Dia terdiam, kedua tangannya sudah bergetar, kepalan itu perlahan basah, jika saja melakukan pemukulan dengan dasar pembelaan itu dibenarkan, mungkin dia akan melayangkan sebuah pukulan kuat dari tangan kecil itu.
Namun, dia sadar, dia tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dia lakukan, kembali lagi dia harus memaklumi jika manusia yang kini ada di hadapannya adalah seorang wanita berumur yang kembali mendapatkan sikap kekanak-kanakannya.
Bulir bening yang sudah berhasil dia tahan, hampir saja meleleh di atas pipinya, tapi Tika berhasil, dia berhasil menahan segerombolan bulir itu dengan sebuah cubitan kuat.
“Maaf ibu, mungkin karena hujan, jadi gak kedengeran.” Tika yang masih diam di posisinya terperanjat, berdiri di hadapan Heryani dengan wajah tegang.
“Alasan aja. Dafit itu masih kecil, jadi nangisnya kuat banget. Udah nangis dari tadi, tapi gak kedengaran,” celetuknya.
“Emang udah lama ya, Bu, bangunnya?” tanya Tika dengan wajah heran. Jika memang Dafit sudah menangis sejak tadi, masa tidak ada yang menenangkan dan membawa Dafit dari kamarnya, sementara di rumah itu ada banyak sekali orang.
“Udah dari tadi,” jawabnya.
‘Ya terus, masa dari tadi gak ada yang gendong,’ batin Tika terheran-heran. Sulit untuk dipercaya, tapi mau bagaimana lagi, mungkin saja Heryani mengada-ngada hanya supaya bisa melampiaskan kekesalannya kepada Tika.
“Ya Allah Ade udah bangun dari tadi, ya. Maaf ya sayang, Teteh gak denger?” Tika langsung merapikan pakaian dan semua alat menyetrika yang masih berserakan di tikar. Agar bisa fokus menjaga Dafit.
“Udah nanti aja benerinnya, sekarang gendong Dafit, kasian dari tadi nyariin kamu!” ujarnya seraya menyerahkan Dafit ke tangan Tika. Padahal tidak apa jika Heryani menggendong cucunya sebentar saja selagi Tika merapikan setrikaan, tapi nyatanya wanita itu tidak suka melihat Tika tidak melakukan apa yang dia inginkan.
“Oh iya, Bu.” Tika melepas setrikaan yang hendak dia simpan, dia manarus setrika di sudut kamarnya, dia mendekat lantas menggendong Dafit.
“Nangis dari tadi, bukannya diambil malah sibuk sendiri,” gerutu wanita itu dengan posisi mulutnya yang tepat berdekatan dengan wajah Tika.
Deg! Jantung itu berdetak semakin kuat, tak kuasa rasanya mendengar makian yang terus saja melayang dari mulut wanita tua itu. Terlalu buruk rasanya jika harus memaklumi kelakuannya, pantas saja jika semua pembantu sebelum Tika tidak betah kerja di sini.
“Maaf, Ibu, tapi suaranya gak kedengeran,” ucap Tika. Tentu saja Tika tidak bisa mendengar tangisan Dafit, selain jarak kamarnya yang berjauhan, saat itu juga sedang turun hujan dan rumah itu sama sekali tidak kedap suara.
“Ya gimana mau kedengeran, jendela kamarnya kamu buka, suara hujannya masuk kamar,” tegurnya yang selalu saja menemukan satu hal yang bisa dia salahkan.
“Iya, Bu. Soalnya tadi pengap banget, jadi saya buka, biar ada udara yang masuk.”
“Halah. Udah ajak Dafit main, kalau udah anteng bangunin Amad, bentar lagi Arni pulang!” pintanya.
“Oh iya, nanti tolong bantu saya masak buat Nia, mereka belum makan!”
Tika mengangguk, tak ingin lagi rasanya membalas ucapan wanita itu selain dengan anggukan.