“Ini sangat sulit buatku. Aku mendorong diriku untuk mampu bertahan sejauh ini, tapi ternyata mentalku tidak sanggung lagi. Aku terlalu egois pada diriku memaksa untuk bertahan setiap kali terluka. Aku pikir ini tahap terakhir sebelum aku mendapatkan sesuatu yang setimpal dibalik luka dan usahaku, tapi ternyata tidak, pada akhirnya aku tetap akan kembali berada di lubang yang sama.” Dentingan yang keluar dari batin itu menggema memenuhi kepala, membuat Tika membisu menatap para pendialog yang asyik memperbincangkannya.
“Kalau sampai begitu lagi, gak akan segan-segan saya usir, Jeng,” sahut Heryani. Tangan itu terulur menurunkan gelas dari tangannya, bergantian membuka tutup toples kue kering yang ada di atas meja.
Tika terdiam, sudut matanya menajam mengamati kedua wanita berumur itu sebelum akhirnya dia berlalu meninggalkan mereka dengan wajah kesal.
Cibiran mereka terdengar menyakitkan. Namun, tidak dapat Tika bantah perkataan itu, dia bahkan tidak tahu akar permasalahannya apa, kenapa harus menyangkut pautkan semuanya dengan dia.
“Iya, Jeng, harus itu!” Deti bereaksi cepat.
Jarak ruangan tempat mereka mengobrol dengan dapur tidak terlalu jauh, sehingga sayup-sayup Tika masih dapat mendengarkan perbincangan mereka.
“Lagian kenapa sih harus orang sana lagi, Jeng?” tanya Deti.
“Besan yang nyari, dan dapatnya orang sana lagi,” jawabnya ketus.
“Tapi sih harusnya belajar dari yang sebelumnya, orang sebelumnya aja begitu apalagi yang baru, masih anak-anak,” cibirnya yang berhasil menyinggung perasaan Tika.
“Hati-hati aja, Jeng. Anaknya perlu diawasi, jangan sampai macam-macam!” lanjutnya lagi.
“Iya. Tapi Insya Allah lah enggak yang ini, mah.”
“Ya mudah-mudahan aja yang sekarang mah enggak. Apalagi yang sekarang jauh lebih muda dari sebelumnya, kan.” Deti meneruskan pembahasan itu dengan nada bicara yang terkesan kesal.
Tika bertanya-tanya, otaknya mencoba menerka arah pembahasan mereka, ingin sekali mulut itu menyahuti setiap kalimat yang keluar dari mulut kedua perempuan dengan umur yang sudah semakin menua tersebut, tapi apalah daya, mereka berdua memiliki karakter sifat yang sama, tidak mau tahu perasaan orang dan sangat keras kepala. Jangankan untuk bertanya sekedar mendekati saja sudah membuat Tika takut.
“Pendidikan di sana masih kurang, Jeng. Banyak anak-anak yang putus sekolah karena ekonomi, kayak si Tika, makanya masih kecil udah kerja,” celetuk Heryani yang sontak saja membuat tangan Tika yang tengah berkutat dengan keroket dipenggorengan, terdiam.
Tika mengeraskan rahangnya. Kesal, tentu saja Tika tersinggung dengan pembahasan mereka, kenapa harus membahas dirinya yang tidak tahu apapun.
Dia memang berasal dari kalangan menengah ke bawah, tapi bukan berarti dia tidak punya harga diri sampai harus direndahkan seperti itu.