Sinar mentari redup di petala langit. Musim panas mulai sedikit pergi dan musim dingin hampir terasa menusuk badan. Perkuliahan telah dimulai dua minggu sebelumnya, namun jumlah kehadiran terhitung tidak begitu banyak. Ruangan terlihat sesak oleh orang-orang Mesir, hanya beberapa orang asing yang hadir termasuk aku. Mahasiswa yang hadir ke kampus sudah mulai memakai baju dua lapis dan sebagian memakai jaket. Hari ini adalah pelajaran Qoah Bahs di lantai empat pada jam terakhir bersama Dr. Muhammad Ali Abdul Majid. Selesai jam kedua mata kuliah, aku sengaja tidak hadir pada pelajaran selanjutnya bersama Dr. Muhammad Ali Abdu Majid, sebab buku untuk bahan makalah belum aku miliki. Beliau memberikan tiga judul untuk bahan makalah kali ini, yang salah satunya ialah tentang penyair. Dan aku sengaja memilih untuk menuliskan tentang penyair modern yang terkenal di Bumi Seribu Menara ini, beliau adalah Ahmed Syauqi. Teman-teman yang lain juga pada memilih untuk menuliskan tentang Ahmed Syauqi.
Sedikit gambaran tentang Ahmed Syauqi: Beliau ialah penyair modern, nama akrabnya Ahmed Syauqi. Lahir diperkampungan al-Hanafi, Kairo, pada tangggal 12 oktober 1868. Nama lengkapnya adalah Ahmad Syauqi bin ‘Ali bin Ahmad Syauqi. Ayahnya adalah orang Circassia dan ibunya masih keturunan Yunani. Ia sering disebut sang penyair istana. Syauqi sudah mengenal dunia pendidikan sejak usia 4 tahun. Puisi-puisi para penyair terkenal ia hafalkan hingga di luar kepala. Pada tahun 1885, Ahmad syauqi melanjutkan study ke sekolah hukum. Muhammad al-Basiyuni adalah penyair terkenal pada masa itu dan juga mengajari bahasa arab, sangat mengagumi Ahmed Syauqi. Karena usianya yang masih relatip muda sudah mampu melantunkan puisi-puisi yang indah. Ahmad Syauqi mengunjungi pertemuan sastra dan budaya sebagai upaya kaderisasi. Berita tentang kepiawaian Syauqi dalam bidang sastra, khususnya puisi telah sampai ke telinga Taufiq Pasya. Pada tahun1887 ia telah menyelesaikan pendidikan di jurusan terjemah, lalu ia dikirim ke prancis oleh Taufiq Pasya untuk mendalami hukum dan kesusastraan. Pada tahun 1893 ia memperoleh ijazah di bidang hukum. Di Prancis Syauqi mulai bergelut dengan teater. Ia terkadang ke kota Paris hanya sekedar menonton pertunjukan teater sastra dan drama. Ia sering bertemu dengan tokoh teater dan sastrawan Prancis, ia sempat mempelajari sastra Prancis selama empat bulan. Ahmad Syauqi kembali ke Mesir pada tahun 1891. Ia suka membaca karya sastra Arab, seperti kumpulan puisi Abu Nawas, abu tamam, al-Buhkturi, dan al- Mutanabbi. Pada tahun 1894 ia diutus mewakili pemerintah Mesir untuk menghadiri konggres orientalis di Genewa, dan Swiss. Ia tidak langsung pulang ke Mesir tetapi ia tinggal di Swiss selama 1 bulan dan kemudin mengunjungi Balgia. Di dua negara tersebut ia memperkaya dirinya dengan pengetahuan dan peradaban eropa. Ketika Inggris menduduki Mesir pada perang dunia 1 Syauqi diasingkan ke Spanyol selama beberapa tahun, karena ia dianggap sebagai orang yang berbahaya. Di tempat pengasingan itu ia sempatkan dirinya untuk berkunjung untuk menyaksikan peninggalan megah bangsa arab dahulu kala. Di antara kota yang dikunjunginya adalah Cordoba, Seville, dan Granada. Syauqi kembali ke Mesir negeri yang dirindukannya pada tahun 1920. Ia disambut oleh masyarakat dengan sambutan yang hangat, ribuan orang berkumpul untuk mengucapkan selamat datang. Sekembalinya di Mesir, tokoh sastra yang intelek itu menyenandungkan puisi-puisi kerakyatan. Dirinya menyuarakan kebebasan dan kemerdekaan, bagai burung yang bebas berkicau yang keluar dari sangkar emas, ia menjadi penyair yang dielukan rakyat Mesir sekaligus menjadi penerjemah yang jujur. Karya- karya Syauqi di antaranya yaitu sebagai berikut: 1. الهندى ولدجاج (salah satu hikayat fable dari 56 hikayat yang dimuat dalam surat kabar al-Abram pada tahun 1892) 2. Pada tahun 1927 Syauqi menerbitkan antologi puisi yang berjudul الشوقيات kumpulan puisinya. Bersamaan dengan ini ia dikukuhkan sebagai Amir asy-Syuaro’dll Sumbber (Achmad Atho’illah Fathoni).
Aku kualahan keliling tanya satu persatu Maktabah di belakang dan depan kampus Al-Azhar,
"Ada buku biografi tentang Ahmed Syauqi tidak?"
"Maaf, Nak, yang ada hanya Syauqiyaat (Diwaninya)."
"Makasih." timpalku, dan aku pun pergi ke toko berikutnya tetap saja aku tidak menemukannya, "Tidak ada, Nak!, yang ada hanyalah Syauqiyatt." kata mereka.
"Yah, kalau Syauqiyat mah sudah ane beli." bisikku lesu dan mengeluh karena kualahan keliling dari toko buku ke toko buku lainnya. Aku tidak berhenti sampai di situ, terus berkeliling lagi dan lagi, akhirnya aku bertekad ke Atabah, yang katanya di sana adalah banyak Maktabah atau toko buku yang menjual buku-buku sastra. Sampai di Atabah, mulailah aku bertanya kepada pemilik toko buku itu. Kudatangi satu-persatu toko buku yang ada di sana, dan yang pertama aku jumpai ialah Maktabah Darul Ma'arif, itu pun setelah bertanya berkali-kali barulah aku menemukannya.
"Ya, Fandem, Maktabah Darul Ma'arif itu dimana ya?" tanyaku. Enam kali aku bertanya-tanya barulah aku sampai di tempat yang aku maksud. Ya sebanyak enam kali aku menanyakan alamatnya, lalu aku bertanya kepada penjaganya.