Jadi, Boleh Aku Mencintaimu?

Shinta Puspita Sari
Chapter #6

#6

Pukul satu dini hari, Sinta masih berdiri mondar mandir di depan teras rumahnya. Sesekali mata yang bulat menatap ke arah luar pagar rumahnya. Sinta terlihat cemas. Tangannya mendekap ke dada. Sesekali kedua telapak tangannya dia gosok-gosokkan lalu kembali menangkup badannya sendiri. Gerimis tadi sore ternyata cukup membuat perempuan cantik ini merasa kedinginan. Sinta merogoh ponselnya yang dia simpan di saku celana tidurnya yang bermotif abstrak berwarna merah muda. Jemarinya dengan cepat menggulir beberapa kontak pada ponselnya. Mencari nama yang mungkin saja bisa membantunya untuk mengetahui keberadaan Doni.

“Sial! Aku nggak punya nomor satupun teman dari mas Doni!” gerutu Sinta dengan kesal bercampur was-was.

Sinta memang tidak pernah membatasi Doni dalam hal apapun. Termasuk memeriksa ponselnya atau meminta nomor telepon teman-teman Doni. Sinta pikir buat apa mengetahui banyak hal dari ponsel suaminya. Sinta memang percaya, Doni tidak akan pernah macam-macam, meskipun sikap Doni seringkali membuat Sinta seperti kurang perhatian.

“Ya Tuhan, jam berapa ini?” tanya Sinta sesaat setelah melirik jam yang tergantung tepat di dinding rumahnya yang berwarna krem.

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif.” lagi-lagi hanya suara mesin penjawab otomatis yang menjawab sambungan telepon Sinta.

Sinta kemudian duduk. Menyandarkan punggungnya yang terasa capek. Tangannya masih memainkan ponselnya. Sinta membuka Instagram dan Facebook, barangkali ada orang yang bisa Sinta temukan. Teman kantor Doni mungkin, agar Sinta bisa menanyakan sesuatu hal tentang Doni.

“Ya ampun, akupun nggak tahu siapa saja nama teman Mas Doni. Gimana aku bisa mencari temannya ya,” keluh Sinta dalam hati. Sinta semakin khawatir.

Perasaan perempuan introver itu mulai kalut. Sinta lalu bangkit dari duduknya. Merentapkan kakinya ke dalam rumah, menaiki satu per satu anak tangga. Dibukanya pintu kamar yang bergambar poster Putri Elsa. Sinta menatap dari kejauhan putri kecilnya yang sudah terlelap sejak dua jam yang lalu. Setelah Sinta memastikan putrinya benar-benar terlelap, Sinta kembali melangkahkan kedua kakinya menuruni anak tangga untuk mengambil segelas air dingin dari kulkas yang berada di dapur kemudian duduk di sofa ruang tamu sembari meneguk minumannya sampai habis.

Tak berapa lama, perempuan yang gemar menulis ini kemudian mendadak bangkit tiba-tiba saat terdengar suara deruman mobil yang masuk ke halaman rumahnya.

“Dari mana aja sih mas?” tanya Sinta dengan kesal. Menghampiri mobil Doni yang sedang melaju pelan memasuki pekarangan rumahnya.

“Nggak dari mana-mana,” jawab Doni dari balik jendela mobil yang dibiarkan setengah terbuka.

“Aku capek banget,” seru Doni setelah memarkirkan mobilnya lalu keluar dari mobil sambil menenteng tas kerjanya yang berwarna hitam.

Sinta menggelengkan kepalanya seraya geram. “Mas kenapa susah dihubungi!” Sinta meracau.

“Hp-ku mati, lowbatt. Tadi nganterin temanku dulu. Dia nggak bawa mobil.” Doni menjawab sambil melepaskan sepatunya. Raut wajahnya terlihat seperti tak bersalah sedikitpun.

“Kamu belum tidur?” sambung Doni setelah melepaskan sepatunya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah.

Sinta yang berdiri di belakang Doni, menarik panjang-panjang napasnya. Wajahnya terlihat sengit. Sinta kemudian berjalan mendahului Doni dan mengabaikan pertanyaan suaminya. Perempuan yang merasa khawatir pada Doni itu menyeret kakinya cepat-cepat, menaiki anak tangga yang melingkar dan masuk ke dalam kamarnya.

Sinta tak habis pikir, pertanyaan Doni sangat konyol. Doni benar-benar tidak peka.

Sinta menutup pintu kamarnya dengan sedikit kencang lalu melompat ke pembaringan. “Kamu belum tidur?” Bibir Sinta komat kamit, memeragakan pertanyaan Doni yang membuat perempuan cantik ini merasa mengkal.

Tak berapa lama, Doni masuk ke kamar. Mengambil sepasang baju ganti dari lemari lalu memakainya. Sinta sengaja memiringkan badannya membelakangi Doni dan berpura-pura tidur karena kesal.

“Sudah tidur?” tanya Doni setelah memakai kaus.

“Ehm…,” respon Sinta datar masih dengan rasa kesalnya pada Doni.

Doni lalu tidur di samping Sinta. Matanya dia pejamkan. Tak lama kemudian Sinta membalikkan badannya.

“Mas sudah tidur? tanya Sinta sembari menatap mata Doni yang terpejam.

“Belum. Kenapa?” jawab Doni masih dengan kedua mata yang menutup rapat.

“Ada yang mau kubicarakan.”

“Apa?” tanya Doni singkat. Matanya masih terpejam. Tak mendelik sedikitpun pada Sinta.

“Aku berhasil melewati magang sebulan. Dan… akhirnya aku mendapat tugas pertamaku,” seru Sinta sangat antusias. Wajahnya terlihat semringah dan bersemangat.

“Apa tugasnya?” lagi-lagi Doni menjawab singkat. Ekspresinya datar dengan kedua mata yang belum juga dibuka.

Sinta bangun dari tidurnya. Duduk bersandar pada tumpukan bantal yang sudah Sinta susun di kasur. Sesaat Sinta terdiam, matanya melirik pada wajah Doni. Ada sedikit rasa kecewa. Kenapa Doni tak membuka sejenak matanya lalu mendengarkan Sinta bercerita. Atau sekadar berpura-pura antusias mungkin agar Sinta merasa diperhatikan.

Lihat selengkapnya