“Mau kemana pagi-pagi sudah cantik?” sapa Doni pada Sinta yang sudah duduk terlebih dahulu menunggu Doni di meja makan.
Sinta menatap heran lalu mengangkat kepalanya dengan angkuh. “Memang biasanya aku nggak cantik ya?” protes Sinta masih ketus. Wajahnya cemberut.
Doni mengerjap, menarik panjang sudut bibirnya. Doni bingung dengan respon Sinta. “Ya cantiklah. Setiap hari kamu cantik ko.”
Sinta tersenyum kecut. “Gombal!” sanggah Sinta sambil jemari tangan kanannya memainkan cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Entah mengapa kata cantik yang keluar dari bibir Doni tak sedikitpun menggetarkan hati Sinta.
Doni menggelengkan kepalanya seraya menarik kursi lalu duduk setelah menyimpan tas kerjanya di atas meja. “Kamu masih marah?”
Sekilas Sinta menatap suaminya lalu berpaling, matanya tertumbuk pada sepiring nasi goreng sosis yang ada dihadapannya. “Nggak tahu,” seru Sinta mengendikkan bahu.
“Ini masakan kamu? Enak!” puji Doni setelah memasukan satu sendok nasi goreng sosis ke dalam mulutnya. Doni mencoba membuat Sinta tersenyum.
Sinta mengerutkan dahinya. “Kemarin-kemarin nggak enak?” celetuk Sinta sambil menuangkan teh manis hangat ke dalam gelas lalu menaruhnya di dekat piring Doni.
Perkataan Sinta mendadak membuat Doni hampir tersedak. Doni semakin bingung menanggapi Sinta. Saat marah, perempuan memang paling jago membuat laki-laki seperti mati kutu. Dipuji salah, tidak dipujipun salah.
“Enak juga lah. Selalu enak malah. Restoran mahal kalah sama rasa masakan kamu,” ujar Doni melahap nasi goreng sosis buatan Sinta dengan penuh kenikmatan.
Sinta mencebik. “Bohong!”
Pujian Doni tak membuat perasaan kecewa dan kesal Sinta hilang. Ucapan Doni semalam sepertinya masih memenuhi pikiran Sinta. Sinta benar-benar tidak menyangka Doni menyuruhnya untuk resign.
Doni tampak kebingungan.
“Mau kuantar?” tanya Doni, kembali mencairkan suasana hati Sinta setelah beberapa saat mereka terdiam.
“Kemana?” lagi-lagi Sinta menjawab seadanya. Tangannya memainkan nasi goreng sosis yang berada di hadapannya.
“Kamu mau kemana? Ke pasar?”
Sinta menarik napasnya lalu embuskan begitu saja karena semakin merasa kesal. “Masa iya aku berpakaian begini ke pasar?” jawab Sinta menggelengkan kepalanya.
“Terus kemana?” selidik Doni tanpa mengalihkan pandangannya pada sepiring nasi goreng sosis miliknya yang hampir habis.
Lagi-lagi Sinta berdecak kesal. “Ke kantorlah!”
“Jadi mengundurkan diri kan?” celetuk Doni dengan mulut yang masih terisi makanan.
Sinta menoleh, menatap wajah Doni dengan mata membulat. Wajahnya terlihat seperti tak terima. Sinta tak menjawab dan lebih memilih diam karena sepertinya pertanyaan Doni hanya semakin membuat Sinta bad mood.
Lima menit kemudian. Sinta kembali melirik Doni dengan wajah berangasan. Sinta berpikir kenapa Doni tak juga mau mengalah demi Sinta. Apa salahnya Doni mengizinkan Sinta untuk tetap bekerja dan melanjutkan proposalnya. Membiarkan isterinya merasa bebas pergi kemana saja. Melakukan apa saja yang dia suka. Termasuk bepergian jauh ke Maluku tanpa Doni. Tanpa harus selalu ditemani Doni.
Apa pernikahan seperti itu? Membatasi perempuan untuk bisa melakukan apapun.
Doni mendongak, menatap wajah Sinta yang duduk berhadapan dengannya. “Jadi nggak?”
“Kenapa harus mengundurkan diri? Nanti aku coba revisi proposalku,” sambar Sinta setelah perempuan ini mengalihkan pandangannya dari wajah Doni.
“Bisa?” Doni memastikan. Matanya masih menatap Sinta yang terlihat ragu.
“Cuma nulis kan? Nggak kemana-mana?” Doni menambahkan.
Sinta terdiam hanya sesaat. Wajahnya merengut.
“Kenapa nggak boleh pergi sih? Kan bagus bisa menambah pengalaman. Bukannya mas Doni ingin aku mandiri? Aku bisa jaga diri mas. Mas Doni terlalu sering melarangku. Aku merasa nggak punya teman setelah menikah dan mas Doni terlalu memilih kerjaan aku. Kerja di sini nggak boleh. Di situ nggak boleh juga. Pergipun harus selalu bersama. Aku ingin punya waktu untuk diriku sendiri. Bahkan mas Doni mencari tahu tentang teman-teman aku kan di media sosial. Untuk apa?” protes Sinta dengan perasaan meledak.
Pada akhirnya perempuan introver itu merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mengutarakan semua beban di hati juga pikirannya selama ini.
Sinta lalu kembali terdiam dengan napas yang masih tak beraturan. Dadanya terlihat naik turun. Sinta merunduk, matanya kembali menatap piring yang hanya terisi sedikit porsi nasi goreng sosis buatannya.
Sinta memang tak begitu suka nasi. Apalagi masakannya sendiri. Sinta selalu merasa kenyang saat selesai memasak, padahal sebelum memasak Sinta merasa perutnya begitu lapar. Makanya tak jarang Sinta lebih memilih untuk membeli makanan saja daripada memasak sendiri agar Sinta bisa mengisi perutnya.
Doni tersenyum. “Kamu perempuan,” tukas Doni setelah menghabiskan nasi gorengnya.
“Mas nggak akan pernah mengizinkan isteri mas pergi jauh-jauh tanpa mas. Tanpa restu dari mas.” Doni meneguk teh manis hangatnya, lalu bangun dan berpamit pada Sinta yang masih belum juga menyentuh makanannya.
“Mas berangkat dulu ya. Jadi mau sekalian diantar?” Doni kembali menawarkan.
Sinta menggeleng. “Nggak usah. Aku berangkat agak siangan,” jawab Sinta setelah mencium tangan Doni lalu mengantarkannya ke depan.
“Hati-hati,” pesan Sinta seraya menyerahkan tas kerja Doni sebelum Doni duduk di belakang setirnya dan menginjak persneling.
Sinta masih berdiri mematung dengan wajah masam, sampai mobil Doni benar-benar keluar dari garasi lalu tak terlihat lagi oleh kedua mata Sinta.
Sinta kemudian kembali duduk di kursi meja makannya. Tangannya memegangi sendok yang berisi nasi goreng sosis buatannya tapi tak juga perempuan cantik itu memasukkannya ke dalam mulut. Sinta masih membiarkan perutnya kosong sejak semalam.
Sinta menarik pendek napasnya lalu meletakkan begitu saja sendok yang sudah dia pegangi. Sinta sepertinya masih memikirkan ucapan Doni tentang pengunduran dirinya.