“Ohh ... jadi ini kerjaanmu di sana!” Desi mendelik, kata maaf yang sudah terucap gugur kembali, Desi menggeliat jijik setelah mengetahui pekerjaan Tika selama ini.
“Ya. Aku cuma seorang A-R-T, Des," Jawab Tika, mengeja per kata demi memuaskan rasa penasaran temannnya.
“Babu sih, ya lebih tepatnya,” timpal Desi dengan nada mengejek.
Matanya berputar melirik teman-temannya yang setuju dengan apa yang barusaja dia katakan. Sorot mata penuh penghakiman mereka arahkan pada Tika.
Hati kecil Tika berontak, dia tidak tahan lagi untuk tetap berada di sana, dia menolak diperlakukan tak senonoh oleh teman-temannya.
Dia yang semula sangat antusias untuk datang ke reuni itu, harus dipatahkan dengan kesan yang tak mengenakan.
Hening. Semua mata tertuju pada gadis itu, satu per satu tatapan itu berubah menjadi sorot ketidaksukaan.
Salah satu alasan Tika untuk menutupi pekerjaannya adalah sudut pandang mereka yang tidak bisa menilai Tika dengan baik, seperti yang saat ini sedang terjadi.
Tika berdesis kesal, sudah dia duga respon seperti itu akan dia dapatkan dari teman-temannya, karena ini bukan kali pertama dia mendapatkan perlakuan tak mengenakan itu.
“Kenapa? Kaget, karena aku cuma jadi Art?”
“Cukup kaget sih. Tapi kalau dipikir-pikir kerjaan ini memang cocok buat kamu!” Mata belo berbulu lentik itu menaikan sudut bibirnya.
“Kok mau sih jadi babu, emang gak capek?” tanya Santi.
“Emang ada ya kerjaan yang gak cape, San?” Alih-alih memberikan jawaban, Tika yang sudah geram pun melempar balik pertanyaan kepada Santi.
“Lagian apa salahnya sih jadi Art? Dan kenapa juga kalian cuma fokus membahas pekerjaan aku, kenapa kita gak coba fokus dengan reuni kita aja?” Tika memutar tubuhnya, menatap seluruh teman-temannya mencari jawaban.
“Ya emangnya kenapa sih, Ka? Ini kan cuma sebatas berbagi informasi sesama teman, nanti kita juga bakal cerita tentang kehidupan kita kok, tenang aja kalau kamu mau tahu.” Desi menyela. Gadis itu memang sangat suka mencari masalah dengan Tika.
"Informasi sesama teman katanya?" decak Tika, pelan.
“Iya benar. Lagian aku cuma penasaran aja. Apa jadi Art kamu gak kecapean? Maksudnya kenapa gak yang lain aja gitu, yang gak terlalu menguras tenaga kamu?” Santi mengolah kembali pertanyaan dengan kalimat yang terdengar jauh lebih baik, walaupun ucapan itu terlontar dengan mimik wajah yang terkesan merendahkan.
Pertanyaan macam apa itu? Apa dia mengira ada pekerjaan yang tidak melelahkan? Lagipula apa yang salah dengan hanya menjadi asisten rumah tangga? Tika tercengang mendengar omong kosong teman-temannya.
Wanita cantik bertubuh tinggi dengan rambut terurai itu terdiam, kedua matanya menatap lurus lawan bicara yang sudah tiga tahun tidak dia temui.
Mendengar celotehan itu membuat dada Tika bergemuruh emosi, tangannya mengepal sempurna hingga membasahi telapak tangannya.
Mulut itu masih bungkam seribu bahasa, tapi kepalanya begitu ramai dengan kata makian yang hendak dia pelesetkan.
Jika saja Tika punya keberanian, sudah pasti dia akan membalas ucapan mereka dengan kalimat-kalimat yang sama.