Namanya Harun. Sahabat kami, saudara kami dan saudara muslim kita semua. Asal Negeria. Berkulit hitam tentunya. Tapi walaupun kita berbeda suku, beda negara dan beda warna kulit, kita tetap sama di sisi Allah Subhaanahu Wata'ala. Ah, kalau ngomongin warna kulit mah, sebenarnya aku malu, kulitku dan kulitnya sama-sama hitam. Kairo sudah memasuki musim dingin. Siapa yang tahan hidup di dalam rumah tanpa memakai jaket dan tak punya selimut tebal saat tidur adalah orang yang berkulit tebal. Tapi aku sendiri tidak pernah tuh nemu orang berkulit tebal seinci apalagi tiga inci. Kulit lembu saja pun tak sampai satu inci. Eh kok malah ngomongin kulit ya? Harun adalah dari anak seorang ayah yang berada. Ayahnya seorang dokter spesialis mata. Dia terbilang anak orang kaya raya. Katanya padaku ia punya mobil sendiri-yang dibelikan ayahnya. Harun baru saja pindah ke rumah kami dan juga masih kuliah. Sehari kemudian, kami pun akrab. Kuperhatikan ia tidak pernah makan nasi, ia sering keluar rumah dan pulang membawa satu bungkus indomie dan ia memasaknya dengan caranya sendiri. Setelah mie itu mateng lalu ia pun duduk manis di dalam kamar. "Tafaddhal!" katanya mempersilakan, mengajak kami ikut makan bersamanya. Aku dan temanku yang satu lagi hanya bisa berkata, "syukran!" Harun tidak seperti orang indonesia, dia tidak menawari dua kali. Maka kalau memang niat mau gabung makan dengannya, jangan malu-malu, begitu diajak langsung ambil sendok. Harun makan dengan nyantai, temanku satunya lanjut membaca, aku? Lanjut pegang handphone sambil mengetik, entah apa yang aku ketik, aku pun tidak begitu paham. Sudah satu minggu bersama, sudah saling kenal, saling memahami dan saling peduli. Kulihat Harun selama seminggu ini tidak pernah makan bersama kami, ketika kami ajak makan, ia tidak mau dan malah berkta: "syukran" seperti yang sering kami ucapkan kepadanya saat ia mengajak kami. Temanku yang satu lagi ini juga sama, ia juga bukan orang Indonesia, cuma ngajak sekali saja lalu ia pun makan dengan santai di atas kasurnya. Aku? Kuajak dua kali, tetap ia jawab seperti biasanya. Ya sudah kalau tak mau, kataku, dalam hatiku saja. Hingga suatu hari, aku selidiki. Penasaran ia makan apa di luar?
"Ya Harun! Akakalta syai-an fil khaarij?" tanyaku. Yang artinya, ya Harun, kamu sudah makan sesuatu di luar? "Na'am." sahutnya. "Maadzaa akalta ya, Akhii?" tanyaku lagi. Apa yang kau makan?
"Akaltu khubjan!" Aku makan roti, jawabnya lagi. Aku mulai mengerti. Pasti ia makan roti orang Mesir. Makan roti? Bagiku roti saja tidak cukup. Roti hanya menahan rasa lapar sebentar saja.
“Akalta ‘isy?" tanyaku lagi. 'Isy adalah roti yang terbuat dari gandum, makanan pokok orang Mesir.
“Laa." jawabnya datar
"Idzaan?" Jadi? Selidikku. Hummm... Barulah ia jujur, bercerita.