Sinta berdiri di depan pagar rumahnya. Sesekali matanya seperti mencari-cari sorotan lampu mobil yang mungkin saja itu mobil Doni. Sekitar kurang lebih setengah jam Sinta mencoba menyibukkan dirinya di pelataran teras rumahnya. Melihat-lihat beberapa koleksi tanaman hijaunya juga beberapa bunga mawar yang sengaja dia beli dua minggu yang lalu namun belum juga berbunga. Sinta kemudian mengulurkan selang air, menyirami tanaman koleksinya meski jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Tak lama, terdengar suara klakson mobil yang tak asing bagi Sinta. Sinta menoleh, menatap dengan kedua mata yang menyipit karena silau oleh sorot lampu mobil yang tepat berada di depannya. Buru-buru perempuan berkaus putih itu mematikan kran selang air setelah memastikan kalau Doni yang berada di belakang kemudi. Sinta kemudian lekas mendorong pintu pagar yang cukup berat dengan kedua tangannya agar Doni bisa memarkirkan mobilnya.
Doni membuka setengah kaca mobilnya saat melintas di hadapan Sinta. “Malam-malam kamu siram taneman?”
Sinta tak menjawab, hanya melengkungkan sedikit saja ujung bibirnya. Entah mengapa rasanya perempuan ini sulit sekali untuk berkata jujur. Padahal apa susahnya berkata, “Aku nyiram taneman itu nungguin kamu!” Beres kan? daripada menahan kekesalannya di dalam hati. Menumpuknya begitu saja hingga menjadi gunung yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Setelah memarkirkan kendaraannya, Doni lalu turun dari mobil dengan wajah begitu lelah.
“Capek banget hari ini,” keluh Doni pada Sinta seraya menyerahkan tas kerja miliknya pada Sinta yang mendekat setelah perempuan ini menutup pagar rumahnya.
“Kamu udah makan? Malam ini aku masak. Kebetulan Glea tumben malam-malam minta makan, mau keluar malas jadi aku masak.” Wajah Sinta merona.
“Aku udah makan tadi, sebelum pulang mampir dulu ke resto teman. Dia baru buka resto seafood. Makanannya enak.”
“Oh…,” jawab Sinta mencoba tersenyum dan biasa saja. Sebisa mungkin Sinta menutupi rasa kecewanya karena sebenarnya Sinta memasak untuk Doni, Glea hanya alasan saja tapi Doni malah makan di luar.
“Hari ini aku capek banget. Banyak masalah di kantor. Pusing!” ujar Doni sambil berjalan masuk ke dalam rumah dan Sinta mengikutinya di belakang.
Sinta mencebik dalam hati. “Memang tugas isteri hanya untuk mendengarkan keluhan suami ya? Bisa nggak sih nggak ngeluh? Bisa nggak sih tanya aku kenapa belum tidur? Bisa nggak nanyain gimana Glea seharian ini? Bisa nggak nanya aku makan belum? please bisa nggak berpura-pura belum makan meskipun kamu sudah makan mas? Kamu tahu nggak, aku masakin kamu! Dan bisa nggak kamu kabarin aku pulang jam berapa? Biar aku nggak cemas nungguin kamu.”
Doni lalu duduk setelah melepaskan sepatunya di dekat pintu. Begitupun juga dengan Sinta setelah meletakkan tas kerja milik Doni di atas meja dan menyeduhkan teh manis hangat untuk Doni.
“Bulan depan kita harus bersiap-siap!” ucap Doni setelah merebahkan tubuhnya dengan santai di kursi. Wajahnya terlihat sangat kusut dan lelah.
“Bersiap-siap? Untuk apa?” tanya Sinta sembari tangannya mengaduk gula pasir yang masih menggumpal di minuman yang dia buat.
“Untuk apa mas?” Sinta mengulang pertanyaannya sambil tangannya mengulurkan secangkir teh manis hangat kepada Doni.
“Perusahaan memindahkan aku lagi,” jawab Doni setelah mengambil teh manis hangat miliknya dari tangan Sinta.
Sinta menyipitkan matanya seperti tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Pindah lagi?”
Doni menganggukkan sedikit kepalanya sebelum kemudian menyesap habis teh manis hangat miliknya lalu kembali merebahkan seluruh punggungnya. Tangannya merogoh saku celana untuk mencari ponselnya.
“Kita di Jakarta ini baru sekitar dua tiga bulan kan mas? Trus mas mau gitu aja?” hati Sinta terasa cemas.
“Ya mau gimana lagi. Perusahaan yang memutuskan!” jawab Doni dengan jemari sibuk memainkan ponselnya.
“Mas tolak bisa kan?”
Doni menggeleng. “Mas rasa nggak bisa.”
“Memangnya mas nggak bisa beralasan?”
“Nggak bisa.”
Raut wajah Sinta semakin terlihat bingung. “Kenapa? Mas bisa dong memutuskan terima atau tidak?“