-Dia belum bisa berpisah dari Darrasah-
***
Desa Dusun Jambu. Kab. Aceh Tenggara, masih sembab oleh embun pagi. Ibu-ibu rumah tangga sedang menyiapkan sarapan buat keluarga. Anak sekolah sebagian masih mandi, kebanyakan sudah memakai seragamnya dan berdiri di depan lemari kaca. Imam masjid baru pulang dari iktikaf. Lebih dari tujuh orang berseragam Sekolah Dasar antre di depan warung Kak Tuti penjual pisang goreng. Selalu habis. Sudah kebiasaan anak-anak Dusun Jambu pagi-pagi makan pisang goreng. Disuruh sarapan oleh ibunya tidak mau, kalau pun mau lauknya tetap pisang goreng.
Seorang anak muda duduk di teras sembari menikmati sebuah buku bacaan di tangan kirinya, buku itu berjudul 'Fiqih Wanita: Pedoman Rumah Tangga dan Pendidikan Anak', yang ditulis oleh Ustaz. Qomaruddin Awwam. Buku itu ia beli di Gramedia Gajah Mada Medan ketika ia semester tujuh dulu. Sudah lima kali ia khatam. Tetapi ia belum puas membaca buku itu sampai ia menemukan pasangan hidupnya. Dia adalah orang yang ramah dan lembut terhadap buku. Buku itu masih bagus, kover bukunya masih mengkilat jika dibuka sampul plastiknya. Padahal buku itu sering juga ia bawa tidur, lebih tepatnya ia tertidur karena membaca. Sesekali tangan kanannya menyeduh kopi hangat tak bergula. Sama pahitnya dengan kenyataan nasibnya yang kini sudah berusia dua puluh delapan tahun belum berumah tangga. Mata penganggurannya memperhatikan anak-anak sekolah yang lewat.
"Kapan ya kepala sekolah klen mau datang ke rumahku?"
Dia kuliah di salah satu kampus ternama di Medan Sumatera Utara. Sudah wisuda sejak tiga tahun lalu. Dulu ketika masih kuliah dia selalu dapat kiriman sebesar tiga juta lima ratus ribu rupiah dari ayahnya petani dan tauke jagung dan kelapa sawit. Kebutuhannya tidaklah sebanyak itu. Biasanya dia hanya menghabiskan satu juta setengah perbulan. Akhirnya dua juta ia sisihkan untuk tabungannya. Kadang ketika ada temannya yang minjam atau keperluan mendesak saja ia ke ATM BRI yang tidak jauh dari rumah kos yang tergolong mewah itu.
Sudah lebih tiga tahun ia menganggur, dalam arti ia tidak bekerja pada orang lain, juga tidak mengajar di sekolah mana pun. Dia hanya di rumah membantu ayahnya dan sesekali ikut pergi ke Medan mengantar sawit dan jagung dengan mobil fuso. Tidak ada yang mengajaknya pergi, memang kemauannya sendiri. Sebab terlalu suntuk ia di rumah.
Tabungannya makin bulan dan makin tahun semakin banyak. Tabungan selama ketika jadi mahasiswa sejak semester satu sampai wisuda sebesar sembilan puluh enam juta rupiah. Tapi enam juta ia habiskan untuk ia pakai kebutuhan KKN, wisuda dan setelah wisuda. Tinggal lah delapan puluh empat juta rupiah. Selesai wisuda ia langsung balik ke Kuta Cane. Tidak ada satu sekolah pun yang menawarkannya untuk mengajar. Dia pun tidak mau mendaftar jadi guru, dia mauanya kepala sekolah yang datang padanya, mengajaknya berjumpa di warung Mie Aceh, minum jus alpukat, dan menawarkan padanya untuk mengajar di aliyah. Walhasil sampai sekarang ia menganggur.
Sebenarnya dia tidak lah menganggur. Akan tetapi dia membantu ayahnya sebagai tauke. Sangat cocok sekali dengan fakultas yang ia pilih ketika kuliah dulu. Dia anak FEBI.
Di desa Dusun Jambu hanya dia seorang berumur dua puluh delapan tahun yang belum menikah. Padahal seumurannya rata-rata telah punya anak dua. Dia adalah ketua jomblo karena paling tua sebagai anak lajang di Dusun Jambu. Kalau ada urusan anak lajang secara adat di Dusun Jambu, dia lah yang dipanggil. Dia dibutuhkan menurut kebiasaan turun-temurun, bukan menurut tunjuk atau dipilih dengan suara terbanyak. Dia dibutuhkan sebagai ketua lajang ketika ada acara nikahan. Ketika pasangan keluarga dari mempelai perempuan mengantarkan anak gadis mereka ke rumah mempelai laki-laki.
Ketika malam pertama, sebagian dari saudara atau sepepu mempelai perempuan belum boleh pulang. Harus menginap satu malam di rumah mempelai laki-laki untuk menemani mempelai perempuan. Akan tetapi mereka tetap di kamar yang terpisah. Biasanya jumlahnya tidak sampai sepuluh orang, terdiri dari anak gadis atau satu dua ibu-ibuk. Kebiasaan anak lajang ialah jika di suatu desa ada yang nikahan, kabar itu tersebar dari mulut ke mulut, bahkan sampai ke kampung sebelah hingga kampung seberang nan jauh di mata namun dekat dalam peta.
Maka ketika ada tamu anak-anak lajang datang, pada saat seperti ini lah ketua lajang kampung ambil andil untuk mendata asal pendatang dari kampung mana saja? Namanya siapa? Bawa teman atau tidak? Dan sebagainya. Tujuan mereka datang ialah nanti ketika malam sudah pukul dua belas ke atas, para tamu asli kampung yang punya acara dan lajang dari kampung sebelah pun merayu gadis-gadis yang ikut mengantar mempelai perempuan tadi sore.
Banyak macam cara mereka merayu. Ada yang memabawakan makanan, lalau nanti yang ketua gadis di dalam rumah pun membuka jendela atau dari pintu untuk mengambilnya lalu ditutup lagi. Ada yang membawa guitar dan gendang, membawakan lagu-lagu Alas khas daerah Kuta Cane. Ada juga yang berpantun, tapi belum ada yang berpuisi apalagi membacakan dongeng. Namun soal gombal dan bual, lidah mereka jagoannya. Bahkan kadang datang dari anak-anak lajang kampung seberang naik motor kemudian melapor.
Tentu yang pertama mereka temui adalah ketua lajang kampung. Benar-benar berperan penting bujang lapuk di desa Dusun Jambu.
Adalah sangat aib sekali dan melanggar aturan adat kalau mereka masuk tanpa izin, apalagi sampai berani masuk ke dalam rumah dan menggombal sesukanya, tidak boleh! Maka tidak satu pun berani melanggar aturan itu. Semua mengindahkan nasihat ketua lajang setempat sebelum mereka akhirnya mulai merayu. Dalam hati mereka akan muncul perasaan tidak enakan, 'seandainya aku melanggar aturan? Lalu nanti ketika ada pesta di kampungku gimana?'
Bahkan untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, segela perhiasan, mulai dari cincin dan kalung haruslah dikumpulkan ke ketua lajang kampung mempelai laki-laki. Agar tidak terjadi kehilangan yang mana juga menjadi tanggung jawab dan aib bagi kampung mempelai pria. Istilah ini dekenal dengan kata 'mepakhukh' di Aceh Tenggara. Dusun Jambu masih berlaku kebiasaan itu sampai sekarang. Meskipun kini kalau mau kenal dengan lawan jenis tinggal minta nomor WA. Anak lajang Dusun Jambu masih berpegang erat kebiasaan lama itu, walaupun jumlahnya tidak seramai dulu.
"Apa kepentingan klen kemari?"
"Mepakhukh, Bang."
"Betul kah niat klen tu?"
"Betul kami pun, Bang."
"Nggak adakah niat klen mencuri bebek, telur bebek, ayam, telur ayam, kambing, honda, becak, dan buah jambu kami?" Hanya itu yang disebutkan, sebab cuma itu yang bisa dicuri di Dusun Jambu. Kalau gudang Sawit tidak pernah ada niat orang mencuri sawit. Mungkin karena terlalu berat bawanya.
"Nggak ada, Bang. Kami nggak kek gitu orangnya, Bang. Betul pun, Bang."
"Janji klen tu ya?"
"Janji, Bang."
"Kalau klen ada niat jahat, mending klen pulang. Kami nggak sukak tengok mukak orang jahat. Apalagi mukak kau ni," ketua lajang kampung itu menatap ke salah satu wajah tamu. Mereka memperhatikan.
"dan kawan-kawan kau ni macam orang jahat kutengok."
"Sumpah pun, Bang. Nggak ada macam tu kami, Bang."
"Oke. Kalau gitu. Silakan kau tulis namamu dan nama teman-temanmu. Tulis juga berapa jumlah klen, klen dari kampung mana, jangan lupa nomor hp salah satu dari klen ditulis juga. Agar kalau ada telur bebek kampung kami hilang kami mudah dapatkan klen."
"Okeh, Abangda," mereka menuliskan semua yang disuruh ketua lajang kampung Dusun Jambu.
"Huum, maaf ni, Bang. Kalau boleh kenal, nama Abang siapa, Bang?"
"Adam. Panggil saja Bang Adam."
"Tentu, Bang Adam."
Sudah tiga tahun ini Adam jadi ketua panitia kalau ada adik-adiknya yang menikah, kalau ada yang sunatan, dan segela acara yang melibatkan orang banyak di desa Dusun Jambu Adam pasti dipanggil penghulu Dusun Jambu untuk soal tanggung jawab keamanan kampung, memerintah yang masih lajang-lajang ataupun yang baru nikah dan masih punya anak satu untuk mengambil nangka di gunung. Untuk sayur-mayur 'Khamban' alias sayur nangka dan kates.
***
Nun jauh di benua afrika sana, negeri itu dikenal dengan negeri Nabi Musa dalam sejarah. Memiliki universitas islam tertua ketiga di dunia, Al-Azhar University nama akademi itu. Pencetak para intelektual dunia. Negeri di mana tempat kediaman terakhir kalinya ulama fiqih yang lahir di Gaza pada tahun seratus lima puluh hijriah dan meninggal pada tahun dua ratus empat hijriah. Dialah Imam Syafi'i, pengikut madzhab terbanyak di asia, Indonesia khususnya. Mesir nama negeri itu.
Seorang gadis berparas ayu, pipi agak cubby, kalau tersenyum timbul lah lesung pipitnya, kulitnya kuning langsat, hidungnya tidak pesek dan tidak juga mancung.Yang paling indah ialah ketika ia tersenyum. Seakan seluruh penduduk di tempat ia tinggal ikut bahagia. Darrasah nama tempat tinggal gadis berparas ayu asli Sumatera itu. Tadi selepas salat isya dia langsung tidur. Sekarang sudah pukul dua pagi, dia bangun malam untuk salat tahajud.
"Aina sudah bangun?"
"Ya kak. Terbangun karena alarm hp-ku bunyi."
"Maaf, kaka lupa bangunin dek, Aina."
"Ya nggakpapa kak. Kak, Syifa belum tidur?"
"Belum, ini kakak masih baca materi bimbel untuk adek-adek kakak. Aina sendiri nggak nge-bimbel besok?"
"Ngebimbel kok, Kak. Masih madah Ushul Fiqih kemarin belum selesai. Aku salat dulu ya, Kak."
"Ya dek, Ai. Nitip do'a ya dek?"
"Mau dido'akan agar apa kak?"
"Agar diberi jodoh tahun ini. Kaka mau cepat balik indo. Pingin cepat punya suami. Yang kuliah sini atau kuliah di indo kak?"
"Yang kuliah di mana aja boleh dek, Ai. Yang penting dianya saleh."
"Allahumma Aamin."
"Oh, ya, gimana, Bang Adam? Masih ngehubungi dek, Aina?"
"Kemarin sore dia nge-chat aku, kok kak. Di kampungnya lagi ada yang nikah. Nah dia lagi-lagi jadi ketua panitia."
"Haha, Bang Adam Bang Adam. Emang dia serius mau datang ke Mesir jemput dek, Ai?"
"Nggak tau tuh, kak. Kubilang aku nggak mau jumpa padahal. Ya udah dulu ya kak, aku salat dulu."
"Oh ya maaf-maaf. Haha jadi kemana-mana obrolan kita."
Syifa juga dari Sumatera Utara. Ayahnya punya dua rumah kos di Medan. Salah satu di antara rumah kos itu ditempati Adam dulunya. Ayah Syifa tidak jarang bercerita tentang anak bungsunya yang sedang kuliah di Al-Azhar ketika ia menagih uang sewa kos yang dikumpukan teman-temannya ke Adam.
"Jangan klen telat bayar, Adam. Bapak mesti kirim duit itu ke Syifa. Katanya kalau orang Mesir nagih uang rumah ada juga yang galak, bisa-bisa diusirnya nanti si Syifa."
"Ya, Pak. Kalau pun teman-teman telat, nanti aku pakai tabunganku dulu. Nanti biar mereka ngutang ke aku, Pak."
"Bagus juga lah kek yang kau bilang tu, Dam."
Awalnya Adam juga suka pada Syifa. Sebab ketika dia datang ke rumah ayah Syifa, dilihatnya di ruang tamu itu ada foto Syifa sedang jalan-jalan ke Pyramid. Dipandanginya foto itu ketika ayah Syifa lagi fokus ke tv. Sayangnya dia kalah cepat dengan temannya Hanif. Sudah sejak awal semester Hanif yang jadi tanggung jawab membayarkan sewa kos ke rumah ayah Syifa. Bahkan Hanif tidak segan-segan minta nomor ayah Syifa, kemudian lama-lama minta nomor WA Syifa.
"Anak bapak nuntut ilmu agama, Nif. Jangan lah kau ganggu dulu. Kalau kau serius, tunggu dia tamat dulu. Itu pun kalau bapak setuju."
"Aku serius kali pun, Pak. Siapa yang nggak ingin istrinya salehah, Pak?"
"Betulnya muncung kau yang cakap macam tu, Nif?"
"Betul, Pak."
"Kalau gitu, rajin-rajin lah kau menabung dari sekarang. Bapak juga setuju Syifa tu nikah sama, Kau. Karena kau pun rajin kulihat jemaah di masjid. Itu pun kalau Syifa mau sama Kau, Nif."
Ayah Syifa tidak memberikan nomor Syifa pada Hanif. Tapi akal Hanif selalu ada cara untuk dapatkan nomor Syifa, dicarinya facebook dan instagram Syifa. Ada lebih sepuluh nama Syifa muncul, dia cari yang di profile-nya ada nuansa afrika, Mesir. Dilihatinya foto Syifa, ia samakan dengan foto Syifa yang di ruang tamu sedang naik unta di depan Pyramid. Foto itu juga sudah ada di hp-nya, dia fotokan ketika ayah Syifa beranjak ke kamar mandi saat nonton tv di rumah Syifa. Akhirnya ia inbox lah akun facebook itu. Awalnya Syifa tidak mau balas kalau dia tidak pamer kekuasaannya.
"Aku tangan kanan rumah kosnya bapak, Adek." isi inboxnya ke Syifa. Barulah Syifa mulai respon. Lambat laun keduanya sudah saling berkirim pesan di inboks WA.
Hanif pun menabung. Bapak dan ibunya Hanif ASN. Kiriman perbulannya juga lumayan. Tapi masih menang Adam anak tauke jagung dan kelapa sawit itu. Hanif semakin dekat dengan ayah Syifa dan ibu Syifa. Juga berteman dengan abang Syifa. Ketika semester delapan tabungannya sudah tujuh puluh lima juta. Sering ia bilang jumlah itu ke ayah Syifa walaupun ayah Suifa tidak menanyakannya.
Namun, betapa geramnya ayah Syifa ketika ia tahu Hanif setelah wisuda menikahi teman satu jurusan dengannya di kuliah. Kayna nama gadis itu. Setelah menikah, Hanif tidak pernah lagi berhubungan kontak dengan ayah Syifa apalagi Syifa. Nun jauh di benua Afrika sana, di Mesir, di Darrasah tepatnya, Syifa menangis sendu, termakan janji setia Hanif, laki-laki pembual itu.
"Pingin kali lah bapak tempelkan tangan bapak ni di pipi, Hanif tu, Dam. Geram kali bapak kek gitu sifat dia. Kasian bapak sama Syifa."
"Kek mana lagi lah, Pak. Dia udah pulang balik ke kampungnya. Nomor dia pun udah nggak aktif lagi."
"Itulah, dulu ngemis-ngemis dia minta nomor Syifa sama bapak. Untung dulu nggak aku kasih, tapi entah dari mana pulak dia dapat. Nggak kau yang kasih ,Dam?" terkejut Adam mendengar pertanyaan itu.
"Ee...ee...Nggak, Pak. Bukan aku."
"Dia udah ganggu belajarnya, Syifa. Udah ganggu hati Syifa. Udah ganggu ayah Syifa yaitu saya sendiri. Terus tanpa kabar apapun, tetiba nikah dia sama cewek lain. Bukan apa-apa, kalau Syifa nggak ngadu sakit hati ke bapak, bapak pun nggak lah kek gini kali ya kan. Tapi karena sayang sama Syifa bapak macam ni marahnya, Dam."
"Ya, sabar, Pak. Adam yakin dek Syifa akan dapat laki-laku yang saleh. Barang kali Hanif nggak cocok untuk dek, Syifa, Pak."
Ingin bapak Syifa menjodohkan Adam dengan Syifa, tetapi Adam tidak mau. Sebab Syifa sudah pernah dekat, bisa dibilang Syifa adalah mantan Hanif. Adam tidak mau. Sebulan setelah Hanif menikah, sesekali Adam juga datang ke Medan. Dia singgah ke rumah ayah Syifa dan ingin melihat rumah kosnya dulu. Empat tahun lamanya dia di kos itu. Ada rasa rindunya ketika ia berada di Dusun Jambu.
"Sehat, Dam?"
"Alhamdulillah sehat, Pak. Ini aku habis ikut ngantar sawit dan jagungnya bapak sama dua orang aggota pekerja bapak. Sekalian mampir ke sini mau jenguk bapak dan rindu rumah kosku dulu."
"MasyaAllah, senang kali bapak dengar cakapmu, Dam. Nginap di sini kan?"
"Nggak, Pak. Harus balik malam ini juga ke Kuta Cane." Dalam pertemuan itu, Adam pun minta dicarikan jodoh untuknya pada ayah Syifa.
"Mana tau ada teman Syifa yang kuliah di sana yang sudah wisuda dan siap menikah, Pak." Lama ayah Syifa menjawab.
"Kenapa nggak sama, Syifa saja, Adam?"
"Sepertinya Syifa masih belum siap karena Hanif, Pak."
"Baik, nanti bapak tanyakan ke Syifa ya." Sehari setelah Adam tiba di Kuta Cane, ayah Syifa menelepon Adam dan memberikan nomor yang Adam maksud. Tetapi Adam tidak tahu bahwa itu adalah nomor Syifa. Sepekan kemudian dia kirim pesan via WA ke nomor dengan kode plus dua nol itu. Dia kenalkan dirinya siapa, keluarganya, pendidikannya, dia juga bilang bahwa dia pernah ngekos di Medan, dia sebutkan nama ayah Syifa, dia bilang bahwa ayah Syifa punya anak perempuan namanya Syifa.
"Adek satu rumah kan dengan dek, Syifa?"
Nun di Darrasah sana, Syifa tertawa membaca pesan panjang itu. Padahal belum ia jawab sepatah kata pun untuk Adam. Akhirnya ia pun membalas inbox agresif itu.
"Wa'alaikumsalam, Bang. Ini aku Syifa, Bang."
"Hah? Serius?"
"Iya, Bang." Tepuk-tepuk jidat Adam di Dusun Jambu. Tidak sedikit pun dia menyangka itu nomor Syifa.
"Dek, Syifa sehat?"
"Alhamdulillah sehat, Bang."
"Masih sakit hatimu dek dengan, Hanif?"
"Masih, Bang."
"Owh, macam tu." Lama jeda. Bingung Adam harus balas apalagi.
"Abang benaran pingin nikah? Abang temannya Bang Hanif kan?"
"Betul, pingin Dek. Bukan, Dek." jawabnya. Tidak mau dia mengakui Hanif sebagai teman pada Syifa. Padahal dia best friend.
"Usah lah kalian kek gitu, Bang. Nggak sukak aku ya!"
"Maaf, Dek. Abang tidak ada maksud."
Lambat laun Syifa luluh. Dia pun tahu maksud dari isi inbox Adam itu bahwa Adam bukanlah menginginkan dirinya. Setelah sebulan kenal lewat inbox, akhirnya Syifa pun percaya pada Adam. Dia yakin Adam tidaklah seperti Hanif. Syifa akhirnya mengenalkan Adam pada Aina.
"Abang tu udah tamat, kak?"
"Ya sudah tamat dek, Ai."
"Orang mana abang tu, Kak?"
"Orang Kuta Cane. Tau kan?"
"Owh Kuta Cane. Tau lah, Kak. Sepupu Aina kan ada yang nikah sama orang sana tapi sekarang mereka tinggal di Kisaran. Tapi Aina nggak pernah ke sana sama sekali. Kakak pernah?"
"Haha belum juga. Medan ke Kuta Cane itu jauh lah dek, Ai."
"Berapa jam kak?"
"Ada lah empat atau lima jam kalau naik travel."
"Humm gitu?"
"Iya dek, Ai."
Tampaknya Aina pun mau. Lalu diberikan Syifa lah nomor Aina kepada Adam. Tak selambat bergantinya menit jaram panjang jam itu, langsung saja dihubungi Adam lewat pesan.
"Abang ada rencana datang ke Darrasah dek, Aina. Sampai nanti di Darrasah dek, Ai!" Begitu isi pesan terakhir dari Adam setelah hampir setahun ini kenal dengan Aina. Tidak banyak dia mengirimi Aina pesan. Hari berganti namun tetap monoton dengan satu pertanyaan: apa kabar dek, Aina? Berganti bulan juga tetap itu isi pesannya.
***
"Alhamdulillah sehat, Bang.
Bang, Adam, sehat?"
"Sehat dek, Ai."
"Jadi Abang ke Mesir?"
"InsyaAllah jadi dek, Ai. Tapi nanti Abang Umrah dulu. Kemudian ke Mesir. Dek Aina udah Wisuda kan? Kata Syifa dek Aina juga pulang kampung. Kalau gitu pulang bareng Abang aja mau nggak? Tiketnya nanti biar abang aja yang beli."
"Ha? Abang serius?"
"Serius dek, Aina!" Lama Aina berpikir, apakah dia tidak salah dengar?
"InsyaAllah ya, Bang."
"Oke dek, Ai."
Setelah itu lama Aina merenung: sudah kah waktunya aku balik kampung untuk selamanya? Dia terlanjur bilang insyaAllah pada Adam. Sedangkan dia bingung dan jadi malu jika pulang ke Indonesia dengan yang bukan mahram, juga dia terkesan tidak pantas menyandang status sebagai alumni Azhary jika balik dengan orang yang belum pernah bertemu dengannya sekali pun. Juga terkesan ia sebagai peminta dan sangat butuh ketika ia setuju dibelikan tiket oleh Adam. Berkata insyaAllah, berarti sembilan puluh lima persen mau. Ingin ia balas isi chat itu dan bilang pada Adam agar Adam tidak perlu datang ke Mesir. Ingin dia katakan bahkan nanti dia tidak mau menemui Adam walau hanya satu menit saat Adam berada di Mesir. Aina gelisah, ia berharap ada cara lain yang bisa membatalkan Adam, dan cara itu bukan kehendaknya, dia tidak ingin melukai hati Adam.
"Berilah hamba pentunjuk-Mu ya Allah." do'a Aina dalam sujud tahajudnya.
***
Selesai satu bab sudah buku Fiqih Wanita karya Ustadz Qomaruddin Awwam itu ia baca, kopi pahitnya pun telah habis. Bingung ia bagaimana caranya izin ke mamaknya untuk pergi umrah dan ke Mesir. Anak-anak sekolah sudah pada pergi. Pisang goreng Kak Tuti tadi pun sudah habis. Embun pagi telah berjatuhan dari atas daun-daun pohon jambu. Gudang Sawit dan gudang jagung pun sudah dibuka oleh anak buah ayahnya. Jam telah menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima menit. Kemudian Adam masuk ke dalam rumahnya.
"Mamak kemana kak?" tanyanya pada pembantu rumah besar itu.
"Mamak tadi ke sini tapi balik lagi ke kamar lantai dua, Adam." Dia pun mulai membaca istighfar tiga kali, shalawat tujuh kali kemudian membaca al-Fatihah sekali. Pangkal al-Baqarah. Al-Ikhlas tiga kali, al-Falaq sekali, an-Nas sekali lalu ayat kursi sekali.