IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #25

Syekh Ahmad Ibrahim Abdul Jawad

Musim panas sudah tak sabar ingin menggantikan posisi musim gugur dsn semi yang terlalu betah bertahan. Sempat musim panas tiba-tiba narsis dan seakan membakar penduduk Mesir, “Sabar Om, belum giliranmu!” begitulah kira-kira kata yang diucapkan musim gugur sehingga musim panas pun ciut dan tau waktu kemudian berlalu menyembunyikan diri. Hanya hitungan minggu saja sih sebernarnya puncak musim panas akan datang, dua, tiga empat atau lima minggu lagi. Lebih tepatnya bulan ramadhan nanti adalah puncak dari musim panas. Sekarang ini hari-hari di Mesir sama seperti hari biasa di Indonesia. Awan cerah namun tidak pula panas. Untuk sekarang keluar rumah tidaklah terlalu bikin gerah.

Aku keluar dari rumah bersama seorang sahabat yang empat jam lalu aku unggah fotonya yang sedang tertidur pulas karena lelah membaaca, nikmat betul tidurnya. Sampai di pertigaan itu ia belok kiri menuju tempat ngaji dan aku belok kanan menuju masjid Al-Husain untuk menyetorkan hafalan pendekku ke seorang guru. Tepat setelah shalat ashar aku langsung menghadap ke beliau. Aku salami dengan mencium tangan beliau tanda aku hormat dan cinta pada beliau. Beliau menanyakan kabarku, pun aku menanyakan kabarnya. Aku antrea menunggu gilirannku. Aku duduk di samping kiri beliau dan di samping kanan beliau seorang mahasiswa yang sedang menyetorkan hafalan. Pada saat antrea aku membuka al-Quran dan mengingat-ingat kembali hafalanku. Dua menit aku duduk di samping kiri beliau aku pun menyempatkan diri mengambil handphone milikku dan memotret beliau. Wih bagus nian gambar yang aku ambil. Cocoklah jadi photographer walaupun di sana ada orang yang sedang baringan, perusak pemandangan.

 Beliau memakai seragam serba putih, pecih putih, baju putih dan celana putih. Beliau sedang melihat al-Quran, ya itu bukan narsis semacam aku menyuruh beliau untuk bergaya lalu kuambil gambar bukan begitu, itu murni beliau sedang mengoreksi hafalan seorang teman yang sedang menyetorkan hafalannya tapi tidak aku masukkan orangnya khawatir kupingnya makin lebar sebelah atau nanti ia susah tidur karena fotonya tiba-tiba kumasukkan ke Facebook kareana ia sendiri agak tawadhu gitu orangnya.

Setelah orang yang menyetor hafalan tadi usai, saatnya giliranku. Aku menyerahkan tulisanku yang sudah aku tulis di dalam sebuah buku tulis yang cukup besar, panjang dua belas inci dan lebarnya tujuh inci. Aku membuka al-Qur’an dan membacanya dan beliau mengoreksi tulisanku seiring bacaanku. Alhamdulillah, hanya dua kali disalahkan beliau ketika aku terlalu buru-buru dan memendekkan mad thabi’i. Setelah beliau koreksi tulisanku itu, beliau pun menanda tangani, menuliskan tanggal, bulan dan tahun serta do’a di buku tulisku itu. Semacam do’a, “Semoga Allah membukakan pintu hatimu”, tulisan beliau bagus. Tidak seperti tulisan mahasiswa Mesir yang kebanyakannya susah dibaca. Terkadang tulisan mahasiswa Mesir hanya bisa dibaca oleh mereka sendiri, mungkin aku terlalu kasar jika kukatakan seperti cakar ayam. Maka dari itu tulisanku tidak jarang dipuji beliau, karena beda jauh dengan tulisan mahasiswa Mesir pada umumnya. Tulisan tangan mahasiswa indonesia memang tak lekang dari pujian dosen maupun masyaayikh. Hehe aku mengaku ya? Tapi beneran kok tulisanku bagus, rapi pula. Serius!

Hari ini tulisan tanganku sama seperti al-Quran sehingga tidak beliau salahkan seperti hari-hari sebelumnya yang banyak perbaikan dengan tinta merah. Maka ini adalah salah satu alasan aku menuliskan tentang beliau ini, tulisanku yang tidak ada satu pun yang beliau beri tinta merah adalah satu keajaiban bagiku untuk hari ini. Baru hari ini tidak ada salahnya! Sebelumnya? Banyak!, tiga sampai lima, kadang sampai tujuh. Kalau tidak sama seperti yang ada di al-Quran, pasti beliau salahkan. Yang seharusnya ada Fathah tapi dikasih sukun, salah! Yang seharusnya huruf “Taa” tapi tertulis seperti huruf “Nun” salah! Seperti kalimat “Anfusakum” yang di al-Quran tidak ada tanda sukun tapi kita beri tanda sukun pada kata “An” maka diberi tinta merah. Juga seperti kalimat “Antum”, seperti kalimat, “Minba’di” di dalam al-Quran ada huruf mim kecil setelah nun tanda iqlab tapi kita tidak menuliskannya, juga diberi tinta merah. Maka dari itu aku pun benar-benar mengikuti seperti yang ada di dalam Mushaf. Berhasil untuk hari ini, tidak ada yang beliau coret dengan tinta merah, alhamdulillah.

Setelah membaca, tibalah saatnya menyetorkan hafalan, tanpa melihat al-Quran. Baru sampai pertengahan halaman, aku sudah salah. Lagi-lagi terlalu buru-buru sehingga tajwidnya kurang tepat. Yang seharusnya mad wajib tapi aku membacanya seperti mad biasa bahkan nyaris tak terdengar seperti mad. Aku pun mengulanginya dan kucoba pelan-pelan. Tetap juga aku salah, ketika membaca dhamir “nahnu” pada kalimat “Faqulnaa” pada kata “Naa” itu pakai alif dan dibaca panjang tapi aku membacanya seperti dhamir “Hunna” pendek tanpa alif, salah deh.

Lihat selengkapnya