Rasanya terlalu menyakitkan tinggal dengan sekumpulan manusia yang tidak bisa memanusiakan manusia.
Tika tahu kelemahannya terlalu banyak, mengingat usia dan pengalamannya yang masih kurang, tetapi bertahan dengan perlakuan mereka yang semena-mena semakin membuat tubuh dan jiwanya rentan.
Deru suara memecah lamunan, mengalihkan perhatian Tika yang tenggelam dalam keheningan, Tika melirik ke arah jendela, mobil yang dikendarai Arni sudah mendarat di depan rumah, beruntunglah hujan sudah reda, jadi Tika tidak perlu menjemput Arni yang parkir di luar gerbang.
“Wah Alhamdulillah Bundanya Dede sudah pulang. Asyik.” Tika bertepuk tangan dengan suara rendah, agar tidak mengganggu jamaah yang sedang salat.
Dia menggendong Dafit, membawa anak itu untuk menyambut ibunya.
“Assalamualaikum,” seru Arni setelah masuk ke dalam rumahnya. Suara itu lantang, terucap dengan gembira.
“Waalaikumsalam.” Tika lantas bergegas menyambut Arni seraya menggendong Dafit.
Tika mengembangkan senyuman di wajahnya, hal yang paling membuat Tika tenang salah satunya adalah kepulangan Arni, setidaknya Arni tidak akan memperlakukan Tika seperti ibunya, dan dengan adanya Arni, ibunya tidak akan banyak menuntut apalagi berani memarahi Tika.
“Wah Bundanya siapa itu?” ucap Tika.
“Bundanya Dede Dafit.” Arni mendaratkan kecupan di kedua pipi anaknya.
“Ibu sepuh mana?” tanya Arni, celingukan.
“Lagi salat, Bu. Lagi ada bu Nia juga,” jawab Tika.
“Oh gitu. Udah lama bi Nia di sini?”
“Sekitaran jam empat sore lah, Bu, datangnya,” jawab Tika menerka-nerka.
“Oh gitu. Aduh kamu jadi kecapean dong?” tebaknya.
Wajahnya terlihat khawatir, sedikit dapat Tika tebak, jika Arni memang takut jika pengasuh di rumahnya tidak betah karena kelelahan, atau karena perlakuan ibunya.
“Enggak, Bu. Lagian dari tadi juga enggak ngapa-ngapain, kita juga belum masak. Mungkin abis salat baru lanjut masak, soalnya belum pada makan juga,” jawab Tika, dengan mimik tenang.
Ah bermain ekspresi wajah itu sudah menjadi makanan sehari-harinya, tidak tahu lagi apakah ini kepura-puraan atau keterpaksaan.
Tika bahkan tidak tahu lagi mana yang namanya ikhlas dan mana yang namanya kerja paksa.
Setiap hal yang dia kerjakan adalah perintah seorang wanita yang menyuruhkan dengan kesemena-menaan, dan suka tidak suka, lelah tidak lelah, Tika harus langsung mengikuti perintah itu.