Tika berdesis pelan, lagi-lagi, wanita berumur itu menghakimi sesuatu yang tak seharusnya. Dua minggu dia tinggal di antara mereka, dan selama itu pun mereka tidak bisa menilai cara kerjanya, dan hanya fokus dengan kesalahan apa yang dia lakukan.
Wajah itu kembali menunduk, mulutnya mengerucut kuat, kedua bagian giginya menggertak hingga menimbulkan suara. Namun, sebisa mungkin Tika tetap menahan dirinya untuk tidak melawan ibu dari majikannya tersebut, Tika harus bertahan untuk tetap bisa bekerja di sana, dan membuktikan kepada wanita keras kepala itu, bahwa dirinya bukan orang lemah yang mudah pergi, atau tidak amanah dengan pekerjaanya.
“Cepat makannya, dan habisin semuanya! Yang lain udah selesai makan,” titahnya tanpa peduli apakah Tika sanggung menghabiskan semua sisa makanan yang ada, dalam keadaan tersebut.
Tika mengangkat wajahnya dengan mimik kesal, bola matanya bergerling mengamati sisa makanan yang ada di atas meja.
Bukan hanya tersisa satu atau dua potong makanan saja di sana, tapi hampir semua makanan yang dimasak tidak habis setengahnya.
‘Ini aku beneran disuruh ngabisin makanan sebanyak ini? Emangnya dia pikir aku ini apaan bisa makan sebanyak ini?’ amuk hati kecilnya Tika.
“Tapi ini banyak banget, Bu,” jawab Tika.
“Iya gak papa. Biar sehat, biar gemuk. Kasian kamu kurus kering begitu, kayak gak pernah dikasih makan aja,” celetuknya sambil berjalan meninggalkan Tika.
“Gak pernah dikasih makan katanya?” ulang Tika.
Tangannya mengepal, hatinya bak tersayat pisau yang teramat tajam. Ya, dia memang kurus, berat badannya bahkan tidak sampai 40 kg, tapi bukan berarti dia tidak pernah makan, apalagi sampai ada yang berpikir orang tuanya tidak pernah memberi dia makan.
Sakit hati rasanya mendengar kalimat menyakitkan seperti itu keluar dari mulut wanita yang sudah menjadi seorang ibu.
“Apa hidupnya udah seenak ini dari dulu, sampai-sampai berpikir buruk tentang orang lain?” gumam Tika. Matanya menatap tajam tubuh yang kini berjalan ke arah keluarganya.
Ingin hati dia melempar pembelaan seraya membalas makian wanita itu, tapi terlalu sulit rasanya untuk membuka mulut, jangankan untuk bicara, untuk menikmati sesuap nasi yang ada di hadapannya pun kini terasa mual.
“Demi Allah, aku tidak terima dengan ucapannya ya Allah, itu sangat menyakitkan, dan aku kembalikan rasa sakit ini kepadamu,” ucap Tika, kalimat itu melesat sempurna dengan penuh penekanan.
Tidak ada niatan untuk mendoakan hal buruk untuk wanita itu, tapi kalimat itu sudah lebih dulu meluncur tanpa Tika duga.
Tika terperanjat, dia memandangi semua sisa makanan yang ada di sana. “Menghabiskan semuanya? Aku bahkan tidak bisa makan dengan nikmat.”
Tika menggelengkan kepala, dia mengambil beberapa kotak putih untuk menyimpan sisa makanan tersebut, dan meletakkannya di kulkas.
Gadis itu berniat untuk memakannya esok hari, dia merasa tidak sanggup jika harus menghabiskannya sekaligus, lagipula makanan itu tidak akan basi meskipun tidak habis.