Tika tercengang, mematung tanpa menolehkan pandangan pada keributan di belakang. Ejekan dan celaan saling sahut-bersahutan.
Senin itu, rok yang Tika kenakan bolong dan sudah harus diganti, tapi karena Tika belum punya gantinya, Tika pun meminta Bapaknya untuk menjahit dan memberikan sedikit tambalan di rok tersebut, sayangnya sobekan itu ada dibagian belakang, sehingga membuat dia jadi bahan bulan-bulanan teman-temannya.
“Lihat deh, rok nya si, Tika, bolong!” ujarnya nyaring. Telunjuknya terangkat menunjuk tepat ke arah sobekan tersebut.
Wajah Tika memerah, bola matanya bergerak cepat, mengamati sekitar. Malu rasanya ketika menyadari bahwa mereka sudah mengarahkan tatapan geli padanya.
“Eh iya,” timpal yang lain seraya tertawa cukup keras, hingga mengundang perhatian dari siswa yang lain.
“Tika, itu rok kamu bolong, ya?”
“Di tambal itu, bekas tambalannya jelas banget, soalnya warnanya beda!” timpal yang lainnya, hingga membuat seluruh siswa yang saat itu berdiri dibarisan belakang ikut menyoroti Tika.
Tika terdiam, dia tetap pada posisi tanpa mengalihkan pandangannya dari tiang bendera kala itu.
Teriknya matahari pagi itu sudah cukup untuk membuat Tika pening, apalagi dengan ditambah ulah teman-temannya di belakang sana yang terus mengganggu dan mengusilinya.
Wajah Tika sudah tak tertolong lagi, memerah cerah bak kepiting rebus. Dia yang terus diejek pun memberanikan diri menghadap teman-temannya seraya tersenyum.
“Ada apa sih, rame banget?” tanya Tika seolah tak mendengar obrolan mereka.
“Rok kamu bolong?” tanya Desi dengan wajah mengejek.
Tika tertawa pelan, mencoba untuk tidak terbawa suasana, dan menahan diri. Dia pelankan suaranya berharap tidak terdengar oleh guru yang kini sudah ada di hadapannya.
“Iya ih. Kaget banget, pas mau dipake ternyata bolong.” Jawab Tika berpura-pura.