Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?

Shinta Puspita Sari
Chapter #5

#5

Tak terasa waktu bergulir. Lebih dari sembilan puluh menit Sinta dan Sakha berada di kafe. Sejak hanya beberapa meja yang terisi sampai hampir semua meja terisi. Mereka berbincang banyak hal termasuk proyek pertama Sinta di Pulau Maluku.

“Kamu serius mau meliput acara adat Cuci Negeri Soya?” tanya Sakha setelah memasukan potongan Croffle ke dalam mulutnya.

“Ya, memang kenapa?”

“Memang suami kamu mengijinkan?”

Sinta menggeleng. “Aku belum menceritakannya.”

“Lantas kenapa kamu sudah mengusulkan proyekmu?” Sakha seperti tak mengerti.

“Aku bisa mencari alasan untuk itu.”

“Aku temani kamu,” seru Sakha dengan senyum simpulnya.

“Nggak perlu. Ini tugasku. Nanti apa kata yang lain melihat kamu pergi bersamaku.”

“Kamu tahu seperti apa kegiatannya?”

Sinta menggeleng. “Yang kutahu acara adat ini warisan budaya yang selalu dijaga kelestariannya. Inti dari acara ini tentang pembersihan lingkungan negeri. Semua masyarakat diajak untuk membersihkan hati dengan mencuci tangan, kaki dan muka di air Wai Werhalouw. Itu yang kubaca dari google,” seru Sinta seraya tersenyum kecil.

Sakha menghela napasnya. Meletakan garpunya lalu melipatkan kedua tangannya ke meja. “Lain kali kalau kamu mengusulkan proyek, pelajari lebih dalam dulu,” protes Sakha seraya menggelengkan kepalanya.

“Salah satu tahapan acara cuci negeri ini naik ke puncak Gunung Sirimau. Kamu tahu?” Sakha menatap lekat perempuan di depannya.

“Nggak!” jawab Sinta polos.

“Astaga Sinta!” Sakha kembali tergeleng-geleng. Wajahnya terlihat seperti gregetan.

“Ini dilakukan saat hampir tengah malam. Kamu tahu?” Sakha mulai terlihat geram.

Lagi-lagi Sinta menjawab. “Nggak!” Sinta kembali memasukan potongan Croffle ke dalam mulutnya.

Sakha menghela napasnya seraya kesal dengan Sinta. “Para pemuda lelaki yang berasal dari Soa Pera berkumpul di Teung Tuniso. Mereka dengan memakai kaus dan celana hitam, bergerak menuju puncak gunung Sirimau dengan tetabuhan tifa dan gong. Dan mereka baru akan turun gunung keesokan harinya. Aku nggak bisa melepasmu begitu saja,” papar Sakha dengan pelan-pelan.

“Tapi ini proyek pertamaku. Dan kamu sendiri yang menyetujuinya kan?” gerutu Sinta setelah menyandarkan tubuhnya. Tangannya menangkup ke dadanya. Sinta terlihat kesal.

“Kamu bisa menggantinya kan Sinta,” Sakha mengingatkan. Kedua alisnya terangkat.

Sinta memutar kedua bola matanya. “Sama saja aku nggak bertanggung jawab.”

“Bukan masalah tanggung jawabnya, tapi aku khawatir melepaskanmu sendiri meliput acara cuci negeri itu. Dan itu sangat jauh!”

Sinta mencebik. “Terus? Bilang saja kamu meragukan kemampuanku. Iya kan?”

“Siapa yang meragukan? Aku nggak pernah bilang seperti itu.”

“Kamu melarangku untuk meliput acara cuci negeri itu sama aja kamu meragukan aku.” Sinta mulai mendebat.

“Bukan meragukan Sinta, aku khawatir. Kamu perempuan dan pergi sejauh itu sendiri.”

“Kalau kamu tetap dengan proyekmu. Aku terpaksa temani,” sambung Sakha dengan suara meninggi.

Sinta menggeleng. Kedua ujung bibir Sinta ditarik lurus. Sinta menyondongkan badannya ke depan. Matanya membulat. Wajahnya di dekatkan dengan wajah Sakha. Sakha menelan ludahnya. Laki-laki yang memiliki senyum manis itu bergeming menatap wajah Sinta dari dekat.

“Terpaksa temani?” Sinta mengulang ucapan Sakha.

“Dengan senang hati aku akan menemanimu Sin.” Sakha balik mendekatkan wajahnya pada Sinta dan menatap wajah cantik Sinta beberapa saat tanpa mengedip.

Sinta menurunkan tatapannya. Memindai piring yang berisi potongan Croffle terakhirnya. Sinta kembali memasukan potongan Croffle ke dalam mulutnya lalu mengangkat kedua bahunya. “Ok! Tapi tolong hentikan tatapanmu Mas!” Sinta kembali menyandarkan punggungnya pada kursi.

Sakha tersenyum kecil. “Kenapa? Takut jatuh cinta?” tanya Sakha masih menatap Sinta.

Lihat selengkapnya