IYYAAKI HUBBII

Daud Farma
Chapter #26

Keluarga Kecil di Sahara

Musim gugur telah lama berlalu dan sekarang Negeri Gurun Pasir ini telah memasuki musim panas. Terkadang musim pun tidak dapat ditebak. Mulai dari musim dingin, musim semi, musim gugur dan musim panas, tidak bisa kita jangkau musimnya bertahan seberapa lama. Tahun lalu musim dingin hanya tiga bulan dan semua musim stabil tiga bulan. Namun tahun ini sepertinya musim dingin terlalu semangat untuk bertahan. Mulai dari bulan oktober tahun lalu hingga sampai saat bulan Juli di tahun dua ribu lima belas ini. Kemudian di bulan Agustus ini musim panas pun makin memans, mungkin tulur ayam yang kita pecahkan kemudian kita letatkkan di bawah terik matahari, lima menit kemudian telur itu akan mengering. Di musim panas ini adalah banyak sekali perubahan dan kebalikan dari musim dingin. Di musim dingin buka jendela rumah itu hanya satu kali sehari, dan di musim panas harus membiarkannya terbuka lebar sepanjang hari bahkan sepanjang malam hingga dua puluh empat jam.

Di musim dingin memakai baju dan kaus berlapis-lapis ditambah lagi dengan mengenakan jaket yang tebal, dan di musim panas memakai baju atau kaus hanya satu lapis saja, itu bagi laki-laki. Musim dingin beberpa bulan yang lalu segala mesin pendingin ruangan non aktif. Mulai dari ac, kipas angin dan kipas alami. Namun di musim panas ini kita harus mengaktifkannya kembali. Apabila belum juga cukup, barulah menggunakan kipas alami. Mengambil satu buah pirih plastik lalu dikpas-kipaskan ke badan.

Sejak pukul empat pagi, awan sudah merekah, langit membiru dan cerah. Namun mentari belum menyunggingkan senyum hangatnya yang indah. Jalanan sudah terang seakan bukan berada pada pukul empat pagi, melainkan ini adalah pukul dua belas siang. Akan tetapi nyatanya ini benar-benar masih pagi. Walaupun suara ayam tidak berkokok, bebek pun tak merepet, burung-burung merpati masih saja pulas dengan tidurnya. Ini memang nyata dan bukan mimpi. Jangan heran dan tak perlu keheranan, sebab suasana alam takkan berubah dengan keherananmu. Heran boleh saja, namun jangan sampai tak percaya dengan kekusaan-Nya. Ini adalah benar-benar nyata, Kawan.

Pukul lima lewat sepuluh menit, kini sudah semakin cerah dan mulai terasa hangat dengan senyuman dari mentari di pagi ini. 

Marzuqi keluar dari kamarnya dengan membawa mushaf kecilnya dan kunci pintu di dalam kantong kemejanya. Rumah baru yang ia tempati sejak tiga minggu ini, banyak sekali keindahan dan kenikmatan mata yang ia rasakan. 

Marzuqi tinggal di rumah yang paling tinggi dari bangunan-bangunan yang di sekitar rumahnya, ia dan teman-tamannya menempati di lantai yang paling atas, yaitu lantai tujuh. Berat rasanya menaiki ratusan anak tangga, karena rumah yang ia tempati tidak memilki lift maupun escalator. 

Dia membuka pintu lalu menaiki beberapa anak tangga menuju ke atas genteng yang terbuka lebar seperti halaman, atau juga bisa dipakai untuk tempat menjemur pakaian. Sampai di atas genteng,

“Subhanaalah… Sungguh indah ciptaan Allah Swt!” kagumnya gembira di dalam hati.

Matanya jauh memandang ke seluruh penduduk Darrasah, Hussein, Masjid Al-Azhar dan sekitarnya. Bahkan terlihat jelas benteng Shalahuddin al-Ayyubi di kejauhan sana.

“Allahu Akbar, Allahu Akbar... Allahu Akbar!” Takbirnya bahagia. Ia berdiri memandangi keindahan itu, berkali-kali ia takbir di dalam hati.

Bangunan-bangunan yang kelabu, jalanan masih sepi, dan semakin jauh mata memandang yang tampak hanyalah bangunan-bangunan kelabu yang persis terlihat seperti padang pasir. Ia merasa sedang berdiri di atas gurun pasir dan yang dilihatnya adalah warna kelabu yang berkotak-kotak berbentuk bangunan tua yang kusam dan teguh berdiri di depan matanya. Marzuqi tidak bisa melupakan keindahan itu, Iapun ingin mengabadikan pemandangan itu dengan kamera handphone miliknya, yang ia kantongi bersamaan dengan kunci di dalam kemeja merahnya.

Selessai membaca dan menghafal mushaf yang dibawanya ke atas genteng rumahnya, iapun bangkit kembali dan menuruni anak tangga dan masuk ke dalam rumah dan meletakkan mushaf kecilnya di atas meja. Dia pergi ke atas genteng dengan maksud dan tujuan ialah untuk membaca dan menghafal al-Quran. Karena jika ia membaca di dalam kamar, akan mengganggu temannya yang sedang beristirahat, karena bukan dirinya saja yang tiggal di dalam rumah melainkan sembilan orang. Rumah yang cukup luas dan mewah, tidak kalah dengan hotel bintang lima yang ada desa terpencil di Aceh Tenggara, tepatnya di SMK Negeri 2 Badar. 

Marzuqi merebahkan kembali badannya ke atas pulau kapuk miliknya. Baru saja beberapa menit ia terbaring, keringatnya bercucuran membasahi keningnya dan seluruh tubuhnya. Padahal kipas angin yang cukup besar dan kencang masih saja hidup mulai dari kemarin magrib hingga pagi hari, jendela yang juga terbuka sejak pagi kemarin hingga pagi kembali. Tetap saja tidak bisa menghentikan keringat yang terus bercucuran dari tubuhnya. Ia membuka handphone-nya, kemudian, “Hah? 37 derajat celcius?!” pekiknya keherannan. “Pantesan aja badan gua basah mandi keringat gini!” bisiknya pelan. Itu baru pagi, jika siang hari bisa mencapai, 45, 47 dan 48 derajat celcius.

Kemarin adalah hari pertama ia akan menginjakkan kaki kembali di Markas Bahasa Arab di Cairo, dan hari ini adalah hari liburnya karena ada kumpul Kru Informatika di Icmi jam dua siang nanti. Sebelumnya ia sudah masuk tiga bulan lalu di Markas Bahasa Arab, karena bulan puasa ya libur jadinya dan mulai masuk lagi setelah ‘idul fitri nanti. Ingin sekali ia berhenti dari Markas Bahasa itu, namun karena pihak markas bahasa telah menetapkan Les Bahasa adalah syarat mutlak untuk masuk kuliah di Universitas Al-azhar bagi seluruh Mahasiswa Asing yang nilainya belum memenuhi syarat dan ketentuan Al-azhar. Lagipula selain itu ia ingin berhenti ialah dikarenakan biayanya yang cukup mahal. Untuk 1 Level saja pun memerlukan duit sebesar satu juta seratus ribu rupiah. Akhirnya dengan sukarela dan lapang dada, Marzuqi menjalani ini semua dengan hati ikhlas dan mengharapkan ridha Allah Swt. Dia ingin bekerja sambil menjalani Les Bahasa, namun karena waktunya yang tidak mendukung membuatnya tidak bisa bekerja, ia masuk Les bahasa pada siang harinya pada pukul tiga belas tepat waktu Kairo. Sedangkan di pagi harinya ia mengikuti pengajian bersama Syekh Asyraf Al-Azhari di Masjid Ja’fari dan dilanjutkan di Markas sampai waktu dhuhur tiba. Lagian rasa was-was yang melanda pikiran dan batinnya, dia baru saja tiba beberapa bulan yang lalu di Negeri Klabu ini, ia merasa wa-was jikalau ia kerja pada tahun pertama. Ia khawatir belajarnya akan terganggu dikarenakan belum mampu membagi-bagi waktunya. Juga merasa was-was mengingat betapa sulitnya ujian Al-azhar yang telah ia tanyakan kepada seniornya yang sudah berkali-kali berpengalaman ikut ujian setiap tahunnya. Rasa itulah yang mengurungkan niat baiknya untuk tidak bekerja, padahal niat baiknya ingin mengurangi beban kedua orang tua, pikirnya.

Hari ini hari Kamis. Kebetulan hari ini ada kumpul Informati Icmi Orsat Kairo pada pukul empat belas tepat. Selain kumpul, hari Kamis adalah giliran Marzuqi sebagai penanggung jawab atas keluarga kecilnya. Hari ini ia harus menyiapkan hidangan dua kali sehari, yaitu hidangan untuk makan siang dan makan malam. Mulai dari belanja ke pasar, masak nasi, sayuran, lauk-pauk dan memasak air panas. 

Lihat selengkapnya