Decakan keluar dari mulut Dimas saat merasakan tangan yang digunakannya menggenggam ponsel, tersenggol Eko yang sejak tadi bergurau dengan Agus. Seketika konsentrasinya bermain FF terganggu. Dimas menatap Eko yang tercengir, menyadari telah mengganggunya. Dengan malas ia mengubah posisi duduk agar tidak tersenggol manusia yang masih terus bergurau dengan Agus. Belum ada guru yang masuk ke kelas, itulah sebabnya ruangan berpenghuni lima belas orang ini bagaikan kapal pecah yang sedang mengarungi samudra. Kebetulan dikelas ini hanya ada enam perempuan, jadi kelas ini benar-benar dikuasai kaum laki-laki.
Sudah empat bulan lamanya, Dimas bersekolah di kota kecil tempat kelahiran ibunya. Ini merupakan rekor terlama buat Dimas berada disuatu sekolah. Mungkin karena murid-murid sekolah ini hampir sama dengannya yang kelewat nakal, sehingga Dimas merasa betah di sini. Guru-gurunya pun seakan tidak ambil pusing dengan kelakuan muridnya, yang lebih bisa dibilang preman sekolah dibandingkan dengan murid teladan. Namun tidak semua murid seperti itu, karena terlihat masih ada beberapa murid yang rajin belajar meski bisa dihitung dengan jari.
SMA Pancasena ini memang bukan sekolah favorit kota ini. Justru di luar sana, sekolah ini memang terkenal dengan sekolah berandalan. Sekolah kaum murid terbuang karena murid-murid di sini berasal dari keluaran sekolah lain. Hebatnya, sekolah yang hanya memiliki tiga kelas dengan masing-masing satu kelas per angkatan ini, selalu berhasilkan meluluskan semua muridnya tanpa terkecuali. Tidak ada murid yang pernah dikeluarkan dari sekolah ini. Bahkan anak kelas dua ada yang tengah hamil lima bulan saja masih melenggang dengan leluasa memasuki kelas untuk mengikuti pelajaran, tanpa mengkhawatirkan perutnya yang semakin terlihat membuncit.
Dimas melirik Eko yang berniat duduk di kursi samping. Pelan-pelan ia menggeser kursi itu ke belakang, menjauhi pantat Eko yang sudah bersiap menyentuh kursi. Karena dia duduk sambil berbicara dengan Agus, Eko tidak menyadari kursi itu sudah di luar jangkauannya. Dalam hitungan detik, Eko sudah terjerembab di lantai seraya menyumpah-nyumpah saking terkejutnya. Eko menoleh ke arah Dimas dengan wajah tertekuk kesal.
“Makanya, punya mata dipakai,” ujar Dimas terkekeh.
“Sialan. Untung jantungku kuat.” Eko mengelus dada untuk meredakan detak jantungnya yang berpacu cepat.
Melihat itu, Dimas dan Agus justru terbahak-bahak. Sebenarnya Eko dan Agus adalah teman dekat Dimas di SMA ini. Kemanapun pergi, mereka selalu bersama. Bahkan mereka sangat kompak kalau urusan membolos sekolah. Biasanya kalau malas sekolah, mereka akan berada di Warnet untuk bermain game online. Kebetulan tidak jauh dari sekolah mereka, ada sebuah Warnet yang menjadi tempat nongkrong anak-anak sekolah.
“Ini gurunya mana sih, dari tadi kagak nongol-nongol,” sungut Agus.
“Paling maen gaplek di pasar,” sahut Eko sekenanya.
Dimas yang mendengar ucapan Eko cuma bisa tertawa. Teman Dimas yang satu ini memang sesukanya sendiri kalau bicara. Tidak ada lagi yang menganggap ucapan Eko adalah hal yang serius.
“Emangnya, kamu, biasa maen gaplek sama dindong tiap kliwonan!” sembur Agus.