“Tahukah bagaimana rasanya menangkis air mata yang hendak berjatuhan setiap harinya? Tidak, itu tidak mudah, kepalaku bahkan berisik menahan segerombolan bening itu untuk turun, membuatku kewalahan setiap waktunya.” ucap gadis berbaju biru yang kini termenung di halaman rumah milik majikannya.
“Kenapa?” tanya seseorang dari belakang. Tika berbalik, netranya menangkap sosok cantik yang kemarin dia temui.
“Eh. Gak papa,” jawabnya dengan bibir tersenyum. Tangannya menepuk tempat duduk disampingnya, meminta gadis itu untuk ikut duduk bersamanya.
“Cerita aja!” pintanya, wajah itu menoleh pada Tika.
Tika menghela napas, sederet pengalaman dia ceritakan pada wanita yang baru dia kenal itu. Sesekali wajahnya menunduk, kerap kali matanya berkaca-kaca kala lidahnya menjadi kelu untuk melanjutkan keluh kesahnya.
Tak lama gadis dengan usia yang jauh lebih tua itu menghembuskan napas panjang. Tangannya menepuk lembut pundak Tika, mencoba menenangkan gadis yang kewalahan menahan air matanya.
“Aku paham bagaimana rasanya menjadi kamu,” tuturnya.
“Aku tahu ini tidak mudah bagimu, terkhususnya bagi seorang perempuan muda yang statusnya sebagai anak tertua.”
Tika mengangguk. Cukup tenang rasanya bisa mengungkapkan semua perasaan yang selama ini menumpuk di dalam dada. Mendapati seseorang yang memahaminya, rasanya jauh lebih melegakan.
“Aku memang tidak merasakan penderitaan yang kamu rasakan. Meskipun pekerjaanku tidak jauh berbeda denganmu, tapi aku bisa bebas melakukan apapun tanpa larangan apapun,” lanjut wanita itu. Dia meraih tangan Tika, menggenggamnya dengan erat, seolah mengatakan, “Semuanya akan baik-baik saja!”
“Makasih ya, Sal. Kamu udah mau dengerin cerita aku.”
Ya, wanita cantik pemilik wajah oval itu bernama Salma. Dia memusatkan pandangannya pada Tika, mengukir senyuman tulus pada gadis itu.
Mendapatkan perhatian seperti itu, terasa seperti memiliki seorang kakak perempuan, dimengerti dan tidak menghakiminya, adalah hal yang membuatnya jauh lebih tenang.
“Sekarang kamu jalani aja semuanya, lagipula kamu sudah memutuskan untuk terus kerja, kan. Kamu fokus dengan kerjaan kamu aja, dan jangan menghiraukan majikan kamu. Kalau mungkin kedepannya semakin menjadi, sebaiknya kamu berhenti aja!” ucap wanita itu menyarankan.
“Sebenarnya ini bukan kali pertama, yang sebelum-sebelumnya juga mengalami hal yang sama, jujur saja aku kasihan sama mereka, dan sejauh ini gak pernah ada yang bertahan lama kerja di sini.” Wanita itu melanjutkan, wajahnya terarah ke jalanan yang mulai sepi.
Perbincangan berlanjut lama, tak terasa waktu terus berjalan hingga jam yang tertera di layar ponsel sudah menunjukan pukul 9 malam. Salma berdiri, dia berpamitan lantas pergi dengan langkah tergesa, begitupun dengan Tika, setelah merasa lebih tenang, dia kembali masuk ke rumah, dan bergegas masuk ke dalam kamarnya.
Beberapa jam yang lalu, tepat disaat Tika berada di rumah milik keluarga Nia. Dia yang tidak tahu harus berbuat apa, dipanggil oleh Danu. Dengan pikiran yang terpencar entah kemana, gadis itu memutar tubuhnya, menatap laki-laki dengan ubah yang mulai memenuhi kepalanya. “Iya, Pak?” tanya Tika.
“Kamu udah makan belum?”
Tika mengatupkan mulutnya, matanya bergilir memandang Heryani, mencari jawaban lewat raut wajahnya. Namun, Heryani tidak memberikan respon apapun, wanita itu tetap asyik menikmati makanannya tanpa memberikan respon pada Tika.
“Belum, Pak,” jawab Tika dengan ragu-ragu.
“Oh belum. Kalau begitu ayo makan dulu! Nanti sakit,” ajak Danu dengan begitu ramahnya, wajar saja anak-anaknya terlihat sangat dekat dengannya, ternyata dia adalah sosok ayah yang pengertian.