“Maaf, kami terpaksa mengembalikan Dimas pada anda. Para guru sudah menyerah mengatasi kenakalan putra, Ibu.”
“Baik, Pak. Saya mengerti, saya akan mendidik Dimas lebih baik lagi di rumah.”
Sepenggal percakapan itu terdengar jelas di telinga Dimas. Namun Dimas yang sedang duduk di luar ruang BK justru sibuk memainkan ponsel, dan hanya menganggapnya angin lalu percakapan itu. bagi Dimas itu sudah menjadi hal yang biasa, karena ini bukan pertama kalinya ia dikeluarkan dari sekolah. Sejak menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama hingga kini Dimas kelas tiga sekolah menengah atas, sudah tidak terhitung lagi berapa kali ia berpindah sekolah setelah dikeluarkan akibat kenakalannya.
Menyesal?
Tidak ada kata menyesal dalam kamus hidup Dimas. Ia sudah cukup muak dengan hidup ini, hingga tidak lagi mempedulikan apa yang terjadi disekitarnya. Semua yang ia lakukan hanya berdasarkan pelarian yang tidak seorangpun mengetahuinya. Rasa kecewa yang mendalam atas sikap ayahnya yang terlalu dingin, mempengaruhi emosi Dimas yang tengah berada dalam tahap labil. Bukan karena Dimas haus pujian, tetapi ingin rasanya mendengar ayahnya sedikit saja memuji hasil prestasi atau sedikit saja memperhatikannya. Namun sampai saat ini, semua itu hanya dalam mimpi Dimas.
Dimas mengalihkan perhatian dari ponsel, ke arah ibunya yang baru saja keluar dari ruang BK. Ibunya tersenyum seperti biasa, tidak terlihat amarah yang meledak mengetahui putra satu-satunya ini yang kembali membuat beliau kecewa. Ibunya mengusap pundak dan mengajak Dimas pulang. Sepanjang perjalanan, Dimas tidak menanyakan apapun pada Ibu. Karena Dimas tahu, setelah ini akan ada sekolah lain yang harus didatangi Dimas untuk bersekolah.
Sekali lagi Dimas menoleh ke arah Ibunya yang sudah tenggelam memperhatikan jalan di depan. Seakan merasakan sejak tadi ia memperhatikan beliau, Ibunya menoleh ke arah Dimas sekilas, kemudian mengusap kepalanya seraya tersenyum.
“Kita akan ke rumah nenek. Ayahmu sudah setuju, kamu pindah sekolah di sana,” ucap Ibunya. “Tenang saja. Mama juga akan tinggal di sana sampai kamu lulus.”
Pikiran buruk menghantam telak hati Dimas. Jadi sekarang Ayah benar-benar akan membuangku? Pikir Dimas.