Selalu ada cerita di Darrasah. Pun aku tidak pernah bosan menuliskannya. Karena aku tahu tidak selamanya aku di Darrasah. Suatu saat nanti aku pun akan kembali ke kampung halaman. Meninggal Darrasah yang mungkin untuk selamanya dan aku pasti akan merindukannya. Barang kali saja tidak pernah kembali lagi nantinya. Tetapi kemana kaki melangkah sepuluh dan dua puluh tahun kedepan hanya Allah lah yang Maha Tahu. Semoga kelak tulisan ini adalah obat rindu pada Darrasah.
Aku ingin bercerita tentang dua orang mahasiswa Darrasah. Sebut saja, Imam dan Taqwa namanya dalam cerita ini. Mereka berdua tinggal di Darrasah, depan kampus Al-Azhar. Untuk bisa datang ke rumah mereka, harus kuat menaiki seratus empat belas anak tangga. Tidak ada lift.
Imam sebelumnya tidaklah tinggal di Darrasah, tetapi di Muqattam. Setelah setahun di sana, selesai Darul Lughah: persiapan bahasa, ia pun pindah ke Darrasah.
"Aku mau sering ikut talaqqi. Mohon doanya agar aku bisa istiqamah." katanya pada temannya. Sebenarnya dia pun tidak mau menyebutkan alasan itu kalaulah tidak diharuskan untuk ia beri jawab. Sebab memang seniornya suka 'kepo' tentang sebab kenapa orang memantapkan diri pindah ke Darrasah? Walaupun tidak sedikit orang yang tidak istiqamah dengan alasan dulu pertama kali mereka membawa koper ke Darrasah. Namun berbeda dengan Imam. Imam sangat memanfaatkan hari-harinya di Bumi Kinanah. Bahkan dia menuliskan jam, tanggal, bulan dan tahun berapa dia mulai pindah ke Darrasah. Setelah magrib Imam tiba di Darrasah pada tanggal, 23 Oktober 2016.
Setelah salat Isya, sesudah kumpul dengan teman satu rumah dan perkenalan dirinya, dia pun tidur duluan.
Teman-teman di rumahnya ada yang masih menikmati diktat kuliah, ada yang rebahan dengan hp di tangan yang sebenarnya sebuah kebiasaan yang sangat tidak baik untuk kesehatan mata. Ada yang duduk dan berdiskusi di ruang tamu dan ada juga yang main game online untuk melepas kejenuhan. Imam? Dia kan sudah tidur barusan. Pukul satu tiga puluh ia pun bangun. Dia lihat teman-temannya masih melek. Yang rebahan pun masih betah tanpa memejamkan mata satu menit saja.
Imam membuka hp-nya. Dia membaca pesan masuk yang menurutnya perlu ia balas. Kemudian ia pun membaca diktat, memegang pensil dan highlighter berwarna orange. Setengah atau satu jam membaca, kemudian ia pun bangkit dan berwudhu. Lalu ia berpakain rapi, memakai wangian, mengenakan kemeja lengan panjang, kadang ia memakai sarung, kadang jubah tapi lebih sering memakai celana panjang berwarna hitam. Memakai songkok nasional, membentangkan sajadah. Kemudian ia pun salat tahajud. Sengaja dia matikan lampu di ruang tamu agar tidak ada yang melihatnya sedang salat. Teman-temannya yang di ruang tamu sudah lama masuk ke dalam kamar, namun sebagian masih ada yang bergadang.
Selesai salat dia tidak beranjak dari atas sajadahnya. Dia beristighfar, berdzikir dan do'a. Usai do'a dia masuk ke dalam kamarnya, melanjutkan membaca kitab. Tidak lama kemudian adzan subuh pun berkumandang di seantero Darrasah. Adzan yang serentak. Semacam ada aba-aba: satu, dua, tiga mulai! Padahal tidak. Ternyata memang sudah terbiasa di Mesir, lima belas atau tiga puluh menit sebelum adzan dikumandangkan, para imam masjid sudah membuka pintu masjid, menyalakan lampu, menghidupkan radio dan siap siaga dekat dengan mikrofon untuk melantunkan adzan yang merdu nan syahdu.
Lima, tiga dan dua menit sekali mata sang imam masjid melihat ke jam dinding sembari berujar dalam hati, "tidak boleh telat!"
Imam pun salat sunah dua rakaat di ruang tamu. Kadang dia juga salat di dalam kamarnya kalau teman sekamarnya telah tidur, dan tetap ia matikan lampunya. Usai salat ia pun memakai jaket yang tebal, peci hitam yang tidak pernah ia lupakan, membawa diktat Balaghah yang ingin ia pahami. Meskipun diktat itu tidak lama ia baca kecuali setelah salat tahiyatul masjid dan setelah salat subuh sebelum disuruh pulang oleh takmir masjid sebab masjid akan segera ditutup.
Kebiasaan Imam adalah setiap waktu subuh dia berusaha salat subuh di masjid yang berbeda selama satu pekan berturut-turur. Dan hampir semua masjid mulai dari yang besar bahkan sampai yang paling kecil ia pernah salat jamaah di dalamnya. Subuh di hari pertama di Darrasah ia salat di masjid Sayidina Imam Al-Husain. Setelah subuh ia ziarah ke makam cucu baginda Nabi. Subuh kedua ia ke masjid Al-Azhar, subuh ketiga ke masjid Sidna Ja'fari, subuh keempat di masjid Ar-Rahman depan Math'am Koshary seberang jalan samping penjual bermacam jus. Subuh kelima ia salat di masjid dekat rumahnya, subuh keenam di masjid Mu'adz bin Daud depan Mustaysfa Al-Husain dan subuh ketujuh di masjid di dekat lorong dan gang sepi sebelum mengarah ke kampus dan sebelah kiri jalan pertigaan arah ke masjid Imam Al-Husain.
Meskipun memang berganti-ganti masjid ini tidak rutin ia lakukan, namun ada dua masjid yang sering bahkan istiqamah hingga tiga tahun kemudian ia tetap salat subuh di dalamnya, yaitu masjid Sidna Ja'fari dan masjid Sayiduna Imam Al-Husain. Kenapa dua masjid itu? Karena setelah salat ia ingin bertawasul, ziarah.
Terhitung sejak dua ribu enam belas hingga bulan Juli dua ribu sembilan belas, Imam tidak pernah absen salat subuh. Dia selalu tidur cepat dan bangun cepat. (nam mebasyaratan istaiqith mubakkiran). Kadang ada beberapa kali ia lambat tidur, tetapi tetap bisa bangun malam tiga atau dua jam sebelum adzan subuh berkumandang.