“Mau ke mana sih, San?” tanya Tika seraya menurunkan tangan Santi dari bahunya.
Dia menghentikan langkahnya di tempat, menghadap Santi dengan wajah bingung, dahinya mengernyit sempurna, tatapan menusuk menuntut jawaban.
“Ya ke warung lah, emangnya mau ke mana lagi?” jawab Santi, sontak menaikkan nada bicaranya.
“Tapi aku kan belum setuju,” bantah Tika memberanikan diri.
Tika memang tidak bisa marah atau membentak teman-temannya, dia terlalu takut dan tidak enakan jika harus melakukan itu.
“Yaelah, Ka, dulu juga kita gak mikir panjang buat bantuin kamu biar bisa jajan. Kamu kok pelit banget, mentang-mentang udah punya duit. Lagian kan gaji kamu besar, beli makanan buat anak-anak kan gak seberapa, toh kita jajan ke warung bukan ke mall,” timpalnya sinis.
‘Dih, abis ngejek orang malah minta jajan. Ini yang gak tahu malu, aku atau kamu,’ cibir Tika dalam hati kecilnya.
“Gajinya emang gede, tapi gak semuanya jadi uang saku aku pribadi. Kamu juga tahu keadaan keluarga aku, San.” Tika melanjutkan langkahnya ke arah warung kecil di ujung jalan, lantas Santi mengekor mengikuti Tika.
“Udah bertahun-tahun, Ka, dan ternyata hidup kamu masih belum ada perubahan, ya?” ujar Santi.
Deg! Bak disambar petir di siang bolong. Kali ini harga diri Tika benar-benar terluka, dikatakan tidak ada perubahan dalam hidupnya membuat Tika tertampar kenyataan.
Ya, memang benar jika kerja kerasnya masih belum cukup untuk membuahkan hasil, itulah sebabnya Tika masih harus berjuang lebih keras untuk merubah nasibnya, dia tidak mau kembali merasakan hidup dalam bayang-bayang hutang dan kesengsaraan.
Tika juga tidak mau melihat orang tuanya mencari uang kesana kemari demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya.
‘Tapi kenapa ya Allah? Kenapa harus aku?’ batin Tika merintih. Matanya memanas. Namun, sebisa mungkin dia tahan agar bulir bening dibalik pelupuk matanya tidak sampai menetes di hadapan Santi.
Tika memang tidak seberuntung orang lain, dia harus hidup dalam kesulitan yang disebabkan perekonomian keluarganya. Untuk bisa merasakan apa yang sudah dicapai oleh orang lain, Tika harus melewati banyak duri terlebih dahulu.
Kembali ke masa sekolah dulu, Tika selalu mendapatkan perlakuan yang kurang mengenakan dari teman-temannya, tapi dia selalu menahan dan menelan semua sendiri, Tika tidak ingin membuat orang tuanya sedih, jika tahu kalau anaknya di bully.
Dua belas tahun, di usia ini Tika sudah berada dibangku kelas satu Smp, dia yang selalu pulang pergi dengan berjalan kaki bersama rekan sekolahnya yang lain, duduk dikursi tengah, tepat di belakang juara kelas.
Tika termasuk murid pintar karena selalu masuk urutan lima besar diantara 17 murid di kelas pada masa itu, walaupun tidak sampai mendapatkan posisi juara kelas, tapi itu cukup bagus untuk diapreasi bukan?
“Eh, Ka, kamu gak jajan?” tanya temannya yang tiba-tiba datang sembari membawa jajanan yang terbuat dari coklat.
“Enggak, uangnya habis,” jawab Tika. Wajahnya berpaling, nampak jelas wajah itu mengatakan kebohongan, bagaimana mungkin uangnya bisa habis, dia bahkan tidak punya uang untuk digunakan, uang receh yang bahkan di zaman ini sudah tidak bernilai lagi harganya, pun dia tak memilikinya.