"Aku sama temen-temen mau beli bola, Nek!" Amad membalas tatapan Heryani, bibirnya manyun, dahinya mengerut kesal karena Heryani tak lantas memberikan apa yang dia mau.
"Gak usah beli beli bola, Amad! Udah main aja sama Dafit di rumah! Di luar juga panas, nanti kamu sakit!" timpal Heryani tidak mau mengalah.
Amad berontak, seperti biasa, dia selalu marah setiap kali keinginannya tidak terpenuhi. Dia menjatuhkan tubuhnya pada sofa, bergeliat bak cacing kepanasan, memaksa neneknya untuk memberikan apa yang dia inginkan, sementara kelima temannya masih setia menunggu di luar gerbang.
Sesekali mereka menyeru, memanggil nama Amad dengan lantang. Namun, tidak ada satupun dari kelima anak itu berani masuk, pasalnya Heryani yang pernah memarahi mereka karena pernah bertengkar dengan Amad sewaktu main dulu.
"Gak mau ah, masa main sama Dafit, Dafit juga masih kecil atuh, Nek, belum bisa apa-apa," bantah Amad yang masih berguling di tempat.
"Gak ada, Nenek gak ada uang. Bunda kamu belum ngasih Nenek uang," tolak Heryani, dia terkekeh. Mencoba untuk tidak mempedulikan rengekan cucunya tersebut.
"Sepuluh ribu aja, Nek, ih. Masa gak ada sih uang segitu, pelit banget."
"Amad! Kamu itu kenapa sih? Anak-anak Nenek semuanya baik, loh, gak ada yang seperti kamu. Bunda kamu juga baik banget sama Nenek, dia gak pernah marah-marah dan bersikap kayak kamu begini." Heryani melirik Amad dengan sorot tajam, kedua tangannya berkacak pinggang mengamati anak laki-laki yang kini berdiri di hadapannya.
"Ari kamu kenapa begini? Ngikutin siapa? Pasti sifat kamu nurun dari ayah kamu, nakal, suka marah-marah, soalnya bunda kamu mah orangnya solehah?" ucapnya, kembali memuji anak-anaknya.
"Apa sih, Nek, gak jelas banget. Udah sih minta uang buat bola aja. Lagian teman-teman yang lain juga ikutan bayar, masa aku aja yang enggak bayar, kan malu!"
"Kamu mah udah dimarahin, masih aja gak mau denger ya, Amad. Tika, ini siapa sih yang ngajarin Amad minta minta uang seperti ini?" Kini pandangan Heryani teralihkan setelah kehadiran Tika di ruangan tersebut.
Tika berdesis, jengah rasanya terus-menerus disangkut pautkan dengan semua permasalahan yang ada di keluarga majikannya. Jika bukan karena kebutuhan, dan gajinya yang lumayan, mana mau Tika tetap berada di sana.
Hari-hari berganti, tetapi perlakuan mereka tetap sama, Tika tidak berharap banyak, dia sadar dengan posisi dia yang hanya seorang asisten rumah tangga sekaligus pengasuh di sana, tapi apa salahnya jika dia diperlakukan dengan baik?
Amad masih mematung dengan tangan kosong yang mengarah pada wajah neneknya, tentu saja itu membuat Heryani tambah kesal, sayangnya Heryani melampiaskan kemarahannya kepada Tika, hingga Tika kembali menjadi sasarannya.
"Katanya mau beli bola, Bu," jawab Tika, berterus terang. Nada bicaranya merendah.
"Bola apaan sih, Amad?" Heryani kembali mengarahkan pandangannya pada anak laki-laki tersebut.