Hening, Tika mengulas senyuman, menata kembali perasaan yang sudah tercampur aduk tidak jelas.
Mata kecil itu membalas tatapan wanita berumur yang kini berdiri di hadapannya dengan begitu teduh.
“Belum kering semua, Bu, harus nunggu sebentar lagi,” jawabnya tanpa sedikit pun memalingkan pandangannya.
“Masa panas terik begini masih belum kering juga. Padahal kamu nyucinya dari subuh-subuh, pasti udah kering lah!” sanggahnya, menolak jawaban Tika.
‘Ya Allah, segitu gak percayanya ibu ini sama aku.’ Batin itu menggerutu kesal. Kini yang Tika rasakan bukan hanya sekedar lelah fisik tapi juga batin.
“Mungkin setengah jam lagi juga kering, Bu.” Tika mempertegas. Namun, wanita berwatak kerasa kepala itu tidak mahu tahu, dia melengos lantas menyambar satu demi satu pakaian yang bergantung sampai tak tersisa satu pun pakaian di sana.
“Setrika sekarang! Kalau dinanti-nanti malah gak keburu, sebentar lagi Amad pulang dan Dafit juga pasti bangun.” Heryani menaruh semua pakaian tersebut di atas tangan Tika, bergegas Tika meraih pakaian itu dan memeluknya.
Heryani mematung dengan raut marah, rahangnya mengeras melempar tatapan tajam pada Tika dengan penuh penekanan.
Tika mengangguk, tak kuat rasanya untuk kembali bicara, dia sudah tidak tahan menahan bendungan yang berdesakan di pelupuk mata, bahkan saat ini wajahnya sudah mulai memerah, bak kepiting yang sudah siap disajikan dari rebusan air mendidih.
“Kalau cuma basah dikit mah angkat aja, kalau sudah disetrika juga nanti kering sendiri! " omelnya seraya kembali ke tempat duduk, sedangkan Deti masih terdiam dengan posisi mengamati Tika.
“Iya, Bu.” Buru-buru Tika meninggalkan ruangan itu, membawa langkahnya ke arah kamar.
Tika tidak mau berlarut dalam tangisan, dalam keadaan emosi, air mata yang sudah menghalangi pandangannya, tangan itu berkutat mencari semua peralatan menyetrika.
Dia memulai aktifitas tersebut dengan tubuh gemetar, sedangkan bulir bening turun membasahi area wajahnya.
Terhenti. Tangan yang sudah mulai menggosokan setrikaan pada satu baju itu terhenti, tangannya melemas, wajahnya tertunduk, tetesan bulir bening berjatuhan ke atas kain hitam dengan corak batik di sana.
Tika tak mampu lagi menahan emosinya, segera dia lepaskan benda panas dari genggamannya lantas merangkul tubuh mungil itu seraya memecah tangisan dalam keheningan, suara itu merintih tertahan tanpa suara, berharap tidak ada satu pun orang yang mendengar isakannya.
“Mama, aku gak sanggup,” ucapnya lirih.
“Ternyata aku gak sekuat itu, tubuhku mungkin kuat tapi tidak dengan jiwaku, aku rapuh, aku hampa, aku kosong, aku tidak berdaya, tolong bawa aku pergi!” Tubuhnya gemetar hebat, kalimat yang terucap tajam diiringi isak tangis yang tertahan membuat hatinya semakin tersayat.
"Kalau saja kutolak tawaran pekerjaan ini, mungkin aku tidak akan menderita seperti sekarang," lanjutnya.
Dia menyandarkan tubuhnya pada ranjang, menatap langit-langit dengan pandangan kosong, sementara kepalanya begitu amat berisik dengan segala pertanyaan.
"Kenapa mereka harus memperlakukan aku seperti ini? Ya, aku tahu aku itu seorang pembantu, semua pekerjaan yang ada di rumah menjadi tanggung jawab aku, tapi…" Suara Tika tertahan, lidahnya kelu. Mulut itu bungkam tertahan tanpa keberanian meneruskan kalimatnya.
“Tika...” Dalam kebisingan kepala yang membuat jiwa itu muak dengan keadaan, kembali pemilik suara berat itu memanggilnya.
Tangan panjang itu berkutat, buru buru Tika hapus jejak air mata di wajahnya, menutupi garis putih yang menjadi jalan lewat bulir bening tersebut.
Dia mendekat tanpa sepatah kata pun menyahuti panggilan tersebut.
"Tika!" panggilnya dengan lebih keras.