Pagi di kota Jakarta. Berlatar langit jernih cerah berawan. Matahari bersinar benderang. Seperti biasa, jalanan di sekitar tempat Sinta tinggal selalu ramai dan dipadati dengan kendaraan bermotor. Di antara banyak kendaraan itu ada laki-laki berpakaian rapi juga berdasi duduk di belakang mercy. Ada juga yang berpakaian santai kaus oblong dengan celana pendek di atas lutut, tangannya memegangi stang motor metik. Begitupun juga dengan para pejalan kakinya. Ada yang berjalan terburu-buru, ada juga yang berjalan santai sambil tangannya memainkan ponselnya.
“Benar-benar ramai kota Jakarta ini,” pikir Sinta dalam hati saat mengedarkan pandangannya keluar dari atas jendela kamarnya.
Sinta yang sudah bersiap dengan pakaian kasual berwarna pastel yang dipadukan dengan kaus dan outer yang berwarna senada dengan celana baggy yang dia kenakan, duduk menunggu taksi online datang menjemput. Sesekali perempuan cantik itu menatap layar ponselnya untuk memantau sampai di mana taksi yang dia pesan.
Bip.
10.10 Pesan masuk.
Kamu di mana Sin?
10.11 Pesan keluar.
Kamu sudah sampai?
Lagi nunggu taksi datang nih, lama. Sorry ya.
Bip. 10.12 Pesan masuk.
Hehehe. Tahu begitu tadi sekalian kujemput Sin.
Bip. 10.13 Pesan keluar.
Nggak usah kan kita beda arah. Nanti malah kena macet makin lama.
Bip. 10.15 Pesan masuk.
Hehehe. Nggak apa-apa kan macetnya juga sama kamu.
Bip. 10.16 Pesan keluar.
Eh, taksiku datang. Udah dulu ya.
Bip. 10.17 Pesan Masuk
Hehehe. Oh Oke. Aku tunggu. Hati-hati ya!
Sinta, perempuan periang, cantik, dan berkulit sawo matang berusia tiga puluh lima tahun. Magang di perusahaan yang bergerak dalam bidang jurnalistik sebagai content writer. Perempuan ramah ini sudah menikah dengan Doni selama lima tahun dan sudah dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik. Rumah tangga Sinta bersama Doni dikatakan baik-baik saja meski di awal pernikahannya, selalu berselisih paham dan itu hal yang biasa.
“Mas Doni, ini apa-apaan sih baju kotor kenapa di simpan di sini?”
“Apaan?”
Ini!”
“Iya lupa tadi mau aku masukin ke mesin cuci,” elak Doni memungut baju kotornya yang tergeletak begitu saja di kasur lalu memasukannya ke dalam mesin cuci.
“Ini apa lagi sih? OMG!” teriak Sinta terdengar dari kamar.
“Apa?” tanya Doni menghampiri Sinta.
“Ini. Kenapa jadi berantakan? Aku capek-capek beresin semuanya. Kamu enak aja asal tarik. Kamu nggak tahu gimana capeknya nyuci, nyetrika?”
“Iya maaf tadi aku buru-buru. Tadi juga aku niatan beresin ko cuma kamu keburu suruh aku masukin baju kotor ke mesin cuci.” Doni membela diri.
Sinta mendengus. “Alasan!”
Setiap hari memang seperti ini. Ada saja yang membuat Sinta berselisih paham dengan Doni. Menyatukan dua manusia memang tidak mudah. Awal pernikahan yang benar-benar menggelitik bagi Sinta. Doni yang tidak disiplin memiliki karakter yang bertolak belakang dengan Sinta yang menyukai kerapihan dan disiplin yang tinggi.
Perempuan yang suka kerapihan ini bisa saja kepalanya mendadak pusing saat melihat sesuatu yang berantakan atau benda yang tidak diletakkan sebagaimana mestinya.
“Kunci mobil di mana? aku mau manasin mesinnya,” tanya Doni seraya mondar mandir mencari kunci.
“Terakhir disimpan di mana?” Sinta bertanya balik. Suaranya terdengar kesal. Ini bukan kali pertama, kedua, ketiga atau bahkan lebih Doni lupa menaruh kunci mobilnya.
“Semalam aku simpan di dekat TV.” Doni melilitkan handuknya ke leher.
“Yakin?"
"Iya semalam aku simpan di situ."
"Berani taruhan?"
"Enggak," Doni meringis, merasa ragu.
Sinta mengangkat sedikit kepalanya. "Aku lihat ada di atas kulkas!” jawab Sinta dengan nada kesal. Tangannya sibuk menggoreng ayam kesukaan Doni.
“Makan dulu,” imbuh Sinta sembari kembali menoleh kepada Doni yang berdiri di belakangnya sambil mulutnya komat kamit kepanasan memakan tahu goreng gimbal yang baru saja diangkat dari minyak panas.
"Bentar mau manasin mobil dulu," sahut Doni sembari berlalu.
Tak lama kemudian Doni kembali berdiri di belakang Sinta. Kali ini Doni mencocol udang goreng tepung dengan saus mayonaise rasa keju.
"Makan dulu mas?" Sinta menawarkan.
“Nanti deh, aku mau mandi dulu,” seru Doni seraya kembali berlalu dan berjalan buru-buru menuju ruangan servis yang letaknya di sebelah dapur untuk mengambil handuk.
"Handuk mana?" Doni melongokkan kepalanya.
Sinta mengendikkan bahunya tanpa menoleh. "Ya ditempatnyalah mas!"
"Nggak ada..." teriak Doni dari balik dinding sebelah.
"Cari yang benar mas!"