Darrasah Tiga Warna
Daud Farma.
Darrasah adalah nama sebuah area/wilayah yang berada di Kairo. Kampus Al-Azhar sendiri ada di Darrasah. Bukan hanya itu, pun masjid Al-Azhar, masjid Sayidina Al-Husain juga ada di Darrasah. Toko-toko buku banyak di Darrasah. Tiga di antaranya yang banyak dikunjungi Mahasiswa Asing ialah: Darul Ushuluddin, Mujallad al-Arabi dan Dar el-Manar. Ketiga-tiganya berada di depan kampus Al-Azhar Kairo.
Darrasah adalah kawasan pelajar, santri dan mahasiswa. Di Darrasah ada banyak tempat Talaqqi. Empat di antaranya adalah Madhyafah Syekh Ismail Shadiq al-Adawi, Sahah al-Qazzaz, Madhyafah Syekh Said Imran ad-Dah, dan Raudhatun Na'im. Tak jarang guru-guru besar al-Azhar mengajar di dalamnya. Sekarang sudah banyak sekali Mahasiswa Asing, Masisir khususnya-telah bermukim di Darrasah.
Dulu ramai sekali yang mukim di Hayyu Asyir, sekarang Darrasah pun akan mengimbangi jumlah Hayu Asyir. Lagipula sewa rumah di Darrasah tidaklah terlalu jauh bedanya dengan yang di Bawabat dan Hayu Asyir.
Jumlah Masisir saat ini lebih kurangnya sepuluh ribu jiwa. Setidaknya lebih dari dua ribu orang telah bermukim di Darrasah. Selebihnya di Hayu Sadis, Hayyu Sabik, Hayu Tamin, Bawabat, Gami', Hayu Asyir, Tabbah, Zahra', Rab'ah el-Matarea, el-Marg dan lainnya.
Jamal bin Saifudin kuliah di Fakultas Ushuluddin. Agus bin Salim Fakultas Syariah dan Hukum, dan Ridwan bin Syamsudin kuliah di Fakultas Bahasa Arab. Mereka adalah Mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir), mereka tinggal di Darrasah. Mereka satu flat di lantai lima, satu rumah beda kamar. Rumah mereka di depan kampus Al-Azhar, tidak jauh dari masjid Mu'adz.
Namun mereka beda daerah. Jamal dari Pidie Jaya, Aceh. Agus dari Nganjuk, Jawa Timur. Ridwan asli Padang Sumatera Barat. Mereka sama-sama sudah empat tahun di Mesir, tahun depan wisuda. Umur pun hampir seperempat abad.
Adalah hal yang lumrah bagi para jomblo membahas soal menikah di umur yang bisa dibilang telah matang. Tak terkecuali mereka bertiga. Sebenarnya bukan hanya mereka saja berada di flat lantai lima, tetapi ada sepuluh orang dan mereka bertiga adalah senior. Tiga sahabat sengaja beda kamar dan bergabung dengan junior agar bisa mengayomi adik-adiknya. Tetapi akhir-akhir ini sering sekali tiga sahabat itu mengumpul bertiga di kamarnya Agus.
"Jamal, ente kan udah mapan secara umur dan rezeki. Ente pembimbing jama'ah umrah. Duit ente banyak. Kenapa ente belum berani nikah?"
"Kata siapa ane belum berani nikah? Bentar lagi kok, tunggu aja undangannya. Yang ada ente tuh yang udah ada calon tapi belum mau mengahalalkan."
"Ya ni si Agus nyuruh-nyuruh orang nikah. Dia aja belum." kata Ridwan membela Jamal.
"Ente juga, Wan, katanya bulan depan? Benar nggak tu?" tanya Jamal.
"Mohon doanya saja lah."
***
Jamal adalah pembimbing jama'ah umrah. Setiap libur kuliah ia pergi umrah. Setidaknya setahun dua kali. Dia umrah backpacker dari Mesir bersama teman-temannya. Sampai di sana ia langsung dapat job sebab sudah kenal dengan beberapa bos travel di Indonesia. Rezekinya cukup menyakinkan. Paling tidak ia membawa pulang sebesar empat puluh juta selama tiga bulan di Makkah. Bukan hanya sebagai pembimbing, namun dia juga mendorong kursi roda jama'ah yang sudah tua, yang tidak kuat berjalan kaki dan membadalkan umrah orang lain. Selesai mendorong dia dapat 300 riyal atau satu juta seratus tiga puluh satu ribu rupiah.
Sudah dua kali ia minta nikah pada kedua orang tuanya, tetapi belum diizinkan karena masih tahun kedua dan ketiga kala itu. Dan sekarang dia sudah mau masuk tahun kelima di Mesir dan tingkat akhir di kuliah. Kebetulan ayahnya juga umrah tahun ini. Sebelum shalat jama'ah, ia pun menghadap ke ayahnya yang sedang duduk di depan ka'bah waktu sebelum subuh.
"Ayah, izinkan aku menikah, Ayah. Aku cinta padanya. Aku khawatir dia dinikahkan orang tuanya dengan orang lain, Ayah." Ujar Jamal meminta izin sembari mencium tangan ayahnya.
Tampaknya ayahnya luluh. Disapu-sapunya punggung anaknya Jamal.
"Pulang dari umrah ini, silakan menikah, Anakku. Nanti ayah tambah biaya."
"Tidak perlu ayah keluar duit. Tabunganku saja cukup insyaAllah. Tapi kalau tidak memberatkan, aku tidak mungkin menolak pemberian, Ayah."
"Juga tidak mungkin dan tak pantas rasanya kalau ayah tidak bantu biaya pernikahanmu, Jamal. Pulanglah ke Mesir dan menikahlah dengan orang yang kamu cintai. Siapa namanya, Jamal?"
"Rini, Ayah."
"Orang Malaysia?"
"Iya, Ayah."
"Baik. Tapi setelah menikah kalian harus pulang ke Aceh."
"Baiklah, Ayah."
Selesai umrah itu ayahnya kembali ke Aceh dan Jamal masih menetap seminggu di Makkah, karena belum sampai sebulan. Begitu selesai umrah, dia langsung mengabari Rini dan mereka kembali ke Malaysia. Ayah Jamal tidak setuju menikah dengan gadis Malaysia dulunya karena kekhawatiran ayahnya kalau lah Jamal betah di Malaysia dan tidak mau balik ke kampung halaman kelak. Tetapi karena do'a-do'a Jamal selama dua tahun ini dan izin di depan Ka'bah itulah Jamal dapat restu ayahnya. Adapun ibunya ikut kata ayahnya saja.
Awal kenapa Jamal bisa kenal dengan Rini adalah ketika Jamal jadi pasien Rini di ujian peraktek. Ketika itu Jamal menanam akar giginya yang patah sebab terpeleset di tangga yang baru dipel oleh pembersih tangga, ketika itu Jamal hendak salat Jum'at.
Rini adalah kuliah kedokteran gigi di kuliah Thib Banat kampus Al-Azhar Kairo. Awalnya Rini tidak suka pada Jamal walaupun sudah sering chat via WA. Tetapi ketika kedua orang tua Rini ibadah umrah dan dibimbing oleh Jamal, ketika itu juga Jamal berterus terang pada kedua orang tua Rini. Hal itu pun disampaikan ayah Rini ke Rini. Sejak itu pula lah Rini yakin pada Jamal bahwa Jamal serius. Lambat laun rasa kagum dan suka menyelimuti hati Rini.
Setelah menikah, sebulan di Malaysia dan dua minggu di Aceh, Jamal dan Rini kembali ke Mesir dan menyewa rumah di Darrasah. Tidak jauh dari rumah yang ia tempati sebelumnya bersama Agus dan Ridwan.
Adapun Agus, dia adalah pedagang gamis, dia dropsiper. Gamis yang dia jual bermacam merek. Mulai dari al-Haramain, al-Maghribi, al-Ashili, al-Hasyimi dan juga ad-Daffah. Harga satu gamisnya ia jual seharga 250 ribu sudah termasuk ongkir khusus pulau Jawa. Adapun di luar jawa yang ongkirnya 50 ribu ke atas, maka harga per-pcs adalah 280 ribu. Dan jika ongkirnya lebih murah, maka harga gamisnya tentu lebih murah. Jika membeli dua dapat free ongkir, dan memang ia tidak menerima jika hanya diorder satu gamis saja, sekali lagi: minimal dua.
Untung yang ia dapatkan cukup banyak karena pelanggannya pun banyak, hampir 350 orang. Pelanggan tetap tidak sampai lima puluh orang, namun perorang kadang memesan dua sampai empat kodi. Agus pun menabung.
Sebulan ia mendapatkan untung sebesar 4500 Pounds, atau empat jutaan rupiah. Itu kalau Agus tidak malas, tetapi kadang ia menuruti malasnya, dia tidak mau menerima orderan yang tidak kodian. Secara finansial ia juga sudah mampu menikah dan yakin bisa menghidupi rumah tangganya. Calonnya? Jangan ditanya. Bahkan sebetulnya dialah yang duluan dapat calon daripada Jamal dan Ridwan. Tetapi malah Jamal yang duluan ke pelaminan.
Awal Agus kenal dan jatuh cinta pada calonnya itu ialah ketika hendak Talaqqi bersama Syekh Sidi Fauzi al-Konate di masjid Al-Azhar bakda salat ashar.
Namanya Aina. Dia tinggal di Bawabat Tiga Ketika itu Aina dari Bawabat hendak Talaqqi di masjid al-Azhar dan singgah membeli kitab di toko buku Darul Ushuluddin. Kitab itu laris hingga sisa satu eksamplar dan sudah dibawa Agus duluan ke kasir.
"Sudah habis." kata penjaganya ketika Aina menanyakan kitabnya. Aina tampak lelah, jalannya terburu-buru sejak dari stasiun bus. Karena Agus kasihan melihat Aina yang kelelahan, ia pun memberikan kitab itu pada Aina.
"Pakai kitab saya saja, Ustadzah. Nanti sehabis Talaqqi kembalikan ke saya tidak apa-apa. Saya bisa menumpang dengan teman."
"Hah, benaran, Ustadz?!"
"Ya benar. Pakai saja."
"Gimana kalau saya beli saja, Ustadz?"
"Jangan. Karena saya juga mau baca kitab ini sehabis ngaji. Lagipula katanya kitab ini sebulan lagi baru ada."
"Oh, ya sudah. Tolong tuliskan nomor WA antum di cover bagian dalamnya ini, Ustadz. Supaya nanti mudah saya mengembalikannya. Kan nggak mungkin saya nyari antum dengan jumlah hadir yang saya lihat sangat banyak seperti hari sebelumnya di halaman Facebook al-Azhar al-Syarif."
Begitu pengajian usai, Agus pulang ke rumah. Dia lupa membuka pesan WA. Bahkan dia lupa dengan kitab yang ia pinjamkan pada seorang mahasiswi. Malamnya setelah salat isya barulah ia aktifkan data hp-nya. Agus membaca pesan masuk dengan nomor baru itu,