Tika rasanya tubuhnya harus kuat dan sehat, meskipun mentalnya dihajar habis-habisan, jika kedua bagian dari dirinya terluka, mungkin Tika tidak bisa lagi melanjutkan apa yang sudah dia mulai.
Namun, sayangnya fisik itu pun kini mulai menunjukan gelaja, kaki jenjang itu terasa berat, kebas, dan kesemutan, bukan hanya kaki, bahkan seluruh bagian tubuh pun terasa remuk, mengamuk meminta dirinya untuk beristirahat sejenak, tapi apa daya, jangankan untuk beristirahat Tika bahkan tidak bisa menikmati makan siangnya dengan santai.
“Capek banget,” keluhnya, wajah itu menunduk begitu rendah.
Pandangannya kembali berkabut, sepertinya afirmasi yang sempat terucap sebelumnya tidak mampu menembus jiwa yang rentan itu. Tika bahkan tidak tahu lagi harus bagaimana menggambarkan rasa lelah yang menumpuk pada dirinya.
Sore itu langit mendung, awan-awan sudah berkumpul menjadi payung di atas kepalanya, satu demi satu tetesan hujan berjatuhan menyadarkan Tika yang tenggelam dalam kesedihannya.
“Aku capek ya Allah, aku lelah, aku gak kuat,” gumamnya. Jalanan yang sepi, rerumputan yang sudah tinggi memenuhi ladang bergoyang, mereka seolah tertawa melihat tubuh tinggi yang kini berjalan di bawah rintik hujan yang perlahan melebat.
Bukankah ini baik untuknya? Mengungkapkan apa yang dia rasakan di bawah rintik hujan, tidak ada sesiapapun yang akan mendengar keluhannya, Tika rasa ini waktu yang pas untuk mengadu pada Tuhannya, sesekali dia mengangkat wajahnya, terucap lirih mempertanyakan kehidupannya yang terasa berat dan suram.
“Kenapa aku harus selalu menangis? Aku capek kalau harus menangis seperti ini ya Allah, aku capek.” Aduan itu seolah tidak ada hentinya, berkali-kali kata lelah itu terucap beriringan dengan air mata yang semakin menutupi pandangannya.
“Kenapa harus aku yang mengalami ini, kenapa bukan orang lain yang Kau anggap sanggup saja? Karena aku tidak sanggup, aku tidak bisa.”
Beruntunglah jalanan itu sangat sepi, rumah-rumah di sana membelakangi jalanan tersebut, ilalang berjajar memenuhi lahan kosong, seolah dia mengerti dan membantu Tika untuk bersembunyi dari pandangan orang-orang.
Langkah kaki berat di bawah hujan itu mulai melaju kembali, Tika menghentikan isak tangisnya setelah dari kejauhan melihat rumah majikannya, dia menghapus air mata dan mempercepat langkahnya.
Baru saja Tika menguatkan hatinya dengan melepas semua rasa lelahnya, kini Tika harus menghadapi luka baru dari seorang wanita yang keras kepala itu, entah apa yang akan dia dapatkan dari wanita itu, mungkin kali ini bukan satu atau dua kata yang akan menyakitinya, tapi bait-bait panjang yang akan menusuknya lebih dalam.
“Siapa lagi itu?” Tika memicingkan kedua matanya, menangkap sebuah kendaraan yang tidak dirinya kenal terparkir rapi di kediaman majikannya. Melihat kendaraannya saja sudah membuat napas Tika terhenti sejenak, dia harap yang datang kali ini tidak akan membuat dirinya bekerja terlalu keras.
Dengan tubuh yang mulai merasakan dingin, dan wajah yang memerah malu karena sorot mata dari orang-orang yang tengah berkumpul di depan pos satpam terarah padanya.
“Kenapa Neng hujan-hujanan?” teriak satpam yang saat itu berjaga.
Tika melirik dan memberikan jawaban dengan lantang. “Abis nyari Amad, eh anaknya sudah nyampe duluan.” Tika menjawab dengan tenang dan tersenyum lebar, agar terkesan tidak ada kemarahan dalam dirinya.