Pagi, pagi sekali, sekarang masih jam empat lewat tiga puluh menit. Jamaah subuh telah usai satu jam lalu. Mesir sudah terang namun matahari belum terbit. Bangunan kelabu serta beberapa pohon dan jalan aspal sudah tampak jelas. Jika membawa uang logam lalu tanpa sengaja terjatuh, terpelanting jauh, tak perlu susah mencari. Kau akan segera menemukan uang recehmu sebab sudah tidak gelap lagi. Bukankah sudah kubilang bahwa ini adalah waktu pagi? Maklum, musim panas mulai jam empat awan sudah cerah.
Sesekali angin bertiup, menggoyangkan pelepah kurma, menyenggol daun-daun pohon cantik nan tipis yang bunganya berwarna merah muda, menepis debu dinding rumah-rumah klasik. Burung belanda yang sedang tidur pulas di tepi-tembok genteng sekali-kali terbangun-melirik kiri-kanan lalu tidur lagi. Kadang kala angin itu memanjakan mata kucing yang tertidur dekat tempat sampah, membawa cemburu ke kadang anjing yang tidur pulas di kandang mewah. Terkadang kucing melirik jengkel pada tuan rumah, sebab ia tak dianggap dan tak disayang. Sedangkan anjing diberi daging, dimandikan dan dielus bahkan digendong sebagian pemilik rumah. Kenapa? Sebab anjing dibeli dengan harga mahal. Kucing-kucing kotor itu pun tahu diri dan mengaku bahwa mereka adalah hewan yang memang tak pernah mandi, takut pada air. Burung merpati ingin hari segera sore, sebab hanya waktu sore saja mereka dibukakan pintu sangkarnya. Tuannya masih di alam mimpi. Tadi sebelum azan subuh, Kairo masih ramai, masih hidup. Pedagang kaki lima masih bergadang melayani pembeli. Setelah subuh, suasana berubah tragis bagaikan berada di pukul nolnol waktu indonesia bagian barat, sepi, sunyi, waktunya tidur, hello? Ini sudah pagi loh! Kehidupan mulai ramai lagi pada pukul sembilan. Namun tidak semuanya bergadang malam, mungkin hanya setengah penduduk Kairo. Buktinya banyak juga yang telah bangun dan turun dari lantai dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan dan sepuluh untuk membeli ful, 'isy, tho'miyah dan menu lainnya untuk sarapan pagi bagi mereka yang telah tidur sejak pukul sepuluh malam tadi.
Salah seorang yang sudah tidur pada pukul sepuluh malam tadi adalah bernama Lahfah, dan ia bersama adiknya Zainab.
Lahfah dan adiknya sudah berdiri di barisan antrean dengan para pembeli roti 'isy-makanan pokok warga Mesir.
"Enti 'aiz kam ya, Bint?" Kamu mau berapa?" Bint adalah sebutan untuk anak perempuan.
"Bikhamsah geneih bas." Lima pound saja. Sahutnya. Segera penjual roti itu menyusun sepuluh potong roti di atas kain yang telah disiapkan Lahfah. Setelah ia mengikatnya, Lahfah dan adiknya menuju ke penjual tho'miyah dan kawan-kawan.
"Aiz ful bi itnain geneih, bitinggan bigeneih, bathotis bigeneih, wa tho'miyah bi itnain geneih." Aku mau ful dua pound, terong satu pound, kentang satu pound dan tho'miyah dua pound. Semua itu lumayan banyak dan cukup untuk sarapan pagi.
"Kullu bisittah geneih" Semuanya enam pound. Kata si penjual sembari menyerahkannya pada Lahfah. Adapun Tursi ia dapatkan gratis, sebab Lahfah lah pelanggan rutinnya. Tursi adalah potongan dari mentimun, cabai, wortel, dan lainnya. Direndam dua puluh empat jam sampai masam.
"Syukron. Assalamuaikum." Ucapnya pulang.
"Wa'alaikum salam ya Lahfah ya binti gamilah." Gamilah artinya cantik. Asal katanya (جميلة: jamilah) huruf jim jadi huruf "G" bagi logat Mesir, sedangkan arab Teluk seperti Bahrain, Kuwait dan Qatar huruf "ق" yang jadi huruf "G" seperti; زهقانة ; zahqonah jadi Zahgonah, yang artinya boring atau bosan. Kalau kamu kurang yakin, coba dengarkan lagunya Hala Turk yang judulnya; زهقانة. Logat Mesir, huruf: ث jadi ta: ت. Seperti: الثاني: at-tsaani jadi; التاني at-taani, artinya yang kedua. Dan huruf; ق malah jadi alif: أ. Seperti; qalamun; قلم jadi; alamun; الم. Huruf dzal; ذ-jadi huruf-;dal. Seperti: kadzaa; كذا atau كذة jadi; kada كد atau kedah كده da lain sebagainya.
Lahfah masih berumur tujuh tahun lebih, adiknya lima tahun. Keduanya akrab walaupun tak jarang bertengkar. Tapi Lahfah sayang sekali dengan adiknya Zainab. Tiap kali keluar rumah tanpa ibunya, dia selalu menggenggam erat tangan adiknya, tak ia lepaskan kecuali tangannya penuh dengan bawaan yang lain.
"Ta'alii bisur'ah ya, Zainab!" Kemari segera Zainab. Katanya saat Zainab tertinggal tiga langkah, ia takut sekali Zainab disenggol motor. Dengan segera Zainab mendekat.
Di tempat minum dua puluh empat jam untuk umum itu mereka singgah. Zainab menampung air minum dengan botol plastik semacam botol aqua, lalu ia ulurkan untuk kakaknya.
"Khudz ya, Lahfah." Ambil ya Lahfah. Bilangnya sembari mengulurkan untuk kakaknya. Lahfah meminumnya dengan berdiri, sudah biasa minum berdiri di tempat air minum umum, kemudian Zainab menampung kembali sampai penuh. Orang Mesir sudah biasa memanggil yang lebih tua darinya dengan nama, tidak dengan sapaan; abang ataupun kakak. Ada sebutan khusus tanpa nama tapi mereka jarang memakainya, saat senang saja. Kalau orang yang tak ia kenal-jika masih muda mereka sebut: fandem, basya, dan shodiqi, zamiilii kalau sudah akrab, dan jika sudah agak tua mereka sebut; 'ammu, ustadz, kalau lebih tua lagi sudah berumur, mereka sebut; hag untuk laki-laki, haggah untuk perempuan. Haag-haagah; الحاج dan ؛ الحاجة sebutan untuk orang yang sudah berhaji. Meskipun orangnya belum naik haji, panggil saja demikian agar ia senang bukan buatan. Bukankah perkataan adalah doa? Kalau mereka pacaran, yang perempuan juga tak sungkan-sungkan memanggil nama pacar lelakinya; misalnya-ya Mahmud, Ya Ahmad. Bertolak belakang dengan kebiasaan orang Aceh Tenggara, di sana tak ada yang memanggil nama orang yang lebih tua darinya apalagi tak ia kenal. Kalau ada ceweknya memanggil cowoknya dengan nama, pertama dan kedua diperingati, ketiga kalinya langsung putus, sebab tak tahu adat! Pernah ada kejadian di Aceh Tenggara, hendak melamar ke rumah perempun, sebab kedua orangtua sudah setuju. Malam harinya, sebelum datang ke rumah calon mempelai wanita, si pria menelepon-dan itu adalah panggilan pertama, sebelumnya tidak pernah teleponan, hanya chatingan saja. Dalam chatingan sudah ada tanda-tanda tak ada santun, pas ditelepon nyatanya sama saja, tetap panggil nama, tidak pakai kata: abang. Terang harinya tak tampak batang hidung keluarga mempelai pria datang ke rumah si perempuan. Ah masalah sepele dibesar-besarkan! Cerita ini kutahu dari mulut ke mulut, benar tidaknya wallahu 'alam. Tapi memang di Aceh Tenggara tak ada istri memanggil nama suaminya, bisa-bisa piring, sendok, kuwali, periuk, kompor melayang terbang terbuang. Adalah kebiasaan bapak-bapak kalau marah pada istri, mereka tak memukuli istrinya melainkan barang-barang rumah yang terbang tanpa sayap. Setelah marah baru ia sadar bahwa ia pernah peras keringat, banting tulang mendapatkannya. Kalau istrinya pemberani, kadang suka ikutan melemparkan barang-barang rumah keluar. Sehari kemudian barulah keduanya tertawa kadang sang istri sampai mbukho alias merajuk-pulang ke rumah walinya.
Orang Mesir kalau lagi senang saja ia panggil: habibii untuk laki-lakinya dan; habibti untuk perempuan. Kalau lagi marah, siapapun dia, tak segan-segan berkata; yakhrab baitak: !يخرب بيتك Itu adalah kalimat yang sering diucapkan saat marah, namun tak sepenuhnya kalimat itu diucap saat marah, saat kesal, dan sebal saja. Kadang saat bergurau atau bahazhor juga mereka pakai kalimat itu, saat lagi gemes juga mereka ucap begitu, baytheway, selain kudengar langsung dan kutanya serta kuketahui, aku mulai banyak mengerti saat aku suka hadir talaqqi di youtube, nonton sinetron Mesir, tanpa subtitel, hehehe mesti banget disebutkan tanpa subtitle, bukti bahwa aku memang agak mengerti! Atau aku salah paham ya? Masa sih? Jika diartikan perkalimat, maka arti dari dua kalimat (يخرب بينتك; yakhrab baitak) ialah: robohlah rumahmu! Orang Mesir mendoakan rumah objektif agar roboh, kenapa rumah? Sebab rumah sangatlah berharga, bak istana dan surga dunia. Tanpa rumah, maka amat miskin sekali hidup, rumah pun tak punya apalagi kebutuhan hidup? Tapi saat mendengar kata yakhrab baitak mereka tak membalas dengan kata yang sama, walaupun kata itu memang kasar untuk didengar.
Lahfah, Zainab dan kedua orang tuanya tinggal di gang kecil di kawasan Darrasah. Lima menit jalan kaki ke masjid sayyidina al-Husain dan masjidl Al-Azhar. Rumah Lahfah tidak bertingkat, juga tak berlantai, apalagi berkaca. Jendela saja tak punya. Rumahnya jugalah nebeng di antara dua dinding bangunan rumah orang lain. Jika disebut rumah sebenarnya tak seperti rumah, tapi ada manusia yang berteduh di dalamnya, bahkan sudah belasan tahun, malah sudah punya anak dua. Awalnya tempat tersebut adalah kandang mobil, dan ayah Lahfah meminta kepada pemilik untuk diigarkan, disewakan. Ayah Lahfah siap membayar seratus pound perbulan pada kedua pemilik rumah. Namun pemilik rumah pemurah hati, ia mengikhlaskan gudangnya digunakan ayah Lahfah. Dulu gudang itu adalah kandang mobil, tapi sekarang mobilnya tak perlu lagi pakai kandang, pemilik rumah cukup memarkirkan mobil di depan rumah kemudian dikenakan baju mobil karena di Darrasah tak rawan pencurian mobil, di mana-mana ada cctv. Bagi Lahfah, rumahnya sudah bak istana, ia merasa rumahnya sama dengan rumah yang lainnya, meskipun rumah Lahfah tidak berlantai.
Setibanya di rumah, ibunya sudah menyiapkan piring-piring untuk tempat makanan yang barusan dibeli Lahfah dan adiknya Zainab. Ayahnya masih terlelap, baru satu jam lebih kurangnya ayahnya tidur. Ayahnya adalah pekerja harian di dalam masjid sayyidina Al-Husain. Mem-vacum cleaner sajadah masjid Al-Husain pada jam sembilan pagi dan sore harinya. Masjid Imam Husain sangatlah luas, tak seorang ayahnya saja. Gaji ayahnya cukup untuk makan sebulan jika tiap pagi Lahfah hanya menghabiskan sepuluh dan lima belas pound, dan malam harinya lima belas pound, sehari tak lebih dari tiga puluh atau empat puluh pound. Jika rata-rata perhari sampai habis 50 pound, maka ibunya mesti mencari kerja yang lain.
Lahfah, Zainab dan ibunya makan dengan lahap. Adapun ayahnya minta dibangunkan nanti pada pukul sembilan kurang sepuluh menit. Sebab jam sembilan tepat ia mesti sudah ada di masjid sayyidina Al-Husain untuk bekerja.
Hari ini hari Jumat, hari libur untuk semua republik Mesir kecuali pedagang dan pekerja miskin. Pedagang juga buka habis Jumat.
"Tuk! Tuk! Tuk!" Lahfah, Zainab dan ibunya menggedor pintu mahasiswa indonesia yang di lantai tujuh.
"Law samah haati moyyah ya shodiq." kata Lahfah si cantik, tolong berikan air duhai kawan. Seperti biasanya, ibu Lahfah membawa dua putrinya ke rumah-rumah untuk menemaninya membersihkan tangga, dan tiap rumah membayar padanya lima pound. Ada seratus lebih anak tangga untuk sampai ke lantai tujuh, lebih dua jam ibunya Lahfah membersihkanya. Sekali-kali Lahfah juga ikut membantu. Bukankah dari tadi Lahfah adalah tokoh utama?
"Ya, Lahfah, ta'ali!" Lahfah, kemari! Panggil ibunya.
"Hadir Yammah, ana gay!" Hadir Mah, aku datang. Kalimat; Yammah: يمّه adalah kalimat panggilan manja anak untuk seorang ibu. Adapun; Mama atau momo: ماما-kata umumnya.