Gwen kecil melihat dunia penuh dengan kekerasan, kekejaman, orang jahat yang sewaktu-waktu bisa menghancurkannya hingga dia beralih menulis untuk mengutarakan isi hatinya.
Buku adalah benda yang membuat dia seperti berada di dunianya sendiri, lupa dengan dunia yang ia pijakan, hingga membuatnya menjadi kan teman pertamanya.
Untuk dia yang tidak pandai mengekspresikan diri kepada semua orang itu sulit, dia lahir dengan kekurangan tidak mempunyai kepercayaan diri untuk tampil berani. Semua itu semenjak kedua orang tuanya pisah dan mengharuskannya ikut bersama ibunya untuk menikah lagi.
Dia percaya bahwa dia bisa membuat suatu hubungan tanpa mengikuti jejak orang tuanya tapi harapan itu sirna saat berpacaran dengan Dani. Lelaki yang dulu dia tahu bisa menjaganya saat kesepian, mengajarkan dengan kebaikan tapi membuatnya menderita secara perlahan. Sama saja tak ada bedanya dengan orang brengsek di luar sana.
Gerimis sore itu terlihat damai, Gwen beralih duduk di pinggiran danau sembari menenangkan diri dari realita hidupnya.
"Bu, maaf. Ibu menduduki kertas ujianku," ujar lelaki yang memakai seragam putih abu-abu.
Gwen mendongak melihat wajah polos itu sambil bergeser mengambil kertas ujiannya, di sana tidak ada yang berharga hanya terdapat tulisan nama dan mata pelajaran selebihnya kosong.
"Kau bercanda?" tebaknya membuat lelaki SMA itu tertawa.
"Serius amat sih Bu, nanti kesurupan loh!" kekehnya. Gwen tersenyum mendengar hal itu, dia menyadari dirinya memang hanya menghabiskan menghayal di pinggir danau tanpa melakukan apapun.
Anak SMA itu duduk di samping Gwen lalu mengulurkan tangannya. "Nama saya Habib." Gwen tidak membalas dia malah menurut tangan lelaki itu. "Iya aku tau."
Kening lelaki yang bernama Habib naik sebelah. "Kalau tahu kenapa tidak perkenalan diri sendiri? Aku kan belum tahu nama Ibuk."
Gwen cemberut mendengar dia di panggil ibu. Namun apa boleh buat dia memperbolehkan karena dia masih SMA bukan seumurannya.
"Aku Gwen."
"Sip Ibu Wen!"