Mencintai adalah hak setiap manusia. Rasa cinta hadir begitu saja tanpa bisa kita atur kapan datang dan kapan cinta itu harus pergi. Hati tidak bisa dipilih atau memilih. Mengapa harus memilih jika aku mencintai keduanya.
Keduanya? Yakin? Kenapa aku terlambat mengenalmu? Seandainya saja kita dipertemukan jauh sebelum aku terjerat pada pernikahan ini. Terjerat? Pantaskah aku mengatakan pernikahan ini sebuah jeratan? Setelah sekian lama aku berkomitmen lalu bertemu denganmu, Sakha.
Bukankah cinta dan perasaan adalah anugerah yang Tuhan beri kepada setiap makhluk? Lantas, kenapa sekarang aku harus memilih kepada siapa aku harus memberikan cinta dan hatiku? Apa Tuhan menciptakan hati hanya untuk dipilih dan memilih? Ah, kurasa Tuhan tak sebercanda itu.
Ya! Tuhan memang sedang tak bercanda. Sekarang, aku merasakan jeratan yang sesungguhnya. Tuhan mendatangkan seseorang dalam hidupmu tidak selalu untuk menetap, tapi bisa juga hanya untuk singgah. Begitu juga dengan semesta. Kupikir semesta akan mempersatukan kita tapi nyatanya hanya sekadar mempertemukan.
Cinta dan luka, mengapa harus menjadi satu paket sih? Boleh, kalau kupesan tanpa harus mendapatkan keduanya?***
Pagi di kota Jakarta, tak ada yang istimewa bagi sebagian besar masyarakatnya terkecuali Sinta. Sejak mengenal Sakha, pagi adalah waktu yang paling Sinta tunggu daripada malam. Bertemu dengan Sakha. Ya, waktu yang paling Sinta nantikan. Bukan pertemuan pertama tapi setiap kali Sinta bertemu dengan Sakha, rasanya akan tetap sama seperti pertemuan pertama. Gemuruh hebat yang terasa seperti ledakan, masih dapat Sinta rasakan meskipun sering kali mereka saling jumpa.
Sinta menarik paksa napasnya yang terasa sesak, menahannya sebentar dan membiarkannya di dada. Sinta memejamkan matanya sejenak dan membiarkan dirinya merasakan tekanan yang begitu kuat sebelum kemudian mengembuskannya begitu saja. Jantungnya semakin berdegup kencang saat Sinta menyadari bahwa kini cinta dan sayangku tumbuh semakin dan menjadi begitu besar pada Sakha, laki-laki yang baru saja dikenal dua bulan yang lalu.
Tanpa disadari, air mata menetes begitu saja membasahi sebagian wajah cantik Sinta. Perempuan cantik itu lalu menatap sekilas pada Sakha yang berdiri di depannya. Sinta sengaja membiarkan air matanya bergulir dan tak menghapusnya karena semakin dia usap semakin deras air matanya keluar.
Sakha yang berdiri di hadapan Sinta sejak kedatangannya setengah jam yang lalu pun tak bisa berbuat apa-apa. Sakha hanya bisa terdiam dan sesekali berpandangan dengan Sinta sambil tersenyum tipis.
“Salah kalau aku mencintaimu?” tanya Sinta dengan suara tercekat. Hati perempuan introver itu seperti tercelus. Sangat tercelus. Sinta sadari, mencintai Sakha adalah kesulitan yang dia ciptakan sendiri. Atau bahkan racun yang sengaja dia campurkan pada segelas susu minuman kesukaannya.
Mendengar pertanyaan Sinta, lagi-lagi Sakha hanya bisa terdiam. Tak membenarkan juga tak menyalahkan. Wajahnya seperti sengaja dibuat datar mencoba menutupi rasa gamangnya karena mencintai Sinta adalah suatu kesalahan.
“Jawab!” seru Sinta merengek seperti anak kecil.
Sakha membuang pandangannya sejenak, memindai sepatu yang tersusun rapih di raknya karena Sinta baru saja membereskannya sesaat setelah Sakha tiba. Sakha seperti berpikir. Tak lama kemudian Sakha mendekat ke Sinta. Duduk bersebelahan dengan perempuan yang terisak karenanya. Jemarinya dengan cepat mengusap air mata yang sedari tadi bergulir di pipi merah Sinta sebelum kemudian laki-laki pemilik senyum termanis itu memeluk tubuh Sinta dengan erat.
“Kamu selalu saja bisa membuatku semakin jatuh cinta Ka,” gumam Sinta dengan suara manja. Lagi-lagi Sakha hanya terdiam. Tapi meskipun Sakha tak berkata apa-apa Sinta merasa pelukannya terasa menarung sampai ke dinding hati Sinta.
“Yaudah aku lepasin,” seru Sakha tanpa sedikitpun merenggangkan tubuhnya.