Di pojok amben aku terkapar berkerumun kenistaan, terlecehkan zaman. Kupikir; adakah namaku telah tercatat dalam kehidupan ini? Aku semakin merisaukannya. Aku hanyut dalam rasa yang tak bisa kuungkapkan dengan kata. Kurasakan ketegangan tak terperi. Antara harus bagaimana dan untuk apa. Hanya orang dewasalah kupikir bisa menunjukkan jalannya. Meski semua orang telah mengetahui bagaimana buruknya nasib seorang yatim piatu miskin, tapi tak banyak dari mereka sungguh-sungguh ingin tahu lalu turun tangan membantu.
Selama ini kau diperbantukan menyelesaikan banyak pekerjaan panti dan telah jauh lebih lama tinggal pun berulang kau bilang padaku bahwa, "banyak hal terrjadi di luar kemauan kita. Meski seandainya manusia bisa menentukan seperti apa nasibnya bicara, kau takkan tertantang menjalaninya. Seperti halnya memandang indah matahari, bulan dan bintang di langit, yang tampilannya selalu berbeda pada setiap suasananya. Sadarilah bahwa telah terputus kaitan antara nasib, takdir dan anugerahmu jika kau telah menjalaninya. Jadi; pahit, manis, hitam, putih, baik maupun buruk, kau hanya tinggal menjalaninya saja. Sampai akhir."
"Semudah itu?" tanyaku tak percaya, "kupikir seseorang hingga berada di tempat seperti ini, pastilah karena nasib buruk, terdampar pada garis terbawah kehidupan Mayapada. Hingga tak tahu lagi harus kemana harus berbuat apa. Dan pertolongan itu adalah belas kasih orang lain. Mungkin dari situlah salah satu asal-muasal munculnya doa."
"Ah tidak juga." kau membantah lalu mengungkapkan apa yang terjadi padamu.
... Kata Ibuku saat itu, kehadiranku dalam perutnya tak pernah diinginkan. Dalam harapnya kala itu belum waktunya ibuku hamil dan seterusnya.
Ayahku belum melamar Ibu. Rencananya masih bulan depan. Panik, ibu ke penjual jamu terlambat bulan, ke tukang kiret, ke toko obat dan ke seluruh tempat penggagal hamil. Semua cara dicoba; makan nanas muda, minum soda dicampur obat sakit kepala, mengikat perut dengan kain dan berjungkir di waktu sandekala (menjelang magrib) juga pernah ibu lakukan. Hingga akhirnya mereka, kedua orang itu, menyerah. Dan aku tetap terlahirkan ke dunia ini dengan normal di Rumahsakit. Dan apa arti semua itu? Ya, itulah takdir...
Aku konsentrasi mendengar ceritamu.
... Setelah ususku dipotong dan aku dimandikan, laki-laki itu sempat panik dan takut akan adanya dampak buruk dari jamu serta ramuan dan obat-obatan yang dikonsumsi Ibu. Ia meneliti detil sampai memegangi seluruh bentuk mungilku dari ujung ke pangkal dan akhirnya wajahnya lega setelah memastikan aku dalam kondisi baik tanpa cela, tanpa cacat. Dan kenapa dia harus kebakaran jenggot mengubah takdir atas akibat yang ia sebabkan? Ia sudah berbuat tapi maunya minggat. Dasar laki-laki tak tahu diuntung.
Aku bergetar pilu melihat foto-foto masa kecilku dalam album yang tak kuketahui keberadaannya sekarang, disimpan dimana oleh siapa. Sudah hilang kabarnya. Di dalam paper-paper agak kusam itu hampir semua gambar masa kecilku dalam raut bahagia, tersenyum lebar, pipiku gembil tubuhmu gembrot. Banyak dalam gambar itu mengenakan baju kodok dengan bordir bug’s di dada. Biru, hijau muda, merah maroon, oranye dan warna-warna cerah lainnya kecuali putih dan hitam bayi itu tidak suka kata ibuku. Sedang tengkurap, sedang menunjuk sesuatu dan yang pasti merasa sangat senang. Mungkin ibuku mengira aku suka bug’s juga warna-warna cerah. Kini memang aku jadi menyukainya. Memang terlihat menggemaskan tapi aku tak begitu ingat masa-masa itu.
Saat masuk TK saat itu belum ada kelompok bermain seperti sekarang ini. Aku punya tetangga yang baik. Kita selalu bersama-sama datang ke sekolah. Kita berjalan kaki, aku diantar ibu. Dia dan temanku yang lainnya juga diantar ibu mereka. Aku selalu membawa botol minuman berwarna merah bergambar teddybear pada tutupnya menempel permanen sedotan plastik. Isinya susu sapi hangat. Tapi Ibu harus segera pulang, padahal sebenarnya aku ingin ia menunggu minimal sampai aku masuk kelas. Ia pun buru-buru melambaikan tangan dan selalu langsung pulang. Apalagi menunggui sampai selesai pelajaran seperti ibu-ibu temanmu lainnya, itu takkan pernah dan takkan pernah kualami. Namun mungkin dulu belum kumengerti atau tidak tahu caranya bersedih. Lama-lama kau menjadi terbiasa.
Aku selalu senang dan riang dan tersenyum-senyum bermain ketika pelajaran sudah selesai. Menunggu di perosotan semen, atau ke jungkat-jungkit di sebelahnya, kadang ke kursi ayun tapi aku tidak suka, sampai ibu datang menjemput. Sekitar sepuluh menit bermain bisa dipastikan ibu selalu sudah datang dan mengobrol sebentar dengan ibu temanku yang lain. Dan itu tidak lama karena sekolah segera sepi dan kita segera pulang. Selalu begitu setiap hari. Dan aku baik-baik saja.
Sampai di rumah, sepi. Dan selalu sepi. Walau sebenarnya rumah Nenek tak begitu jauh tapi rutinitas kami menciptakan jarak jauh itu. Kita tinggal di rumah masing-masing.
##
Laki-laki itu berdiri memohon di dekat lesung. Ia kelihatannya menunggui nenek pulang dari Pasar atau orang numpang numbuk padi padahal sebenarnya menunggu ibu pulang dari menjemputku. Kadang ia termenung di samping kolam dan menatap kekosongan. Pura-pura sibuk memberi makan ikan dengan daun pepaya dan menyembunyikan kepedihan di keningnya yang berkerut. Ia seorang operator exafator yang kemudian diangkat menjadi mandor, katanya waktu itu. Kemudian ibu secara rinci menjelaskan padaku apa itu mandor.
Lama-lama ayah jarang pulang karena katanya sibuk kerja. Awalnya seminggu sekali pasti pulang, tiap sabtu sore. Kemudian sebulan sekali dan harinya tidak tentu. Bisa Jumat, Selasa atau hari lainnya. Dan saat pertama yang kauingat dan sampai sekarang masih kauingat dengan jelas, saat itu ia membelikanku es lilin dan es krim. Enak, enak sekali. Dengan kepolosanku kala itu aku memintanya membelikanku kulkas supaya ibu bisa membuatkan es krim tanpa harus menunggunya pulang. Tapi katanya kalau aku makan es krim terus, gigiku bisa ompong, kubilang lagi padanya supaya bisa untuk simpan es loly seperti ibu temanku di sekolah dia sering memberiku es loly, aku ingin memberinya juga loly buatanku dengan warna-warna kesukaanku. Tapi ayah malah memelukku dan memberiku mainan dan baju baru. "Aku senang di rumah saja menunggu Ayah pulang." Kataku padanya waktu itu.
Begitu seterusnya sampai hari pertama aku masuk SD ayah semakin jarang pulang. Tidak pasti. Kadang sebulan pergi, lalu pulang, beberapa hari di rumah. Kadang sampai beberapa bulan pergi tak pulang-pulang sampai ibu ngomel sendiri. Bahkan waktu itu tidak pernah pulang lagi. Pokoknya lama. Tapi ayah tidak pernah lupa membawakan oleh-oleh yang membuatku senang. Baju-baju, makanan, juga susu untuk mengganti es krim.
Waktu itu aku kelas empat SD, tak ada firasat apa pun sebelumnya. Siang hari itu terasa datang begitu cepat. Meski tidak begitu terik. Bulan September panasnya menyenangkan seharusnya. Hujan belum turun dan kemarau hampir berakhir. Aku suka September seperti itu, karena saat turun hujan untuk pertama kalinya akan memunculkan aroma tanah. Segera kuhirupi melalui jendela yang kubuka lebar-lebar sambil menatapi air berjatuhan dari langit membawakan damai.
Aku pulang naik sepeda jengki meskipun sebenarnya sepeda itu terlalu besar untukku. Warnanya ungu. Aku suka ungu. Ungu kebiruan. Firasat itu datang saat mulai kukayuh sepeda. Ayah, ya, dia akan pulang. Kataku pada diriku sendiri. Ayah, aku sudah bisa naik sepeda sendiri, nanti ayah kubonceng dan kuantar jalan-jalan ke pantai. Aku membelinya sendiri di toko sepeda Cik Erli dengan tabungan yang kusisihkan dari uang jajan dan pemberian orang saat hari raya selama tiga tahun.
Namun Saat hampir sampai di rumah, di rumahku terlihat ramai lebih ramai dari biasanya. “Ada ayah di rumah?” Tiba-tiba aku menangis dan teringat bau parfum ayah yang ternyata setelah kauketahui, itu bau minyak rambut kesturi. Sekarang kubenci bau itu. Sering kuminta ibu membelinya, tapi tak pernah dikabulkan, ibu hanya tersenyum. Kupercepat kayuhanku agar segera tiba di rumah. Kulihat ibu di sana di depan pintu samping. Aku bertambah gelisah.
Ibu mendadak menyambutku usai kutambatkan sepeda ke pagar dan hampir bertanya, ada ayah? Namun kulihat dua orang asing di kursi panjang sedang serius mengobrol. Benar, ada ayah. Samar-samar di mataku ia tertunduk duduk di hadapan mereka membuat mulutku terkunci dan dengan sangat terpaksa kutelan pertanyaan; siapa mereka? kenapa berada di rumahku? Orang-orang tinggi besar berpakaian serba hitam. Jaket kulit hitam dan celana hitam, panjang. Kalau sampai ibu kenapa-kenapa, aku akan menjerit dan pasti anak tetanggaku yang baik itu akan menolong. Ibunya juga akan datang membantu. Tapi aku merasa takut. Hal tidak lazim apa akan menimpaku? Juga ibu? Aku mulai resah.
Tiba-tiba ibu memelukku dan mengalihkanku dari ruang tamu menuju kamar tidur. Tapi perasaanku mengatakan mereka sudah melihatku dan kenapa mereka diam saja? Aku ibu dudukkan di dinding amben kemudian berganti seragam dengan baju dan rok rumah, juga sandal. Kulihat gerak-gerik ibu tidak seperti adatnya. Aku ingin sekali memeluk ayah dan menanyakan kenapa lama sekali tidak pulang, Ayah baik-baik saja? Kita semua kangen Ayah. Namun kemudian ibu lebih cepat bertindak, ia mengajakku ke dapur dan memutar kepalaku saat hendak curi-curi pandang ke ruang tamu ketika dalam gendongan menuju dapur.
Seperti biasa saat ayah pulang: Ibu selalu menyiapkan makanan yang sekarang aku jadi suka makanan-makanan itu; lepet, ikan asap, sate sapi dan keju. Ibu menemaniku makan. Hanya melihatku makan. Tanpa ekspresi dan pastinya berusaha melupakanku tentang kapan ayah datang? Sudah lama? Siapa kedua orang hitam itu? Dan aku berusaha melongok ke ruang depan yang sebenarnya bisa kulihat kalau kupanjat kusen jendela.