“Desi....!” sentak Tika dengan telunjuk terarah tegas pada gadis itu.
Tika mematung. Dengan kondisi dada berdebar dan amarah yang memuncak memenuhi kepala, teriakan pun meleset cepat dari mulutnya.
Tika melangkah mendekati Desi, diantara keduanya nyaris tak berjarak, tatapan tajam keluar dengan sorot penuh amarah. Tika bak predator yang sudah siap menerkam mangsanya.
“Maksud kamu apa ngomong kayak gitu?” Suara berat dengan amarah yang tertahan membuat Desi berdecak takut, ini menjadi kali pertama dia melihat Tika semarah itu.
“Y-ya gak ada maksud apa-apa, aku cuma nebak aja, Ka. Emang ada yang salah dengan ucapanku?” balas Desi dengan mimik tegang yang masih mendominasi. Mata belo itu menggerling menghindari tatapan tajam Tika.
“Terus kamu pikir itu hal yang benar? Itu bukan nebak, Des namanya, tapi fitnah!” tukas Tika memekik, lantas ia pun menjauh dari posisi, menghindari teman-temannya yang sudah berkumpul menonton pertengkarannya dengan Desi.
“CK!” decak Desi. Dia terkekeh di tempat, diam dengan wajah bingung seraya bersedekap dada. Sedikit tersirat ketidak nyamanannya setelah bicara yang tak seharusnya kepada Tika, tapi ego Desi terlalu tinggi untuk mengakui kesalahannya.
“Kamu itu kenapa sih, Des, ngomong gitu sama si Tika?” tanya Hani seraya berdiri di hadapan Desi.
“Ya aku kan cuma penasaran aja, Han. Eh gak tahunya si Tika malah baper.” Desi melirik Tika beberapa detik.
“Baper, baper. Kamu pikir orang gak bakal sakit hati dikatain kerjaannya gak bener?” bentak Hani, pelan.
“Iya bener tuh kata si Hani. Makanya kalau ngomong itu dijaga! Udah sana minta maaf, kasian si Tika digituin!” titah Dian.
“Males ih.” Desi mengerutkan wajah sambil menatap kedua temannya secara bergantian.
“Atuh lagian kamu teh ngapain juga ngomong kayak gitu, gak sopan banget.” Lagi dan lagi, Hani memojokan Desi agar dia sadar dengan apa yang dirinya lakukan kepada Tika.