Tika mengangkat wajahnya, menoleh ke arah Wanita itu. Dia menatap Heryani dengan mimik wajah yang diselimuti rasa penasaran.
“Ah gak bener kerjanya,” jawab Heryani singkat.
“Ohh.” Sebenarnya Tika masih ingin tahu lebih banyak tentang perempuan yang bekerja di sana sebelum dia, tapi dia tidak berani untuk bertanya lebih lanjut. Jangankan untuk bertanya, menatap wajahnya saja sudah membuat Tika takut.
“Kamu makan aja yang banyak, biar gemuk!” ujarnya.
Tika hanya membalas dengan anggukan kecil sambil mengembangkan bibirnya.
Tika meneruskan makan malamnya, dia harus bergegas karena waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, mengingat dia sama sekali belum selesai merapikan barang yang dia bawa, karena sejak kedatangannya dia langsung bekerja.
Beberapa menit berlalu, setelah selesai menyantap makana malam Tika langsung berdiri, diangkatnya piring kecil itu ke arah wastapel yang sudah dipenuhi setumpuk peralatan makan. Tika menelan salivanya serat, dia merangkai senyuman agar yang dia kerjakan terasa ringan.
'Baru juga datang, udah banyak aja kerjaan,' gerutu Tika di dalam dadanya.
Mulailah dia membersihkan satu demi satu piring yang ada di sana, hingga tak lama wanita yang dipanggil Ibu sepuh itu kembali menghampirinya.
“Besok subuh antar saya belanja, ya!” pintanya seraya menaruh gelas kotor bekasnya.
“Iya, Bu boleh,” jawab Tika cepat.
Wanita paruh baya itu melengos meninggalkan gadis muda itu seorang diri. Waktu berlalu, satu persatu orang–orang meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke kamarnya masing-masing.
Ada satu hal yang menarik perhatian Tika, dan itu berhasil membuat Tika terenyuh, dia melihat wanita paruh baya itu tidur dengan anak cucunya. Mereka berkumpul, bercanda dan bahkan tidur bersama dengan tangan yang saling berpelukan.
Tak terasa bulir bening menetes dari balik pelupuk mata. Bukan lagi rasa cemburu yang bergejolak, tapi iri hati.
Lagi dan lagi kebahagiaan orang menjadi bahan perbandingan hidupnya, tapi Tika tidak bisa apa-apa, ini baru hari pertama Tika pergi jauh merantau demi membantu perekonomian keluarga, jika sampai Tika terbawa suasana, dia bukan hanya akan kehilangan kesempatan tapi juga usahanya akan sia-sia.
Tika menggeleng cepat, dia mengambil sehelai kain biru lantas kembali kembali merapikan dapur.
Beberapa saat berlalu, Tika rasa semua pekerjaanya sudah selesai dan dia pun memilih pergi membawa langkah kakinya menuju kamar.
Setelah membersihkan wajah, sikat gigi dan mengganti pakaian, Tika terbaring di ranjang dengan keadaan kamar yang sudah gelap.
Dia matap langit-langit kamar dengan pikiran yang mulai melayang membayangkan keluarganya di rumah.
Kerinduan kembali menguasai jiwanya yang hampa, dia menangis dengan suara tertahan, satu per satu wajah keluarganya tergambar. “Aku kangen rumah, aku kangen Mama,” ucapnya merengek kecil.
Tika bingung, dia tidak tahu bagaimana caranya agar dia bisa menghubungi keluarganya di rumah, dia hanya membawa secarik kertas berisikan nomor hp ibunya, sedangkan dia sendiri tidak memiliki ponsel untuk menghubungi mereka.
Keluarganya hanya memiliki satu ponsel jadul yang biasa Bapaknya bawa ketika bekerja, lantas Tika memutuskan untuk pergi merantau tanpa membawa ponsel, dengan niat agar nanti setelah punya uang sendiri, dia bisa membelinya dan menghubungi keluarganya di kampung.
Pada awalnya Tika merasa cukup dengan membawa nomor keluarganya saja, dan untuk sementara dia bisa menghubungi orang tuanya lewat sang majikan, tapi ternyata itu pun cukup sulit, Tika tidak ada keberanian untuk meminjam ponsel kepada majikannya.
Tika menyeka air mata yang terus membanjiri wajahnya, Dia menghembuskan napas kasar, mencoba berbaring untuk tidur.
Dia berharap jika tidurnya akan lebih nyenyak dan terbangun tepat waktu untuk bekerja dan ikut ke belanja bersama Heryani, subuh nanti.
Dua jam berlalu, mata itu kembali terbuka, Tika tidak merasa nyaman, tidurnya pun tidak nyenyak, pikirannya dipenuhi bayangan tentang keluarganya.
Keinginan untuk kembali pulang terus bergentayangan, hasrat untuk meninggalkan rumah itu dan ketakutan merasuki jiwa Tika, seolah pulang adalah pilihan yang tepat yang harus dia pilih saat itu.
Tika terlalu dini untuk merantau, dia terlalu muda untuk berpikir dewasa, pikirannya masih sangat labil untuk menanggung beban sebesar itu.