membuang sampah rumah kami, namun bukankah itu adalah usaha satu-satunya yang ia mampu? Yang ia tahu? Yang ia miliki? Hum, begitulah hidup. Kemudian lihatlah dia…