Jadikan Aku Kuat

Yuricka
Chapter #5

Bukan Sekedar Maaf

Raut wajah Tika berubah, tubuhnya melemah, mengingat kata demi kata yang diucapkan kedua orang tuanya.

“Maafin Mama ya, Teh. Maafin Bapak juga, karena belum bisa ngasih yang terbaik dan malah nyusahi Teteh.” Itu adalah kalimat paling menyakitkan bagi Tika.

Tika tidak mengharapkan kata maaf dari orang tuanya, mereka adalah sosok malaikan yang selalu mengusahakan yang terbaik untuk anaknya, meskipun belum mampu tapi mereka selalu berusaha.

Permintaan maaf tak pantas mereka berikan pada Tika, karena sesungguhnya mereka tidak salah, mereka berjuang, mereka berusaha.

Ya, memang betul jika memiliki anak disaat finansial belum stabil adalah kejahatan, tapi tidak, Tika tidak bisa mengatakan itu adalah kejahatan yang dilakukan orang tuanya, mereka bahkan rela tidak makan agar supaya anak-anaknya tidak kelaparan, lantas bagaimana Tika bisa mengatakan mereka melakukan kejahatan?

Setiap kali Tika teringat orang tuanya yang selalu memegang kedua tangannya seraya menatap mata kecil Tika, kemudian melontarkan permintaan maaf, air mata Tika tidak pernah surut untuk menangis.

Emosinya selalu memuncak hingga menyebabkan kemarahan pada dirinya sendiri.

Tika tidak mau melihat orang tuanya merasa bersalah karena merasa gagal menghidupi anak-anaknya. Namun, Tika tidak bisa mengatakan apapun untuk mengobati luka orang tuanya, dia terlalu canggung untuk bicara, atau sekadar mengatakan, “Tidak apa-apa, kalian tidak bersalah, jadi jangan minta maaf.”

Di tempat yang sama itu Tika masih menangis, suaranya merintih. Namun, coba dia selesaikan tangisan itu dalam keheningan. Sesekali matanya melirik ke arah sepatunya seraya berdecak.

“Ya Allah aku malu banget. Aku harus gimana? Mau minta dibeliin Bapak, tapi kasian, Bapak juga pasti belum punya uang,” ucapnya. Tika menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan perlahan.

Lima menit berlalu, Tika yang tidak lagi mendengar suara anak laki-laki di luar pun keluar dengan mengendap-ngendap.

Tidak ada orang di sana, mata kecil itu menyelidik ke setiap penjuru sekolah, dan di sana hanya tinggal dia seorang diri.

Tika melangkah meninggalkan sekolah dengan rasa percaya diri yang menurun, sesekali dia merapikan rambutnya, dan mengusap-usap pipinya yang masih basah.

Berjalan melewati warung dan sekumpulan warga dengan sepatunya yang sudah bolong, membuat Tika malu, tapi sebisa mungkin Tika bersikap tak acuh dengan tatapan prihatin orang.

Jarak dari sekolah menuju rumahnya cukup jauh, mungkin bisa sampai dua setengah jam dengan berjalan kaki, Tika sudah terbiasa dengan itu, lagi pula bukan dia saja yang berjalan kaki, hampir semua anak sekolah di sana pulang dan pergi dengan berjalan kaki.

Lihat selengkapnya