“Iya, Ma ... udah atuh, ya, kan besok aku coba omongin sama bu Arni. Mama tunggu aja kabarnya, mudah-mudahan bu Arni mau ngasih,” pinta Tika lewat pesan itu.
Sejujurnya hati kecil itu cukup berat mengambil gaji yang belum waktunya dia dapatkan, tapi mau bagaimana lagi, gadis itu hanya bisa pasrah, wajah polosnya memelas sedangkan isi kepalanya begitu berisik, meronta, menolak keinginan ibunya.
“Ya dikasih lah, itu kan hak kamu. Kan ambil uang dari hasil kerja kamu juga,” balas ibunya begitu cepat.
“Emangnya berapa sih yang harus Mama bayar?” tanya Tika dengan dagi mengernyit, menunggu respon ibunya.
“Bayar pinjamannya aja lima ratus ribu belum yang lainnya,” jawab ibunya setelah beberapa menit tidak membalas.
“Ck!” Tika berdecak bingung.
“Ini bekas apa sih, Ma? Maksud kenapa tiap bulan tuh ada aja yang harus dibayar. Perasaan waktu itu udah lunas, terus ini apa lagi, bekas apa?” tanya Tika dengan penuh paksaan. Jari jemari itu menari kuat di atas layar ponsel, melampiaskan emosinya.
“Bekas apa, ya bekas bayar sekolah ade-ade kamu, buat bayar hutang yang lain, belum lagi kalau Bapak kamu sakit, kan gak ada pemasukan.”
“Tapi kan tiap bulan aku kasih, Ma. Masa gak cukup buat nutupi itu.”
“Kan gajinya aja baru naik tiga bulan kemarin, Teh. Sebelumnya kan cuma dikit,” balas ibunya secepat kilat.
“Yaudah atuh.”
Lolos, air mata itu pada akhirnya berhasil keluar membahasi kedua pipinya. Dalam diam dia terus merutuki nasib buruknya. Bertanya-tanya tentang kesalahan apa yang sudah dia perbuat, sampai-sampai dia harus mendapatkan semua deretan penderitaan ini.
“Apa yang harus aku lakukan, ya Allah? Aku capek, aku mau berhenti, tapi aku sadar mereka menggantungkan harapannya padaku. Kalau aku berhenti, bagaimana jadinya keluargaku? Bagaimana caranya keluargaku menangani semua ini?” Kalimat itu terhenti seiring dengan air mata yang semakin deras.
“Kalau pun aku pulang ke rumah juga bakal tetap setres, tiap hari yang orang tuaku bahas hanyalah hutang dan uang, pasti bakal lebih capek rasanya gak ada penghasilan dengan hutang dimana-mana daripada lelahnya kerja buat melunasi pinjaman,” lanjutnya. Tika menyapu air mata yang membanjiri wajahnya.
“Kalau aku kerja di tempat lain, bisa gak ya? Apalagi dengan status aku yang gak berpendidikan. Apa bisa aku sukses kayak teman-teman? Ya, aku tahu mustahil banget sih buat dapat kerjaan yang layak?” ucapnya terus-menerus mengoceh.