Terkadang, kita tak paham mengapa tiba-tiba saja kita dipertemukan dengan seseorang yang benar-benar tak pernah terlintas sama sekali. Kenapa aku bisa mengenal kamu dengan begitu cepat? Kamu orang asing bagiku tapi mengapa rasanya seperti aku sudah mengenal lama kamu, Sakha.
Trabas Sainskerta Mediatama (TSM) adalah perusahaan rintisan yang mengerahkan para pemuda yang kreatif dan cinta pada negeri. Perusahaan yang bergerak dalam bidang informasi dan media massa ini memiliki visi mengenalkan kekayaan serta ragam budaya Indonesia pada dunia.
Trabas Sainkerta Mediatama (TSM) adalah salah satu perusahaan impian Sinta sejak dulu. Passion-nya pada bidang tulis menulis serta kecintaannya pada alam Indonesia membuat Sinta bersikeras untuk dapat bergabung dengan perusahaan ini.
“Mas Sakha, ini sudah selesai. Bisakah diperiksa sekarang?” ucap Sinta setelah menghampiri laki-laki yang sedang memusatkan pandangannya pada monitor yang berada di depannya setelah Sinta mengetuk pintu dan Sakha mempersilahkannya masuk.
Sakha mengangkat setengah wajahnya lalu menoleh. Menyenyumi Sinta dengan senyuman manisnya. “Harus sekarang?” tuturnya dengan sangat ramah.
Sinta balik tersenyum. “Kalau bisa,” ucap Sinta merasa dirinya terdesak.
Sakha tersenyum kecil lalu menggeleng pelan. “Maaf, aku masih sibuk. Nanti saja ya,” kilah Sakha bangun dari duduknya, matanya mendelik pada Sinta yang terlihat kecewa.
Sinta mengangguk pelan seraya tak puas dengan jawaban Sakha. Matanya yang tadi membulat kini seketika seperti menggeriap. “Tapi Mas, sebentar saja. Ini proposal pertamaku. Tapi bisa jadi karena proposal ini… ini jadi hari terakhirku,” gumam Sinta dengan nada suara dibuat sengaja seperti memelas.
Sakha tersenyum. “Iya. Nanti aku periksa. Tapi nggak sekarang ya,” jawab Sakha masih dengan keramahannya.
Sinta mengangguk. “Baik, aku permisi dulu. Maaf sudah mengganggu waktunya. Terima kasih,” ujar Sinta sebelum kemudian berbalik badan dan segera melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerja Sakha.
“Tunggu!” suara Sakha tiba-tiba menghentikan langkah Sinta.
“Sini kubaca,” Sakha menghampiri Sinta dan tangannya meraih berkas dari tangan Sinta kemudian berjalan dan kembali duduk di belakang meja kerjanya.
Seketika Sinta terkejut tapi wajahnya terlihat merona. Baru kali pertama Sinta bertemu dengan Sakha. Sinta merasa apa yang dikatakan temannya benar. Dia laki-laki yang ramah dan baik. Sinta lalu memutar badannya searah jarum jam. Kini, Sinta kembali berhadapan dengan laki-laki ramah itu.
Sinta, perempuan cantik yang baru magang selama satu bulan ini masih mematung saat Sakha membuka berkas dan mulai membacanya. Sesekali Sakha menatap sekilas pada Sinta kemudian sesaat dia terdiam, jemarinya memainkan pena. Sebentar-sebentar pena itu dia ketukan ke dahinya seraya berpikir lalu kembali menatap Sinta yang sedari tadi masih berdiri di hadapnya.
“Hei, kamu mau berdiri sampai kapan?” celetuk Sakha mengejutkan Sinta yang sejak tadi tangannya memilin ujung baju yang dia kenakan.
Mendadak Sinta merasa grogi. “Boleh duduk?” jawab Sinta sebisanya. Bibirnya membentuk simpulan kaku untuk menutupi rasa gugupnya.
Laki-laki tampan itu tertawa. “Bolehlah, sini!” Sakha bangkit dari duduknya dan menyeret kursi lalu didekatkan dengannya. Persis bersebelahan dengannya.
Kedua bola mata Sinta membeliak. Ujung sudut bibirnya ditarik. “Di sini?”
Sakha tergelak. “Ya sudah! Kalau nggak mau, kamu boleh duduk di ujung sana,” tangan Sakha menunjuk kursi yang berada di pojokan.
Sinta memalingkan wajahnya, menatap kursi yang berada di pojokan lalu mengerjap, masih berdiri di hadapan Sakha. “Serius? Di sana mas?” tanya Sinta kebingungan. Sinta tak tahu harus bereaksi seperti apa karena ini adalah kali pertama Sinta bertemu Sakha walau Sinta sudah hampir sebulan magang di perusahan ini tapi Sinta hampir tak mengenali bagaimana sifat dan karakter laki-laki berwajah maskulin ini.
Lagi-lagi Sakha tergelak. “Udah ah, sini duduk!” Sakha mendekat lalu meraih tangan Sinta dan memintanya untuk duduk bersebelahan. Dekat. Sangat dekat.
Sinta menurut ketika Sakha menarik tangannya dan menyuruhnya duduk di kursi yang disediakan Sakha. Mereka duduk berdampingan. Lengan baju mereka saling menyentuh. Ini membuat Sinta, perempuan introver ini merasa semakin canggung. Sinta lalu sedikit menggeser kursinya menjauh dari Sakha.
Sakha menoleh, menatap heran pada Sinta. “Kenapa digeser?” tegur Sakha sembari mengangkat kedua alisnya yang tebal.
Sinta menegakkan tubuhnya lalu meringis. “Sempit mas!”
Sakha menggeleng dengan senyum samar melengkung di wajah tampan Sakha. Sakha lalu ikut menggeserkan kursinya menjauh dari Sinta.
“Ehm, kenapa digeser mas?” Sinta memandang sekilas wajah Sakha.
“Sempit!” balas Sakha seraya menahan tawa. ***