Kota Jakarta, selain sebagai jantung ibu kota negara juga sekaligus kota tersibuk se-Asia Tenggara ini tak pernah sepi. Kota Jakarta dan manusia adalah ikon yang tepat untuk menggambarkan bahwa kota Jakarta sebagai denyut nadi bagi mereka yang selalu bergerak. Bahkan 24 jam adalah waktu yang sangat singkat bagi mereka yang tenggelam bersama kehirukpikukan kota besar ini.
Sejak kepindahan Sinta tiga bulan yang lalu, Kota Jakarta menjadi bagian dari serpihan hidup Sinta. Perempuan cantik yang lahir dan besar di sebuah kota yang cukup jauh dari Jakarta ini harus mampu beradaptasi agar dapat merasakan kenyamanan yang ditawarkan dari kota besar ini, meski sulit. Kepindahan Sinta ke Jakarta bukan keinginannya tapi semata-mata hanya mengikuti Doni. Sebagai seorang isteri, Sinta perempuan cantik yang dididik dengan norma menyadari betul kewajibannya.
“Aku harus ikut mas? tanya Sinta seraya menyendokkan nasi ke piring lalu menggusurkannnya ke Doni yang duduk berseberangan dengan Sinta.
Doni meraih piring dari tangan Sinta. “Iyalah. Masa enggak!”
“Kenapa mendadak sih mas? Biasanya kamu selalu diskusikan ini terlebih dulu kan?” Sinta menghela napas.
“Bukannya kamu juga ingin pindah kan?” gumam Doni setelah memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya.
“Iya sih tapi kan kerjaanku…” Sinta tak melanjutkan kalimatnya.
“Akhir bulan ini kita pindah. Dan kamu masih bisa buat siapin semuanya kan?” tandas Doni sebelum memasukkan kembali makanannya ke dalam mulut.
Sinta terdiam, mengangguk seraya setuju dengan Doni meskipun tidak sepenuhnya. Sinta memang ingin sekali pindah dari kota ini. Tapi entah kenapa kabar perpindahan Doni yang mendadak ini justeru membuat Sinta seperti mendapat firasat buruk.
Sinta masih duduk selama beberapa saat ketika Doni pamit beranjak menuju ruang kerjanya setelah laki-laki bertubuh tinggi itu benar-benar menghabiskan isi piringnya dan satu buah jeruk Sunkist yang katanya rasanya cukup manis. Doni memang selalu begini. Sepulang kerja dia masih harus terus bekerja. Menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum beres dia kerjakan di kantor. Tak jarang dia selalu tertidur di meja kerjanya. Mungkin karena saking terlalu lelah dia bekerja.
Sinta duduk menyandarkan bahunya pada kursi yang kayu yang warnanya senada dengan warna meja makan. Matanya menatap piring kosong dan beberapa piring yang berisi lauk kesukaan Doni. Sinta menarik pendek napasnya lalu tangannya mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja kemudian menghubungi Tiara, salah satu sahabat dekatnya.
“Ra, kamu pernah ngalamin hampa gitu?” tanya Sinta dari balik ponselnya sesaat setelah Tiara mengangkat teleponnya.
“Kamu ini kalau telepon ucapin salam dulu kenapa?” gerutu Tiara.
“Eh iya Ra! Sorry.”
“Kamu kenapa? Malam-malam telepon tanya yang aneh-aneh.”
“Aku ngerasa kayak ada firasat jelek Ra.”
“Kamu ada masalah?” tanya Tiara curiga.
‘Enggak!” jawab Sinta seraya menggelengkan kepalanya.
“Tapi Ra…”
“Udah nggak usah dipikirin mungkin kamu lagi capek ajah Sin,” potong Tiara dengan cepat.
Tiara, perempuan berusia lebih muda dari Sinta ini bekerja sebagai editor di salah satu penerbit indie di kota Bandung. Sinta kenal dengan Tiara karena mereka tergabung dalam satu komunitas menulis sejak dua tahun yang lalu.
“Doni baik-baik aja kan?” Tiara menambahkan. Suaranya seperti cemas.
Sinta mengangguk. Ponselnya masih melekat di telinga kirinya. “Iya baik. Kita mau pindah ke Jakarta. Akhir bulan ini.”
“What? Pindah? Mendadak?” nada suara Tiara seperti terkejut.
“Nggak tahu Ra. Doni baru tadi ngabarin aku.”
“Ehm… mungkin karena ini Sin kamu ngerasa kayak hampa. Di Jakarta kamu nggak ada sanak saudara kan. Wajarlah.” Tiara mencoba menenangkan sahabatnya.
“Apa iya Ra?” tanya Sinta mencoba meyakinkan apa yang dikatakan sahabatnya adalah benar.
“Iyalah. Di sana kamu nggak ada siapa-siapa kan Sin. Wajar. Itu ketakutan kamu aja. Udah deh nggak usah dipikirin. Pikirin tuh badan kamu makin ke sini makin kecil aja.”