“Dari mana kamu?”
Suara itu menyentak lantang membuat gadis itu terkejut, dia mematung menatap Heryani dengan wajah bertanya-tanya. Heryani yang sebelumnya tertidur di kamar, kini tengah asyik menikmati acara tv dengan secangkir teh di hadapannya.
“Dari luar, Bu,” jawab Tika pelan.
“Ngapain?” tanyanya lagi dengan nada bicara yang tak berubah.
“Enggak apa-apa, Bu, cuma duduk-duduk aja,” jawab Tika.
“Oh. Pantesan saya cari di kamar gak ada,” ujarnya. Tangan itu meraih gelas lantas menenggak dengan perlahan.
“Ibu nyariin saya? Ada apa ya, Bu?” Tika mendekat, kini ia berdiri di hadapan wanita itu dengan kedua tangan yang dia lipat di depan perut.
“Gak ada. Saya sudah buat sendiri,” jawabnya ketus, tanpa mengalihkan pandangan dari tv.
“Oh begitu. Maaf ya, Bu.”
“Hemmmm.” Heryani mengerang tak peduli. Sudut bibirnya terangkat sempurna, sementara sorot matanya menajam.
Tika tahu jika wanita itu sedang marah padanya, lantas Tika pun memutuskan untuk meneruskan langkahnya ke arah kamar, percuma juga jika harus berhubungan dengannya, apalagi dalam keadaan yang seperti itu, yang ada dia malah menjadi sasaran empuknya.
Dalam keheningan malam, Tika terbaring dengan tangan yang terus mengotak atik ponselnya. Seperti biasa dia terus berkomunikasi dengan teman sekaligus keluarganya. Namun, kali ini dia dialihkan dengan pesan singkat yang dikirim oleh ibunya.
“Ini Mama kenapa lagi sih, Ya Allah,” keluhnya memelas. Tika menarik rambutnya frustasi, napas hangat berhembus kuat dari mulutnya.
“Teh Mama minta tolong kirimin uang, dong!”
Tika termangu membaca pesan pertama yang ibunya kirimkan, mulutnya terkatup sempurna dengan pikiran yang mulai melayang entah kemana. Setelah seharian bekerja, bergelut dengan semua orang yang membuatnya jengkel, dia kembali dihadapankan dengan keluarganya yang terus-menerus meminta uang.
“Buat apa, Ma?” Tika tak lantas menyetujui. Dia pun balik bertanya untuk memastikan kemana perginya uang itu.
“Buat bayar utang sama biaya sekolah ade kamu,” jawabnya.