Jakarta pukul sebelas siang. Jalanan sekitar jalan tol yang menghubungkan kota Jakarta dengan kota Bogor ini cukup lengang. Perjalanan lebih dari lima puluh menit mereka diisi dengan obrolan-obrolan yang menggelitik. Sakha memang banyak bicara. Tak jarang, Sakha juga mencoba bercanda meskipun candaannya garing tetapi berhasil juga membuat Sinta terpingkal-pingkal.
Selain candaan yang garing, mereka pun sesekali berdebat. Hal sepele mereka debatkan menjadi panjang dan Sinta selalu mengalah dan harus mengakui kalau pendapat Sakha memang sering kali masuk akal baginya.
“Kamu kenapa belum nikah? Umur kamu kan kurasa sudah cukup untuk menikah,” selidik Sinta tanpa merasa canggung sedikitpun.
“Nikah itu gampang! Yang sulit kasih makan anak orang.” Lagi-lagi tak sengaja Sinta dan Sakha saling beradu pandang.
Sakha tersenyum melihat wajah perempuan yang duduk di sampingnya terlihat teramat manis dengan kedua bola mata yang berwarna abu.
“Nikah itu perlu makan. Orang hidup butuh makan dan segalanya. Semua itu nggak cukup dengan makan cinta!”
Sinta tersenyum dalam hati dan mengangguk-angguk seakan setuju apa yang dikatakan oleh laki-laki berhidung cukup mancung itu.
“Kamu mau, cuma makan cinta?” tanya Sakha tiba-tiba pada Sinta.
Sinta menahan sedikit gengsinya. “Makan cinta? Ya nggak maulah. Tapi kan rejeki pasti ada ketika menikah? Bukankah Tuhan menjamin itu semua?”
Sakha menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Iya, tapi ketika kita memutuskan untuk menikah, aku sebagai laki-laki harus siap, harus bisa memberi yang terbaik untuk keluarga. Sebelum nikah, kita harus pastikan dulu kita mampu memberikan kecukupan kepada pasangan kita. Kalau belum siap, lebih baik jangan dulu deh, karena nanti kita cuma bisa bikin sengsara anak orang!”
“Nikah bukan cuma modal cinta doang!” imbuhnya setelah menginjak rem mendadak karena tiba-tiba saja ada mobil yang menyalip dari sisi kiri.
“Anjir!” maki Sakha dengan wajah kesal.
“Ststts, sabar. Udah nggak usah dikejar.” Redam Sinta, tangannya mengelus bahu Sakha dengan pelan saat laki-laki tampan itu mulai mempercepat laju mobilnya.
“Jadi, kamu ingin sukses dulu baru menikah?” tanya Sinta mencoba mengalihkan kesal Sakha pada pengemudi mobil Pajero hitam bernopol cantik itu.
“Iya dong!” jawab Sakha pendek dengan sangat percaya diri.
“Sukses menurut kamu itu seperti apa?” tambah Sinta mencoba mencari tahu banyak hal tentang pribadi Sakha.
“Kamu lihat gedung pencakar langit di depan?” Sakha menunjuk salah satu gedung yang jumlahnya lebih dari tiga puluh lantai.
Sinta mengangguk dengan tetap matanya menatap wajah Sakha dari samping kemudi.
“Ketika aku ingin membeli gedung itu, aku bisa! Dan tinggal tunjuk!” jawab Sakha dengan penuh antusias setelah sekilas menatap wajah Sinta beberapa detik lalu kembali memusatkan pandangannya ke depan.
“Aku ingin masa tuaku nggak capek kerja. Tinggal nikmatin aja kerja keras masa muda,” tambahnya setelah menoleh kaca spion.
“Iya, kalau kamu sukses seperti itu, perempuan mana juga bisa kamu dapatkan. Iya kan? Seru Sinta seraya cuek meski hatinya terasa cemas.
“Iyalah. Perempuan itu banyak. Nggak usah khawatir kan?” ucap Sakha, mengangkat wajahnya dengan angkuh ke arah Sinta.
Sinta menoleh gugup. Entah kenapa hati perempuan ini seperti merasa cemburu saat Sakha, laki-laki berkulit sawo matang ini berkata demikian.